He… he… he… selalu
saja berhadapan dengan cermin buram, saat menyengaja diri mulat sariro hangrasa wani. Sebenarnya
bukan cerminnya yang sudah tak cemerlang, namun bayangan diri yang terpantul
itulah yang memang buram.
Banyak hal yang telah
menjadi rutinitas harian akhirnya menjadi seperti mekanisme mesin, otomatis dan
tanpa kesadaran yang akhirnya akan kehilangan makna di balik rutinitas yang
sebenarnya mulia itu. Maka rasanya perlu sejenak untuk mengambil jeda, menyadari
kembali apa yang telah dirutinkan untuk memaknai kembali agar tak kehilangan
vibrasi niat yang telah dideklarasikan sejak awal mula.
Jenuh melanda, kala
hati tak kunjung ditata dan tertata, akhlak tak juga mulia hingga perasaan pun
tak menjadi reda geloranya, akhirnya pikiran dari banyak diri dalam diri sendiri
saling menginterupsi untuk menjadi yang menguasai ucapan dan tindakan. Lepas
kontrol dan selalu saja tersihir di bebrbagai situasi dan kondisi yang
melingkupi. Bukan karena kuatnya sihir itu sendiri, namun lebih disebabkan oleh
meneyediakan diri untuk disihir. Melepas
lan waspädhä.
Lahir,
bertumbuh-kembang, menjadi dewasa dengan beban tanggung jawab yang selalu dan
pasti bertambah, meraih sesuatu yang disebut dengan prestasi bahkan hingga
kategori puncak prestasi, melahirkan generasi baru, menemaninya untuk bertumbuh
dan berkembang pula, dan kemudian mati. Ritme kehidupan yang selalu sama,
membosankan. Pastinya banyak sekali persoalan di dalam menjalani ritme itu.
Banyak hal yang tak terkendali dan tak sesuai keinginan. Apakah memang hanya
untuk itu ?
-----------------
Tidaklah kuciptakan
jin dan manusia melainkan untuk mengABDI kepadaKU. Demikian yang diinformasikan
Gusti Allah. Sekali lagi JLEB !!! Terpantul bayangan diri yang masih
buram.
Berarti kira-kira,
esensi kehidupan ini tidak lain adalah mengadi padaNYA. Segala laku manusia
haruslah dalam kerangka pengabdian kepadaNYA dan tentunya awalnya ada di
niat.
Sulit, berat dan
rumit. He… he… he… seperti biasanya, kalimat tersebut khusus untuk diri saya
sendiri, sebab saya yakin Panjenegan tidak. [tidak berbeda, maksudnya :D]
Para sesepuh dan
pinisepuh dulu mengajarkan pengabdian melalui sebuah kalimat sederhana, yaitu :
sepi ing pamrih, ramé ing
gawé [sepi / sedikit dari keinginan, namun banyak dalam kerja / aksi nyata /
amal sholih]. Pamrih atau niatnya cuma lillahi ta’ala, namun aksinya adalah
keseluruhan dari kehidupan ini.
Sulit, karena
kehidupan saya masih terikat putaran waktu. Berat, karena saya menyandang
keAKUan. Rumit, karena pikiran selalu mendominasi jadinya kafir [kakean fikiran
alias kebanyakan mikir].
Putaran
waktu, maksudnya adalah
bahwa kesadaran saya masih terikat pada putaran waktu lalu, sekarang dan nanti,
sehingga tak lepas dari adanya sebab-akibat dan aksi-reaksi. Kalau sekarang saya
begini, maka nanti akan begitu. Karena tadi dia beraksi begitu, maka reaksi saya
sekarang begini. Ini berarti belum bisa lepas dari pamrih, belum
mengABDI lakunya.
AKU, maksudnya adalah
bahwa saya masih selalu merasa memiliki seluruh apa yang sejatinya hanya
dipinjami, hanya titipan dan hanya amanah dari Gusti Allah. AKUku selalu mau
menang sendiri, tidak mau diganggu dan selalu menghendaki semua yang
dikategorikan “enak”. Beribu alasan selalu tersedia untuk lapisan-lapisan
keAKUan sebagai alibi pembenar diri. Berarti selalu ada pamrih besar untuk memuaskan AKU
yang nyatanya tak penah kunjung puas, belum juga mengABDI lakunya. Maka
sebenarnya kalau orang kaya lebih sulit dan lama masuk surga, itu bukan karena
hartanya melimpah sehingga auditnya lama, namun biasanya karena AKUnya yang
melekat pada hartanya itu. Merasa memiliki, hingga sangat berat untuk berbagi,
merasa memiliki ilmunya, merasa memiliki kerja kerasnya, merasa memiliki
prestasinya dan seterusnya hingga berat untuk berbagi.Semua dilakukan hanya demi sebuah eksistensi, bukan esensi.
Dominasi
Pikiran, akan selalu
memepertentangkan dua hal yang secara kasat mata berlawanan : aku-kamu,
perempuan-lelaki, panas-dingin, siang-malam dan seterusnya. Pikiran akan selalu
membedakan apa pun, dia tidak memeiliki kesanggupan untuk merasakan ketiadaan
dan tak juga sanggup merasakan keterhubungan dan kesatuan dari semua makhluk. Selama masih selalu membeda-bedakan, maka
selama itu pula selalu ada pamrih pribadi dan itu berarti juga belum mengABDI
lakunya.
Contoh sederhanyanya,
tak usah yang muluk-muluk, saya bekerja, masih sering lupa menata
niat bekerja sebagai sarana mengabdi
kepada Gusti Allah, sebab itulah yang diperintahkan / dituntut
olehNya, menjemput rejekiNya untuk ditebarkan lagi kemanfaatannya dengan
dinafkahkan kepada keluarga dan kalau memungkinkan berbagai pada sesama.
Nyatanya, keterikatan dalam putaran waktu menjadikan bekerjanya saya saat ini
karena mengharapkan imbalan di waktu yang nanti, masih selalu merasa memiliki
ilmu, prestasi dan kerja keras saya dalam bekerja. Juga masih selalu membedakan
pelayanan berdasarkan klasifikasi personal menurut keinginginan dan kenyamanan
versi saya. Kalau si bos baik, pekerjaan pun baik, demikian sebaliknya. Juga
kalau misalnya pelanggannya enak, saya pun ramah, berlaku pula
sebaliknya.
Dalam hal apa pun
yang seharusnya dalam kerangka pengABDIan belum bisa untuk dan hanya untuk
mengABDI. Masih terlalu tebal lapisan-lapisan keAKUan yang menutupi. Maka saya
titéni pula lapisan-lapisan itu akan
dikelupas secara paksa olehNya melalui berbagai cara dan dalam beragam
peristiwa. Yang pasti, sakitnya terkelupas selalu berbanding dengan kadar
kelekatannya.
Bumi berputar pada
porosnya demi perputaran itu sendiri, demi pengabdian kepada ketentuanNya tanpa
memperdulikan seberapa baik atau seberapa tidak baiknya manusia yang
menginjaknya. Begitu pun matahari. Dia memancarkan sinarnya demi pengabdian
kepada ketentuanNya tanpa memperdulikan hal-hal lain di luar pengabdian. Itulah
dharma, itulah sebenar-benarnya pengABDIan, melaksanakan semata yang dituntut,
bukan yang dijanjikan.
Maka selalu saja ada
manusia-manusai mulia yang telah merdeka jiwanya, yang telah menyatu rasanya
dengan Gusti Allah, yang telah keluar dari dirinya sendiri, yang telah terbebas
dari dualitas pikirannya sendiri dan yang telah terbebas dari keterikatan waktu.
Manusia pasca dosa dan pahala, Tidak membawa hal baru, sedikit bicaranya, kalau
toh berbicara itu hanyalah untuk menegaskan kembali pesan yang di bawa, pesan
yang telah menyatu dan terkspresikan dalam keseharian hidupnya yang benar-benar
untuk dan hanya untuk mengABDI. Hidup dan kehidupannya sepenuhnya untuk dharma, mengikuti putaran dharma. Beliau-beliau itulah yang selalu dengan kasih
sayangnya mendekatkan kembali manusia-manusia lain pada rel pengABDIan, melatih
berdharma dalam kehdupan, agar proses pengelupasan lapisan-lapisan keAKUan
berjalan dengan halus tanpa rasa sakit yang sangat. Beliau-beliau itulah jugalah
yang selalu dengan kasih sayangnya memberikan metode-metode mutakhir untuk
melampaui waktu, untuk melampaui pikiran agar tak terjebak dalam bentuk-bentuk
semu yang kasat mata dalam segala hal.
Semoga saya dan
Panjenengan DImampuKAN Gusti Allah untuk terus menerus pada akhirnya benar-benar
dapat mengABDI padaNYA dengan mengABDIkan diri, memberikan kemanfaatan yang
sebesar-besarnya dalam kehidupan ini. Aamiin.
:: Allahumma Nawwir
Qulubana Bi-Nuri Hidayatika Kama Nawwartal Ardla Bi-Nuri Syamsika Abadan,
Abadan, Abadan, Birohmatika Ya Arhamar Rahimina ::