::: 21.10.2010 :::
Seperti biasa aku diam tak berkata, hanya mampu katakan aku cinta kau saat ini…. [he… he… nyontek syair lagunya Bang Iwan]. Cinta sama siapa ? Ya… siapa lagi kalau bukan sama si mBah yang satu itu, yang selalu membuatku sport jantung kalau datang.
Seperti saat itu, si mBah satu itu tanpa diundang, tanpa sms dulu, tanpa suara, tiba-tiba saja sudah hadir di hadapanku dengan pakaian kebesarannya : baju koko lengan pendek warna hitam [yang tak lagi hitam karena pudar] dan celana jeans biru yang sudah pudar juga warnanya karena tiap hari dipakai.
Si mBah duduk bersila dengan kaki kiri diletakkan di atas kaki kanan, punggung tegak, tangan diletakkan di bagian samping atas lutut dengan jari telunjuk melingkar menyentuh ibu jari dan ketiga jari lainnya terbuka [setelah kuperhatikan rupanya posisi jarinya merupkan symbol alif lam lam ha]. Pandangan matanya dingin menatap ke arahku yang membuatku serasa tersedot pusaran energi yang luar biasa seakan-akan terlempar ke dalam suasana dan gambaran yang diperlihatkan mBah Zhudhrunh kepadaku.
Tiba-tiba saja seluruh otot tubuh mBah Zhudhrunh meregang, bibirnya terkatup rapat, dahinya bekerut dan sejenak kemudian badannya menggigil. Sesaat berikutnya air mata deras mengucur dari sudut matanya. Mungkin sambil menahan gejolak perasaannya, si mBah terbata-bata berkata, “Oh.. tak tega aku… tak tega aku melihatnya… sungguh tak tega…. ! Ngeri aku…. akhiri… segera akhiri… mumpung masih ada kesempatan…. mumpung masih ada waktu, sebelum semuanya terlambat !”.
Mendadak hawa di ruangan tempatku berada terasa dingin mencekam, desir angin terdengar jelas di telingaku, terangnya cahaya berangsur pudar bagai mentari yang terbendung awan. mBah Zhudhrunh semakin menggigil dalam tangisannya sambil terbata mengucap, “Bisa jadi apa yang di langit akan ditumpahkan ke bumi bersamaan, bisa jadi apa yang di dalam bumi akan disemburkan bersamaan, bias jadi sebuah keluarga akan bercerai berai tanpa kabar berita, awan tampak berarak-arak dan nyawa manusia terlihat berserak-serak.”.
Hening, sunyi, senyap….
Selama telingaku mendengar perkataan mBah Zhudhrun, tanpa kusadari imajinasiku mengembara memvisualkan kata-katanya hingga merinding bulu kuduk ini dibuatnya. Aku terus tersedot suasana yang tergambar di imajinasiku sampai akhirnya aku terbangun dari lamunanku karena bentakan mBah Zhudhrunh, “Kopiku mana ?”
“Ya..ya… mBah, jawabku terbata-bata karena kaget, bentar mBah…”
Dengan terlebih dahulu mengirimkan Fatihah kepada Syaikh Abil Hasan Asy Syadzili, kutuangkan sesendok makan kopi HLT, tiga sendok teh gula pasir dan kutuangkan air mendidih di atasnya. Sambil mengaduk dengan menunggu kata hati untuk berhenti mengaduk, kulirik si mBah yang rupanya senyum-senyum sendiri. Entah apa lagi yang ada di hatinya, selalu tidak jelas dan bikin penasaran. Kopi pun siap dihidangkan.
“Ini mBah kopinya… monggo diunjuk [silahkan diminum]”, kataku.
Sejenak berikutnya, si mBah mulai ngomong ngalor ngidul gak karuan, kadang serius kadang dua rius kadang tiga rius pula. Dalam hatiku aku menggerutu, “Dasar wong sableng, habis nangis-nangis gak karuan kok jadi biasa, guyon terus pula.”.
Dengan mengumpulkan segenap keberanian, kubertanya pada si mBah dengan logat mPok Minah dalam serial Bajaj Bajuri, “mBah, maaf, bukannya saya banyak tanya, bukannya saya tidak paham, tapi saya ingin tahu maksud kata-kata mBah tadi waktu mBah dating di sini.”.
“Ee… lha dalah kowe nunggu itu to rupanya ?”, jawab mBah Zhudhrunh dengan mimik wajah tanpa dosa.
[::: to be continued ::: he… he… sabar dulu yach… ntar disambung lagi]
Tiba-tiba saja seluruh otot tubuh mBah Zhudhrunh meregang, bibirnya terkatup rapat, dahinya bekerut dan sejenak kemudian badannya menggigil. Sesaat berikutnya air mata deras mengucur dari sudut matanya. Mungkin sambil menahan gejolak perasaannya, si mBah terbata-bata berkata, “Oh.. tak tega aku… tak tega aku melihatnya… sungguh tak tega…. ! Ngeri aku…. akhiri… segera akhiri… mumpung masih ada kesempatan…. mumpung masih ada waktu, sebelum semuanya terlambat !”.
Mendadak hawa di ruangan tempatku berada terasa dingin mencekam, desir angin terdengar jelas di telingaku, terangnya cahaya berangsur pudar bagai mentari yang terbendung awan. mBah Zhudhrunh semakin menggigil dalam tangisannya sambil terbata mengucap, “Bisa jadi apa yang di langit akan ditumpahkan ke bumi bersamaan, bisa jadi apa yang di dalam bumi akan disemburkan bersamaan, bias jadi sebuah keluarga akan bercerai berai tanpa kabar berita, awan tampak berarak-arak dan nyawa manusia terlihat berserak-serak.”.
Hening, sunyi, senyap….
Selama telingaku mendengar perkataan mBah Zhudhrun, tanpa kusadari imajinasiku mengembara memvisualkan kata-katanya hingga merinding bulu kuduk ini dibuatnya. Aku terus tersedot suasana yang tergambar di imajinasiku sampai akhirnya aku terbangun dari lamunanku karena bentakan mBah Zhudhrunh, “Kopiku mana ?”
“Ya..ya… mBah, jawabku terbata-bata karena kaget, bentar mBah…”
Dengan terlebih dahulu mengirimkan Fatihah kepada Syaikh Abil Hasan Asy Syadzili, kutuangkan sesendok makan kopi HLT, tiga sendok teh gula pasir dan kutuangkan air mendidih di atasnya. Sambil mengaduk dengan menunggu kata hati untuk berhenti mengaduk, kulirik si mBah yang rupanya senyum-senyum sendiri. Entah apa lagi yang ada di hatinya, selalu tidak jelas dan bikin penasaran. Kopi pun siap dihidangkan.
“Ini mBah kopinya… monggo diunjuk [silahkan diminum]”, kataku.
Sejenak berikutnya, si mBah mulai ngomong ngalor ngidul gak karuan, kadang serius kadang dua rius kadang tiga rius pula. Dalam hatiku aku menggerutu, “Dasar wong sableng, habis nangis-nangis gak karuan kok jadi biasa, guyon terus pula.”.
Dengan mengumpulkan segenap keberanian, kubertanya pada si mBah dengan logat mPok Minah dalam serial Bajaj Bajuri, “mBah, maaf, bukannya saya banyak tanya, bukannya saya tidak paham, tapi saya ingin tahu maksud kata-kata mBah tadi waktu mBah dating di sini.”.
“Ee… lha dalah kowe nunggu itu to rupanya ?”, jawab mBah Zhudhrunh dengan mimik wajah tanpa dosa.
[::: to be continued ::: he… he… sabar dulu yach… ntar disambung lagi]
::: 03.11.2010 :::
“Mungkin kalau yang disebut orang sebagai bencana alam itu BISA DILOGIKAKAN dengan suatu hubungan sebab akibat dimana bila SEBAB dikategorikan sebagai pengkhianatan/pembangkangan manusia terhadap Tuhan, maka sebagai AKIBATnya adalah Tuhan menurunkan adzab berupa bencana di alam manusia ini, maka coba kau inventarisir prilaku apa saja di negeri ini di semua bidang kehidupan dan di segala strata masyarakat yang belum memenuhi syarat untuk turunnya adzab Tuhan !”
“Maksudnya mBah ?”, tanyaku lagi karena kurang jelas menangkap perkataan mBah Zhudhrunh.
“TELMI !!! Amati kehidupan seluruh manusia di negeri ini, apakah memang belum memenuhi syarat untuk turunnya adzab Tuhan ?”, kata mBah Zhudhrunh lagi.
Wah gawat, kena pasal TELMI alias TELat MIkir ha… ha… ha… Rupanya aku harus berlatih BLINK lagi, biar bisa berpikir tanpa memikir, wis embuhlah.
“Lihatlah di level Negara, yang seharusnya melayani, yang seharusnya mengelola dan yang seharusnya menjamin telah gagal melaksanakan kewajibannya. Negara dijadikan ajang negosiasi kekuasaan, dijadikan ajang bagi-bagi akses ekonomi para preman kekuasaan, dijadikan ajang penghambur-hamburan uang untuk berbagai hal meskipun itu legal menurut undang-undang, tetapi dari mana semua itu dibiayai, bukankah dari rakyat juga. Mereka yang bisnisnya menggurita bisa berbuat apa saja, membuat parpol, masuk ke sistem kekuasaan, mengamankan bisnisnya, berbagai dengan para oknum untuk melegalkan hal salah dan seterusnya dan sebagainya. Kau lihat sendiri sajalah semua fenomena yang selama ini terbentang di depan mata. Di pusat dengan mudahnya uang dihambur-hamburkan untuk sesuatu yang semestinya tidak perlu, kebalikannya, jangankan di pelosok-pelosok negeri, di sudut-sudut perkotaan pun masih banyak rakyat negeri ini yang hidupnya mengenaskan, tidak memiliki apa pun dan lebih parah lagi sama sekali mereka ini tidak tersentuh dan sama sekali tidak dimanusiakan oleh pengemban amanah Negara ini. Sungguh betapa sakitnya hati mereka.”
“Hukuman untuk para koruptor, untuk para penjarah kekayaan alam negeri ini sangat-sangat ringan bila dibandingkan dengan hukuman yang diterima rakyat jelata negeri ini yang hanya mengambil beberapa batang ketela pohon. Dihukum pun, mereka bisa menikmati fasilitas super mewah di balik tembok tahanan yang mengkerangkeng mereka, bisa juga tetap mengendalikan bisnisnya, tetap juga bisa mengendalikan pemilihan kepala daerah di daerah mereka. Sungguh menyakitkan hati.”
“Mereka yang punya jabatan, mereka yang punya pangkat, selalu mengunggulkan apa yang disandangnya saat bermasalah dengan rakyat yang seharusnya mereka ayomi. Meski cuma serempetan di jalan raya pun, mereka biasanya pasti bilang, “KAMU TAHU SIAPA SAYA ?”, apalagi yang biasanya pegang senjata. Sudah banyak kejadian seperti itu di negeri ini.”
“Jangankan di pusat, penyelenggara Negara di level terendah pun masih sangat banyak yang BELUM MELAYANI rakyatnya, malah SELALU MINTA DILAYANI. Urusan surat menyurat atau administrasi kependudukan pun dibuat kesempatan menggali dana untuk perut mereka sendiri. Terlebih lagi yang berkaitan dengan perijinan. Mereka lupa bahwa masyarakat yang mereka PERAH itulah yang menggaji mereka. Belum lagi yang berurusan dengan HUKUM, kalau yang BENAR saja BISA dijadikan SALAH agar bisa diperah, APALAGI yang benar-benar SALAH. Bisa jadi ATM hidup itu.”
Kuperhatikan raut muka mBah Zhudhrunh yang merah terlihat sekali gusar sekaligus sedih saat mengatakan itu semua. Namun rupanya omelan si mBah belum berakhir.
“Parah…. lebih parah lagi mereka yang menamakan dirinya para wakil rakyat. Mereka mengobral janji saat kampanye. Hitung sendiri berapa dana yang masing-masing mereka keluarkan untuk merayu rakyat banyak. Uangnya siapa itu dan adakah yang benar-benar ikhlas dalam berjuang demi rakyat. Kalau memang ikhlas, mereka mestinya tidak akan bingung dan pasti tidak ada target untuk mencari dana pengganti dari dana yang mereka keluarkan saat kampanye. Mereka yang berposisi sebagai WAKIL RAKYAT, selama ini prilakunya malah banyak yang MENYAKITI HATI RAKYAT. Saat negeri ini banyak menuai bencana, ke mana mereka. Mereka malah enak-enakan menghambur-hamburkan uang demi sebuah peningkatan kinerja menurut mereka meskipun selama ini belum terbukti secara nyata, atas nama studi banding, atas nama pembangunan gedung yang representative dan atas nama - atas nama yang lain.”
“Kalau saja… kalau saja…. “, mulai meleleh lagi air mata si mBah.
Kutanyakan pada mBah Zhudhrunh, “Kalau saja apa mBah ?”
Sambil berteriak lantang bagaikan sedang mengeluarkan aji gelap ngamparnya, si mBah ini menjawab, “KALAU SAJA AKU INI TUHAN, akan kutenggelamkan gedung mereka ke dasar bumi saat mereka menggelar teater pansus, teater fit and proper test, serta teater-teater yang lain. Akan aku lemparkan gedung pemimpin negeri ini ke luar galaksi, saat dia bermuka masam dan mengumbar keluhan di hadapan rakyat yang dipimpinnya. Untungnya aku ini bukan tuhan. Tuhan yang sebenar-benarnya tuhan, gusti ALLAH, malah penuh keLEMBUTan dan kasih sayang. Rahmatnya selalu mendahului marahnya. Justru mereka yang sesungguhnya telah berkhianat terhadap tanggung jawabnya, yang telah berkhianat kepada Tuhan, seolah-olah malah diselamatkan gusti Allah. Mereka tetap bisa berapa saja, tetap bisa petantang-petenteng, tetap bisa mengumbar kesewenang-wenangan dan sebagainya. Rupanya mereka sedang dibombong atau dilulu atau diistidroj gusti Allah. Covernya bagus tapi sisinya penuh kehinaan, Mereka dibiarkan oleh gusti Allah untuk menumpuk hutang-hutangnya yang akan ditagih KELAK di hadapan-Nya. Sedangkan rakyat biasa yang paling banyak menjadi korban suatau bencana, kelihatannya malah diadzab, padahal mereka sedang dimesrai Allah, ditagih hutangnya agar segera lunas, agar pula nantinya bisa menghadap-Nya tanpa beban. Bila mereka bisa ridho, maka sebenarnya itulah tiket kemuliaan mereka untuk memasuki surga keridhoan-Nya.”
Segera kusela omelan mBah Zhudhrunh, “Memangnya pemimpin itu tidak boleh ya mBah berwajah masam dan bekeluh kesah ?”
“Dulu kanjeng nabi itu pernah satu kali berwajah masam, tetapi langsung ditegur oleh Allah. Salah satu hal yang membedakan seorang pemimpin atau bukan adalah keberaniannya. Mestinya PEMIMPIN HARUS BERANI menerima resiko yang terkait dengan kepemimpinannya walau nyawa taruhannya dan bukannya malah membeberkan bahwa dirinya terancam, bahwa ini dan bahwa itu. Pemimpin juga harus BERANI MENGAMBIL KEPUTUSAN, bukan malah terjebak keraguan berkepanjangan. Pemimpin harus cepat mengatasi semua konflik yang muncul bukan malah membiarkannya berlarut-larut. Ini sebagaian kecil dari satu aspek saja, yaitu keberanian. Tapi dari semua aspek kepemimpinan, yang terpenting, yang pertama dan utama mestinya adalah seorang PEMIMPIN HARUS mempunyai dan menerapkan kesadaran MANUNGGALING KAWULÄ lan GUSTI dalam dirinya, sebagaimana kanjeng nabi Muhammad.”
Rupanya kalimat terakhir ini tidak asing di telingaku, kusela lagi saja si mBah mumpung belum diteruskan ngomelnya, “Seperti manunggaling kawulä gustinya Syaikh Siti jenar itu ya mBah ?”
“Bukan… bukan yang itu yang kumaksud. Kalau yang kau maksud itu kan sebenarnya kemanunggalan penyaksian antara hamba dan tuhannya yang sering disalahartikan sebagai kemanunggalan wujud hamba dan tuhan, namun bukan itu.”
“Manunggaling kawulä lan gusti dalam konsep kepemimpinan, maksudnya begini : bahwa kawulä diartikan sebagai ummat atau rakyat yang dipimpin, sedangkan gusti artinya ya Tuhan dan manunggal artinya menyatu. Jelasnya, dalam diri seorang pemimpin, dua unsur itu harus menyatu, RAKYAT harus selalu ada di PIKIRANnya dan ALLAH harus selalu ada di HATInya. Sebagaimana kanjeng Nabi, tidak ada yang lain dalam hatinya selain Allah, tetapi Beliau juga setiap saat memikirkan ummatnya, sampai meninggal pun yang disebut-sebut dan yang diprihatinkan adalah ummatnya. Maka seorang pemimpin dengan kesadaran manunggaling kawulä lan gusti tidak akan pernah menelantarkan rakyatnya, sebab hal itu berarti mengkhianati Tuhan. Di sisi yang lain, dia juga tidak akan mengkhianati Tuhan, sebab hal itu akan mencelakakan rakyatnya, sebab hal itu secara akal akan menjadi sebab turunnya adzab Tuhan dan yang paling merasakan adalah rakyatnya.”
Mendengar hal itu, diam-diam dalam hati aku merasa sangat bersalah. Bukankah AKU juga seorang pemimpin, minimal PEMIMPIN KELUARGA dan sebagai pemimpin keluarga sudah berapa kali aku bekeluh kesah kepada istriku, hal yang semestinya tidak usah diketahuinya. Kalau aku harus berjuang keras menegakkan bahtera keluarga, bukankah hal itu sudah semestinya harus kujalani tanpa perlu mengungkapkan kepada istri yang malah akan membuatnya khawatir ? Alhamdulillah, bahwa ternyata istriku benar-benar sebagai [kata orang jawa] KÄNCÄ WINGKING. Käncä itu berarti teman, wingking itu berarti belakang. Käncä wingking bukan berarti dinomorduakan, tetapi sejatinya malah memiliki peran atau posisi sentral. Penggembala itu tidak pernah berada di depan gembalaannya. Penggembala selalu berada di belakang gembalaannya, dalam posisi membopong, memangku, mengarahkan dan mengayomi serta menampung. Maka benarlah suatu falsafah yang diajarkan oleh R.M. Soewardi Soerjaningrat atau dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantärä tentang ing ngarsä sung tulädhä [bahwa pemimpin itu harus yang pertama dan terdepan dalam memberi teladan atau contoh nyata dalam kebaikan], ing madyä mangun karsä [bahwa pemimpin itu harus bisa membangun kesadaran dan kemauan berkarya, membangun kesadaran dan kemauan beramal sholih di tengah-tengah masyarakat yang dipimpinnya] dan tut wuri handayani [bahwa kalau teladan sudah diberikan, kesadaran telah tumbuh dengan baik, sistem pun sudah berjalan dengan baik, maka seorang pemimpin tinggal mengawasi, mengikuti dan terus menerus menjaga dan meningkatkan kualitas sistem tersebut].
Ah…. jadi terbawa lamunanku sendiri.
“Amar ma’ruf nahi munkar !!!”, setengah berteriak, mBah Zhudhrung membangunkanku dari lamunan.
“Pimpinan penyelenggara Negara ini mempunyai kapasitas sebagai AMIR makanya disebut juga dengan pemerintah. Maka semestinya amar ma’ruf merupakan tugas utama pemimpin Negara ini. Dia harus MEMERINTAHKAN KEBAIKAN, bukan cuma menghimbau…’Saya menghimbau agar…’”, demikian kata mBah Zhudhrunh sambil menirukan bahasa tubuh salah seorang tokoh di negeri ini saat mengatakan ‘saya menghimbau…’.
“Lha kalau nahi munkar itu tugasnya para rohaniwan, kyai, ustadz, juga tugasku dan tugasmu pula. Pemimpin kok cuma menghimbau, kapan selesainya permasalahan yang kian hari kian menumpuk itu. Sebagai pemimpin ya memerintah dong !”, keras sekali suara si mBah seperti sedang marah.
Kataku, “mBah… kok marah-marah sih, bukannya kanjeng Nabi pernah berpesan jangan marah.”
“He… he… he…”, dengan wajah konyolnya mBah Zhudhrunh tertawa tanpa beban dan melanjutkan, “BEDAKAN antara MARAH dan AMARAH. Marah itu sebuah metode sosial, merupakan salah satu bentuk komunikasi interpersonal, untuk menyampaikan suatu pesan dengan penekanan khusus terhadap suatu hal agar tidak terjadi pembiaran-pembiaran terhadap hal-hal keliru. Aku marah karena memang harus marah, bukan karena ada faktor sebuah ‘harga diri’ku yang terusik. Aku marah tetapi tanpa amarah, karena aku menyadari hidayah adalah haknya gusti Allah, jadi kalau marahku tidak digubris, bagiku ya tidak menjadi masalah, biasa saja. Marah jangan disertai amarah, tetapi disertai kasih sayang demi mengajak untuk melintas ke jalan hidayah.”
“Begitu ya mBah.”, jawabku sambil melihat diriku sendiri, betapa selama ini mungkin marahku selalu disertai amarah karena kelemahan jiwaku serta terpengaruh sebuah mitos tentang harga diri. Padahal SEJATINYA DIRI INI TAK ADA HARGANYA, ia sejatinya adalah faqir indallah : ’musnah dan menguap’ dihadapan gusti Allah. Astaghfirullah… duh Gusti nyuwun ngapurä.
“Lihatlah juga di level masyarakat.”, kembali si mBah melanjutkan, “Tidak usah bicara dulu masalah akhlak yang tentu menyangkut aturan agama. Lihat sajalah pada tataran moral, bagaimana moral masyarakat kita yang katanya bangsa kita ini adalah bangsa timur yang sangat memegang moralitas budaya yang teguh. Terlebih lagi bila kita melihatnya pada tataran akhlak, maka akan terlihat semakin parah. Jaman ini semua diindustrikan, bahkan agamapun jadi sebuah industri baru. Lha yang namanya industri, tidak bisa tidak, targetnya adalah meraup keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Agar sebuah industri laku di pasaran maka apa pun produknya selalu dikaitkan sebagai sebuah gaya hidup. Maka sihir-sihir gaya hidup yang mempesona mulai ditebarkan dengan segala cara di segala media. Masyarakat kita terpana, terpesona dan terobsesi karenanya. Bagaimana jadinya bila anak-anak kita yang masih belia usia, setiap hari di bombardir sihir-sihir itu. Bahkan sekolah-sekolah banyak yang didirikan untuk membentuk jiwa wira usaha agar siap masuk ke dunia industri atau pun menciptakan industri baru. Bagus memang, tapi tanpa diimbangi akhlak, apa jadinya ? Orientasinya serba duniawi, maka nanti akan terjadi kekeringan luar biasa dalam jiwa-jiwa mereka. Secara materi semua mungkin bisa dipenuhi, namun jiwa mereka kering, tak tahu apa yang harus dicari, tak tahu ke mana bahagia harus dicari. Maka, orang pun mulai berlomba-lomba mendefinisikan kebahagiaan menurut persepsi mereka masing-masing, bahwa yang namanya bahagia itu begini, begini dan begitu. Dikejarlah kebahagian menurut persepsi mereka masing-masing, saat terpenuhi ternyata dahaga itu tak terpuaskan malah resah dan gelisah, dicarilah hal lain lagi dan ujung-ujungnya pun berakhir sama.”
“Teknologi bergerak cepat, tapi tanpa imbangan akhlak apa pula jadinya. Mulai anak-anak sudah akrab dengan perangkat elektronik. Lebih asyik sibuk dengan gadget-nya dibanding memperpeka rasa dengan memperhatikan sesama. Lebih asyik nge-game daripada belajar tata krama. Lebih asyik nonton film penggugah syahwat dibanding bersholawat. Lalu apa jadinya generasi ini ? Hubungan pertemanan kian tanpa batas. Bebas ber-apa saja dengan siapa saja. Para ayah atau ibu lebih asyik nongkrong dengan temannya dari pada menemani keluarga di rumah. Para orang tua tidak lagi mendoakan anaknya, anak pun lupa mendoakan orang tuanya. Para guru enggan mendoakan muridnya, murid pun malah tak terpikirkan mendoakan gurunya. Budi pekerti semakin jauh dari pembiasaan sehari-hari. Masih banyak hal lain yang semacam itu.”
“Pola pikir masyarakat kita sekarang ini pada umumnya memburu kesenangan, maunya yang serba enak. Punya anak pun inginnya di sekolahkan di sekolah yang favorit tentu saja ini bagi mereka yang berduit, sampai ke jenjang-jenjang berikutnya, biar cepat dapat kerja dengan gaji besar, agar cepat kaya dan hidup enak. Motivasinya mengejar yang enak-enak dan bermewah-mewahan. Maka cara yang instan pun kerap kali ditempuh. Tiap hari tayangan televisi hanya menampilkan tontonan tanpa tuntunan. Para artis dipuja-puja tiada tara, meski tersandung banyak perkara. Maka, keinginan menjadi bintang pun begitu kuat tertanam, dengan motivasi ketenaran dan kekayaan. Tak heran ajang-ajang pemilihan bintang di seluruh stasiun televisi selalu dijubeli peminat. Bahkan menjadi pendakwah pun diaudisikan demi sejumlah hadiah dan sebuah ketenaran. Saat memperjuangkan hidup begitu sulitnya, bahkan untuk sekedar makan pun harus belum tentu ada, saat itu pula di sisi lain kemewahan selalu dipertontokan dan menjadi sebuah obsesi tersendiri, maka mereka yang jiwanya masih labil sering tergoda gemerlapnya kemewahan. Lihat saja sendiri, perdagangan, penculikan wanita belia usia demikian maraknya. Ayam kampus, ayam abau-abu atau apa pun namanya merupakan fenomena di mana-mana. Tidak hanya perempuan, laki-laki usia sekolah pun yang disebut dengan sebutan “kucing brondong” siap melayani hasrat sesaat sesama jenis juga sudah jamak di masyarakat. Apalagi saat ini ketika media jejaring sosial sudah menjadi keseharian, semakin mudah bagi mereka untuk membentuk komunitasnya sendiri sekaligus menebar jaring pemasarannya. Mereka melacurkan dirinya sendiri. Ada yang lebih parah bin parah, yaitu mereka yang tega melacurkan agamanya, melacurkan bangsanya, melacurkan kekayaan alam negeri ini demi perutnya sendiri ?”
Byuh-byuh… pikirku memang benar apa yang dikatakan si mBah, begitu banyak kerusakan moral dan kerusakan akhlak. Negeri ini semua penduduknya beragama, tapi pemerintahnya dan masyarakatnya sama-sama ‘parah’ termasuk diriku sendiri. Jaman dikatakan semakin maju, pertumbuhan ekonomi semakin tinggi dan kemajuan teknologi semakin cepat terjadi, namun manusia malah semakin terasing dari Tuhannya, semakin tidak mengenali dirinya sendiri, semakin pongah terhadap bumi yang ditempatinya dan tentu saja semakin jauh dari kearifan. Untuk hal-hal kecil yang kasat mata saja banyak yang tidak mau memperhatikan, seperti sering kulihat di jalanan, sedan mewah melaju pesat di jalanan yang padat tetapi tiba-tiba saja sehelai tissue berkelebat keluar dari dalamnya. Apalagi kalau melewati sungai di perkotaan, betapa banyak sampah yang hanyut di dalamnya. Ada acara di masjid saja, lha kok selesai acara masjidnya malah kotor, gelas plastik air kemasan bertebaran, kotak kue berserakan yang akhirnya yang jaga masjid pasti bergeletakan soalnya capai membersihkan.
Kalau kupikir-pikir lagi, rasanya benar bahwa saat ini kalau dilogikakan, memang syarat untuk turunnya adzab sudah sangat terpenuhi. Bisa jadi yang ditakutkan mBah Zhudhrunh sangat-sangat mungkin untuk terjadi. Aku jadi membayangkan, seandainya saja Gunung Anak Krakatau meletus dengan kekuatan penuh, bisa jadi seluruh Sumatera dan sebagaian Jawa hancur lebur, bisa jadi Pulau Jawa terbelah. Jadi ingat ummatnya Nabi Nuh ditenggelamkan, saat terjadi pencairan es di kutub yang menenggelamkan sepertiga daratan bumi. Jadi ingat juga kisah benua yang hilang, Benua Atlantis, yang ditenggelamkan ke dasar bumi saat mencapai puncak peradaban dan teknologi, sekaligus puncak kepongahan dan keterasingan dari Tuhan. Konon data yang ada juga menunjukkan bahwa Atlantis itu terletak di bumi Jawa ini. Kalau itu benar, berarti menunjukkan bahwa sebenarnya ada mata rantai yang menghubungkan bahwa bangsa kita ini mempunyai potensi yang sangat luar biasa, yang apabila semua mempunyai kesadaran untuk menghidupkan hidupnya, insya Allah bangsa kita benar-benar akan menjadi mercu suar dunia. Yahudi Israel…. ah itu kecil bagi kita, apalagi hanya sekedar Amerika yang sukanya menakut-nakuti anak kecil, tidak ada apa-apanya, lha wong kita ini mbahnya.
Aku jadi ngeri sendiri, apa benar dalam beberapa tahun ke depan ini akan ada semacam penutupan masa sebagaimana dikatakan si mBah beberapa waktu lalu bahwa arahnya akan menuju masa kegelapan total untuk kemudian menyonsong cahaya baru. Ah… embuhlah, sakkersane gusti Allah.
Maka kubertanya pada si mBah, “mBah, kalau secara logika syarat untuk turunnya adzab sudah terpenuhi, kenapa bencana yang terjadi di negeri ini hanya di lokasi-lokasi yang itu-itu saja ?”
“Siapa bilang seperti itu, itu kan logika manusia, bahwa memang secara pengetahuan manusia, negeri kita termasuk daerah yang rawan bencana karena terletak di atas pertemuan tiga lempeng bumi sekaligus mempunyai jumlah gunung berapi terbnanyak di dunia, sudah dipetakan, tapi belum tentu juga seperti itu. Kenyataannya, yang tidak termasuk daerah rawan gempa, tidak termasuk yang berpotensi tsunami, dan tidak termasuk daerah gunung berapi aktif, tiba-tiba saja menyembur lumpur tanpa henti seperti di Sidoarjo sana. Kita tidak akan pernah tahu, bisa jadi selain Padang, Yogya dan Papua, tiba-tiba saja bumi Jakarta bergoyang, bumi Sulawesi terendam, bumi Kalimantan merekah dan sebagainya.”
“Wah berarti Jawa Timur aman dong mBah ?”, pancingku lagi.
“Siapa yang tahu kehendaknya Allah, lha Sidoarjo itu buktinya. Bisa jadi tiba-tiba saja bumi Pacitan geger entah kenapa atau daerah lain yang selama ini masih adem ayem saja.”, jawabnya.
“mBah lha kalau tiba-tiba saja gunungnya njeblug, lautnya tsunami, perbukitannya longsor, buminya bergoyang, tanahnya merekah dan anginnya membeliung secara bersamaan di semua daerah, apa jadinya kita ya mBah ?”
“Ya gak jadi apa-apa, paling wassalam… he… he….”, jawab mBah ZhudhrunH nyantai.
“Kok malah tertawa sih mBah ?”, tanyaku penasaran.
“Lha mau bagaimana lagi, kalau memang itu yang dikehendaki Allah. Tapi mudah-mudahan saja tidak sampai seperti itu, sebab bagaimana pun rusaknya penduduk negeri ini, masih ada saja nilai kebaikannya dan semoga itulah yang secara akal bisa membatalkan apabila memang harus terjadi sunatullah-sunatullah yang mengerikan seperti itu.”
“Nilai kebaikan yang semisal apa mBah ?”, tanyaku penasaran.
“Ya paling tidak dalam hati seseorang itu masih takut dosa juga, masih ada keinginan jadi orang baik. Misalnya saja, sekorup-korupnya orang, kadang karena masih takut dosa atau karena dia tidak tahu, sebagian hasil korupnya digunakan untuk membiayai majelis taklim atau memberangkatkan jamaah untuk menunaikan ibadah haji dan sebagainya. Caranya sih memang keliru, tapi paling tidak masih ada kebaikannya juga. Di samping itu, di negeri ini yang mengidamkan keluarga sakinah masih banyak, yang mengidamkan anak sholeh masih banyak juga. Artinya lembaga perkawinan di negeri ini masih sangat dihargai, sehingga seks bukanlah pelepasan hasrat sesaat-sesaat saja yang bisa dilakukan dengan siapa pun dan di mana pun. Masih ada keluarga. Coba kita lihat saja pada jaman Nabi Nuh, istrinya pun sudah tidak taat, apalagi anaknya. Contoh lain misalnya, pekerja seks di lokalisasi sana semisal Dolly, banyak di antara mereka yang bekerjanya demi anaknya. Mereka sama sekali tidak mempunyai cita-cita agar anaknya pun mengikuti jejaknya. Hasil kerjanya dikirim ke daerahnya untuk membiayai anaknya yang sekolah atau sedang menuntut ilmu di pondok pesantren. Coba lihat, bukankah masih ada nilai kebaikan pada diri seseorang bagaimanapun kelam kehidupannya di mata orang lain.”
“Hal-hal semacam itulah yang rasanya bisa meredam murkanya gusti Allah, secara akal, sebab sejatinya seluruh makhluk khianat kepada-Nya pun tak akan mempengaruhi kebesaran-Nya. Yang utama, sebenarnya kalau kita sampai saat ini masih diberi keselamatan oleh gusti Allah sebenarnya adalah semata-mata berkat barakahnya para waliyullah, para sirrullah, para guru-guru mursyid kita. Sebab beliau-beliau inilah yang dengan istiqomahnya, dengan keikhlasannya tak henti-henti selalu mendoakan ummat ini agar selalu mendapatkan ampunan Allah, agar selalu mendapatkan ketetapan iman, agar selalu mendapat terangnya cahaya hidayah dan agar selalu mendapatkan keselamatan dunia akhirat. Andaikata beliau-beliau ini sudah tidak ada, niscaya dunia sudah kiamat sejak kemarin-kemarin. Lha kalau diriku dan dirimu ini kan masih jauh dari yang namanya orang baik, masih jauh dari yang namanya dzikir. Lha wong dzikirku sama dzikirmu itu seperti senapan model kuno, habis ditembakkan “dor” nunggu dulu dikokang baru “dor” lagi, hoaha… ha….. ha…. “, tertawa ngakak betul si mBah Zhudhrunh, menertawakan dirinya sendiri penuh kelegaan.
Selepas tawa itu berhenti, segera kusela dengan tanya lagi, “mBah… lha kira-kira apa yang bisa aku lakukan secara nyata, yang ringan bagiku agar paling tidak aku tidak menambah akumulasi kegelapan yang sedang terjadi ?”
“SEDERHANA. Sederhana sekali, engkau cukup menyebarkan benih-benih cinta ke seluruh semesta. Lakukan apa pun dengan cinta. Sadarilah bahwa diriku LEMAH, sadarilah juga bahwa dirimu LEMAH, maka dengan cinta kita bisa saling menguatkan dalam kebersamaan. Sebab saat kesadaran akan kelemahan diri tidak ada, maka yang muncul adalah keangkuhan sebuah HARGA DIRI yang sering menimbulkan perseteruan. Dalam perseteruan tidak mungkin ada kebersamaan sebab tidak ada cinta di dalamnya. Masing-masing pihak akan berusaha meraih apa pun demi dirinya sendiri yang dianggapnya berharga. Maka saat manusia tak lagi penuh cinta, alam pun akan demikian adanya. Dia hanya menerima dan memantulkan kembali apa yang dikehendaki manusia.”
Sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal kubertanya pada si mBah, “Pengejawantahan termudah yang bisa aku lakukan apa mBah, dalam rangka menebar benih-benih cinta itu ?”.
“SEDERHANA. Cukuplah engkau berbuat kebaikan sebagaimana biasanya, sebagaimana yang telah menjadi tanggung kewajibanmu dengan sungguh-sungguh dan janganlah merasa cukup hanya dengan itu, LEBIHKANLAH. Perbuatan baikmu harus plus dalam arti harus lebih dari yang cukup. Misal, di jalanan engkau membeli sebuah koran seharga tiga ribu rupiah dan engkau membayar sesuai harganya, berarti engkau telah berbuat baik. Tapi jangan puas hanya dengan itu, LEBIHKANLAH, lebih baik lagi engkau membayar sejumlah empat atau lima ribu, niatkan sebagai shodaqohmu. Tetanggamu pinjam beras dua kilo, nah kalau engkau memang lagi berlebih kenapa tidak kau beri saja dua kilo ? Pinjamannya tetap sekilo dan selebihnya shodaqohkan. Kalau kau lakukan itu artinya engkau telah menebar benih-benih cinta dan tentu saja yang menerimapun akan bersuka cita penuh cinta pula, engkau mungkin malah akan didoakan olehnya, doa kebaikan. Saat pulang ke rumah, meski capai kemudian engkau melihat ada pekerjaan rumah yang belum beres, bantulah istrimu membereskannya, cuci piring atau cuci baju atau menghangatkan makanan, maka itu artinya engkau LEBIHKAN dalam berbuat baik. Seandainya semua orang berbuat hal yang sama, duhai betapa indahnya hidup kita. Tetapi tidak harus seperti itu, kalau memang kemampuanmu terbatas ya cukuplah berbuat baik saja dan jangan pernah sekali pun merugikan siapa pun dan apa pun.”
“Iya mBah, saya paham.”, jawabku sambil berpikir bahwa hal itu memerlukan latihan dan pembiasaan untuk melaksanakannya. Berarti wirid pun mestinya aku harus LEBIH, tidak Cuma standar sebagaimana biasanya, MINIMALIS.
“Ada lagi mBah tentang menebar benih-benih cinta ?”, tanyaku lagi.
“SEDERHANA saja. Kembali ke kesadaran bahwa dirimu LEMAH. Dirimu tak akan pernah bias hidup tanpa orang lain, maka mulailah untuk selalu berterima kasih kepada siapa pun yang telah menguatkanmu baik secra langsung maupun yang tidak langsung, baik yang engkau mengetahuinya atau pun yang tidak.”
“Jelasnya mBah ?” tanyaku.
“Mulai saja dengan TEMPE. Engkau suka makan tempe, atau engkau malah sering makan tempe ? Coba, apakah engkau tahu siapa yang menemukan tempe ? Siapa pula yang mengajarkan cara pengolahan kedelai hingga menjadi makanan yang bernama tempe ? Siapa pula yang telah menanam kedelai hingga panen, siapa saja pula yang mendistribusikan kedelai itu samapai ke pasar-pasar, sampai ke pengolah tempe, sampai ke penjual tempe dan sampai akhirnya siap tersaji di hadapanmu ? Peralatan apa saja yang dipergunakan sejak mulai biji kedelai disebar ke ladang hingga tersaji di hadapanmu ? Siapa yang menemukan masing-masing peralatan itu dan seterusnya. Duhai, untuk ‘sekedar’ tempe saja begitu banyak orang yang terlibat, begitu banyak orang yang meskipun engkau tidak mengetahuinya telah berjasa kepadamu. Betapa tak terhingganya jasa orang-orang lain di luar masalah tempe. Apakah engkau pernah merenungkannya ? Maka TEBARKANLAH CINTA dengan berterima kasihlah kepada mereka semua. Hadiahkanlah Al-Fatihah untuk mereka sebagai bentuk rasa terima kasihmu. Sebab saat engkau MENGINGAT, kelak engkau pun akan DIINGAT.”
“Dalam setiap doa, jangan hanya anakmu saja yang engkau doakan tetapi doakan juga seluruh anak keturunanmu sampai akhir jaman kelak. Jangan lupa juga mendoakan seluruh leluhurmu. Sebab di sana ada suatu mata rantai yang selalu terhubung antara yang lalu, yang sekarang dan yang akan datang. Mata rantai CINTA. Maka cintailah CINTA karena cinta.”
Tiba-tiba saja sepertia biasa, mBah ZhudhrunH lenyap tak berbekas dari hadapanku, padahala masih banyak yang ingin kutanyakan padanya, masih banyak rasa penasaran terhadap segala sesuatu yang tersimpan di hatiku, tetapi tiba-tiba saja seakan tahu apa yang kupikirkan, suara mBah ZhudhrunH begitu dekat terdengar di telingaku, “Semakin kau banyak tahu, semakin banyak yang kau tidak tahu. Cukuplah apa yang kauketahui itu saja, sebab kau tahu pun tak ada gunanya bagimu, sebab pertanyaannnya adalah kalau kau sudah tahu lalu mau apa ? Lebih baik kau cari tahu saja rasa ujub, takabur, iri, dengki, riya’ dan kawan-kawannya yang masih bersemayam dalam hatimu itu seandainya ada skala imajiner satu sampai sepuluh, maka pada skala berapa rasa-rasa itu berposisi dalam hatimu, agar kau tahu skala prioritasmu untuk mengeliminasinya.”
GLODAK. Skak mat !!!