Saat kebutuhan dasar
telah terpenuhi dan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar itu masih melampaui, maka
biasanya yang timbul adalah keinginan yang terkait paut dengan pemenuhan
kebutuhan dasar tersebut.
Seperti misalnya
makan. Saat kebutuhan mendasar tentang makan telah terlampaui, maka makan tak
sekedar mencukupi rasa lapar saja, namun sudah berkembang menjadi keinginan
tentang rasa makanan, tentang cara penyajiannya, tentang tempat, suasana dan
kenyamanan dalam penyajiannya. Begitu seterusnya.
Mungkin itulah yang
menyebabkan perekonomian terus berputar, strategi pemasaran terus berkembang
untuk memancing keinginan dan semua bidang kehidupan diindustrikan. Namun
semestinya tidak untuk 3 bidang ini yaitu
agama, kesehatan dan pendidikan. Kenyataan yang ada tidak demikian, bahkan agama
pun diindustrikan, kesehatan dan pendidikan demikian juga. Tiga hal ini
merupakan hak rakyat yang semestinya sepenuhnya dijamin pemerintah, namun itu
kalau pemerintahnya benar-benar ada he… he… he…
Ah… jadi nyenggol pemerintah
lagi…
Syaikh Abil Hasan asy
Syadzili dikenal sebagai konglomerat pada jamannya, hidup dalam keberlimpahan
dan menampilkan kemewahan, namun dari semua yang dianugerahkan Gusti Allah
kepada Beliau, tak satu pun yang masuk dalam hatinya. Hatinya hanya untuk Gusti
Allah, tak melekat sedikit pun pada dunia yang berada dalam genggamannya.
Zuhud.
SEMOGA seluruh murid
Beliau pun dikaruniai keberlimpahan tanpa kemelekatan, sehingga keberlimpahannya
bisa menjadi rahmat untuk semesta alam, berputar dalam dharma ~
pengabdian.
Beberapa tahun yang
lalu, pernah mengikuti beberapa kali rutinan di hari yang sama, di kediaman
salah seorang jamaah yang baru saja menempati rumah barunya. Rumah yang sangat
luas, indah dan menakjubkan bagi saya yang masih berpikir bahwa rumah masih
berfungsi sebagai kebutuhan dasar. Membayangkan rumah yang sedemikian megah
seperti itu pun tak pernah dan mungkin bahkan tak mampu mengimajinasikan.
Alhamdulillah, ikut berbahagia bahwa Beliau dikaruniai keberlimpahan yang
seperti demikian dan insya Allah, saya yakin sebagaimana Syaikh Abil Hasan asy
Syadzili, hati Beliau tidak melekat pada semua yang berada dalam genggamannya,
kemanfaatannya itulah yang terus diperluas Beliau untuk menjadi rahmat bagi
sesamanya.
Berada di dalam
kemegahan rumah tersebut, rasanya saya seperti orang yang berasal dari pelosok
terpencil negeri ini ~ yang tidak diperhatikan oleh pemerintahnya ~ kemudian
datang ke kota metropolitan hingga terucap “WOW” namun tak sampai koprol begicu.
Ah… jadi nyenggol pemerintah lagi… maaf
sengaja.
Saya membayangkan dipersilahkan masuk,
bebas di dalam rumah tetapi tanpa ditemui tuan rumah, apa jadinya ? Paling
bisanya ya lihat-lihat sambil tolah-toleh atau lebih parah lagi
seperti jarenya arek Suroboyo : LL alias lholhak-lholhok.
Saya baru benar-benar
ngeh dawuhnya Syaikh Luqman di salah
satu kajian hikamnya, bahwa apa artinya
surga jika tak ada Gusti Allah di dalamnya. Pasti sepi, sunyi dan hambar.
Kira-kira begitu.
Gusti Allah yang tak
terbatas, takkan pernah terjangkau oleh akal~pikiran yang terbatas, hanya
hatilah yang mampu memahaminya, hati yang terang.
SEMOGA saya dan Panjenengan
DImampuKAN oleh Gusti Allah untuk merasakanNYA di setiap apa pun. Semoga pula
nanti diperkenankan ngobrol denganNYA meskipun hanya di emperannya surga atau di mana pun sesuai
kehendakNYA.