Ini merupakan pandangan pribadi yang tentu saja sangat-sangat subyektif dari seorang murid dengan tipe minimalis seperti diriku. Kuyakin, mereka yang sudah menapak jalur istiqomah, mungkin tidak mengalami hal-hal yang seperti kurasakan ini. Mohon maaf kalau tidak pas dan tidak ada dalilnya, karena memang daku tidak punya ilmu hingga bisa “ndalil”, bisaku cuma berusaha memahami dan merasakan.
Lanjut…
Dzikir itu tidak mencari rasa, tidak mencari manfaat, tidak mencari fadhilah dan tidak mencari-cari hal-hal di luar niat lillahi ta’ala. Hanya saja, biasanya dzikir itu selalu membawa efek samping yang baik dalam kehidupan kita, yang paling utama adalah selalu bertambahnya keberkahan dalam hidup ini.
Nah, berawal dari beberapa dan ternyata tidak hanya beberapa melainkan sering terjadi padaku sebagai salah satu efek samping dzikir [terutama saat dzikir plus dalam arti dari sisi kuantitas ditambah lebih banyak, tidak lagi minimalis, meski secara kualitas belumlah terjadi peningkatan] adalah munculnya rasa sakit di bagian tubuh tertentu, yang sering terutama adalah pada sistem pencernaan. Nah, kalau sistem pencernaan yang kena biasanya terjadi peningkatan frekuensi BAB, bahkan kalau parah sampai diare.
Itulah sakitnya dzikir, yaitu sakit yang menyembuhkan, bukan sakit yang menyakitkan, maksudnya adalah bahwa sakit itu dalam rangka menyembuhkan tubuh fisikku, mengaktifkan dan menormalkan kembali seluruh fungsi organ dan sitem tubuh dengan membersihkannya, mengeluarkan seluruh racun-racun yang ada di dalam tubuh fisik melalui sistem pembuangan. Rasa sakit itu juga dalam rangka menyembuhkan ruhaniku dengan menggugurkan dosa-dosaku sehingga cermin hati ini bisa berkilau lagi agar siap menerima cahaya-Nya, dapat menerima pesan-Nya dan memahami kehendak-Nya yang tentu saja sesuai format dan kapasitas ruhaniku yang telah ditetapkan-Nya.
Mungkin, kira-kira seperti ini penjelasannya :
Syaikh Ibnu ‘Athâillâh As-Sakandarî dawuh bahwa salah satu fungsi dzikir adalah menghilangkan endapan berlebih dalam tubuh yang diakibatkan oleh makan berlebihan dan mengkonsumsi barang haram.
Mungkin inilah salah satu sebab kenapa bagian tubuh yang paling sering sakit sebagai efek samping dzikir adalah bagian perut, sebab sehat tidaknya seseorang salah satu faktor terpenting adalah dari asupan makanan yang masuk ke tubuh bukan hanya dari kandungan gizinya saja melainkan juga dari kandungan kehalalannya, halal wujudnya serta halal pula cara perolehannya. Mungkin itu pulalah yang menyebabkan orang yang sering berpuasa, rata-rata kesehatannya prima karena racun-racun yang masuk ke dalam tubuh tidak terus menumpuk melainkan cepat dikeluarkan dari tubuh sebagai efek samping puasa yang dilakukan. Nah, keluarnya racun-racun dari tubuh tentu saja melalui sistem pembuangan, bisa melalui keringat yang lebih banyak dibanding biasanya, bisa juga melalui saluran urogenital dan bisa juga menimbulkan diare. Itulah pembersihan tubuh fisik kita sebagai efek samping dzikir, sakit tetapi untuk menyembuhkan.
Syaikh Ibnu ‘Athâillâh As-Sakandarî juga dawuh bahwa dzikir itu laksana api yang bekerja secara aktif dan memberikan pengaruh. Jika di dalam rumah itu bertemu dengan kayu bakar, dzikir itu akan segera membakar. Jika rumah itu gelap, ia akan menjadi cahaya penerang dan jika rumah itu memang memiliki cahaya, ia akan menjadi cahaya di atas cahaya.
Mungkin itulah yang menyebabkan efek samping dzikir berupa penyembuhan tubuh ruhani kita. Dzikir tersebut akan membakar habis segala sesuatu yang seharusnya tidak berada di tubuh ruhani kita, meneranginya, bagai pelita di gelapnya malam dan menuntunnya, bagai mercu suar di luasnya samudera yang tak tentu arah. Kenapa sampai ada sesuatu yang semestinya tidak berada dalam tubuh ruhani kita ?
Mungkin ini adalah beberapa contoh dzikir yang bagaikan membakar kayu bakar di dalam rumah ruhani yang kurasakan sebagai rasa sakit [hanya sekedar sakit yang tak terlalu sakit] yang menyembuhkan :
- Dalam diri kita, manusia, ada unsur syaithon dan memang syaithon lahir dari hawa nafsu kita yang tak terkendali yang tak diniatkan untuk Allah. Hal inilah yang menarik energi jin tanpa kita sadari untuk berkolaborasi dalam memenuhi tuntutan hawa nafsu. Semakin lama bila semakin menumpuk, akan terasa berat di badan, akan terasa malas untuk beribadah dan akan terasa menggelisahkan hati. Dzikir akan membakarnya, dan mengeluarkannya melalui tubuh fisik yang tentu saja melalui sistem pembuangan. Sakit rasanya, namun menentramkan.
- Ada kalanya, tanpa kita sadari, kebiasaan kita berdzikir merupakan daya tarik tersendiri atau bisa dikatakan sebagai medan magnet bagi si jin dan kawan-kawannya untuk ikut kita, ingin mengabdi pada awalnya, tetapi pasti menjerumuskan pada akhirnya. Ada yang ijin terlebih dahulu, tetapi ada juga yang langsung ikut apalagi kalau sebenarnya kita juga menginginkannya. Maka, dzikir akan membakarnya, dan mengeluarkannya melalui tubuh fisik yang tentu saja melalui sistem pembuangan. Sakit rasanya, tetapi memerdekakan.
- Meski orang bilang jaman semakin moderen, namun kenyataannya praktek-praktek klenik alias perdukunan peninggalan masa lalu masih ada hingga saat ini. Cinta ditolak, dukun bertindak. Karir terhambat, sahabat disikat, pakai jasa paranormal bejat. Seperti itulah ibaratnya. Tanpa kita sadari, ada kemungkinan faktor “X” tersebut bersarang juga di bagian tertentu tubuh kita. Dzikir akan membakarnya dan bagian tertentu tubuh kita biasanya akan terasa sakit. Sakit, namun membebaskan.
- Kadang yang dipaksa orang jadi dukun, dimintai “sembur/suwuk/asmak” untuk berbagai hajat termasuk mengobati orang sakit. Sebenarnya biasa, yang agak tidak biasa adalah kalau “sembur/suwuk/asmak” itu ternyata menetralisir faktor “X”. Biasanya balasannya menuju ke kita. Maka, dzikir akan membakarnya. Sakit rasanya, tetapi merontokkan.
Sedangkan dzikir yang menerangi, berkaitan erat dengan fungsi dzikir untuk menyucikan hati. Sebab kesucian hati merupakan prasyarat mutlak untuk dapat menyentuh esensi Qur’an, bukan hanya sekedar kesucian badan dari hadats.
Esensi Qur’an bukanlah mushaf Qur’an, karena mushaf Qur’an merupakan produk teknologi manusia untuk menuliskan atau merekam pesan-pesan Allah melalui simbol-simbol yang dipahami manusia dalam berbagai media. Padahal saat ini media penulisan Qur’an bukan hanya tinta di atas kertas, tetapi bisa disimpan di dalam flashdisk, HP dan sebagainya. Kalau menyentuh mushaf Qur’an harus bersuci terlebih dahulu dari hadats, bagaimana pula kalau qur’an itu tersimpan dalam sebuah aplikasi di HP yang biasanya dikantongi, dibawa masuk toilet pula. Nah ?
Dzikir itulah yang bisa menerangi hati, membersihkan dan mensucikannya, hingga dalam membaca serta mempelajari Qur;an insya Allah kita akan dimudahkan menangkap dan memahami esensi Qur’an serta mengaplikasikan dalam kehidupan dan pengelolaan alam ini, dan memang takkan pernah terbatas untuk dieksplorasi. [yang ini belum terjangkau olehku, mengeja alif ba ta saja masih 'plegak-pleguk' kok]
Nah, dzikir yang menjadi cahaya di atas cahaya, apalagi, belum mudhêng aku.
Mungkin begitu.