Dengan
tiga batang hio dalam genggaman tangan terangkat di depan dahi, sambil bibirnya
komat-kamit melisankan sesuatu rangkaian doa atau entahlah apa, dia berdiri
membelakangi tokonya. Sebuah toko bangunan di tepi jalan kembar yang dipisahkan
median jalan yang cukup asri yang kebetulan terlintasi olehku saat usai
mengantar si hebat Alia sekolah di kisaran jam tujuh pagi kala
itu.
Sebuah
ritual yang kira-kira selalu dilakukan olehnya di setiap pagi. Bukan soal
ritualnya, bukan soal agamnya, bukan soal perbandingan agamanya, bukan pula soal
benar-salahnya yang selalu relatif, namun saya menangkapnya sebagai sebuah
cermin realita untuk dan terutama bagi diri sendiri.
Apa
pun agama yang dianut oleh seseorang sebagai sebuah system kepercayaan dalam
hidupnya, pasti dia memahami ada satu sosok yang super duper alias paling tinggi
di luar keseluruhan kehidupan dan alam semesta dan itulah yang disebut sebagai
TUHAN. Dia yang memahami itu pun kemudian disebut
bertuhan.
TUHAN
memang abstrak, tak terjangkau oleh pikiran, tak terindra oleh mata atau pun
telinga, namun TUHAN bisa dipahami melalui rasa. Hanya tidak semua manusia mau
dan mampu mengolah rasanya untuk mengenal TUHANnya, hingga yang mengaku bertuhan
pun belum tentu benar-benar bertuhan TUHAN, belum tentu mengenal TUHAN, belum
tentu dekat TUHAN, belum tentu pula merasakan TUHAN dan belum tentu juga
mendasari seluruh hidupnya demi TUHAN hingga tak ada yang keluar dari dirinya
melainkan manfaat sebagaimana lebah.
Saya
juga berTUHAN, namun banyak belumnya. Sudah ah… saya mau mencari belum-belum
saya sendiri. Wassalam.