Tiba-tiba
saja teringat pengamatan tentang diri sendiri sekaligus sambil lalu pengamatan
tentang orang-orang sekitar saat terjebak dalam situasi yang dikatakan “tidak”
mengenakkan.
Berbagai
situasi yang tidak mengenakkan mungkin sering dialami oleh banyak orang, seperti
terjebak kemacetan yang panjang, berada dalam antrian yang mengular, menunggu
jadual keberangkatan yang molor,
menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk, terkena imbas prilaku seseorang yang
kurang baik, menghadapi tekanan atasan di tempat kerja, merasakan kenakalan
anak-anaknya atau apa pun dalam situasi yang lain. Yang jelas, banyak orang
merasakan situasi yang sama, namun yang membedakan adalah respon dari
masing-masing orang terhadap situasi yang sedang
melingkupinya.
Manusia,
karena mempunyai unsur api, maka sebagaimana api dia juga reaktif, dalam arti
bahwa api itu sangat mudah bereaksi terhadap bahan-bahan yang semakin
memperbesar nyalanya atau pun yang justru memadamkannya. Manusia pun seperti
itu, saat dia tidak waspada mejaga nyala api dalam dirinya dengan kadar yang
cukup, maka dia akan selalu reaktif dalam merespon keadaan / situasi yang
melingkupinya, hanya saja reaksinya biasanya cenderung negatif dan yang paling
sering terlontar adalah keluhan, kekecewaan dan kemarahan karena tidak sesuai
dengan keinginannya.
Hujan,
katanya hujan. Panas, katanya panas. Begitu seterusnya, langsung terlontar
keluhan dari lisannya dan itu adalah saya, kalau Panjenengan saya yakin tidak….
tidak beda maksudnya, he… he.. he…
Dari
berbagai situasi, pengamatan paling mudah dengan waktu yang cukup lama dan
meliputi banyak orang adalah saat menunggu dalam suatu antrian, apa pun itu. Kalau tempatnya nyaman,
bersih dan harum seperti di Bank, mungkin orang-orang tidak begitu reaktif
apalagi karena di bank-bank tertentu banyak pemandangan indah (tellernya cantik-cantik he… he… he…).
Namun saat antrian itu berada di tempat yang berkebalikan dari itu, bisa dilihat
bahwa orang-orang begitu mudahnya untuk menjadi reaktif.
Alhamdulillah,
di antrian mana pun sedikit banyak saya jadikan ajang berlatih menjaga perasaan
dan mengendalikan pikiran (maaf ya… nyombong dikit) agar tidak reaktif dalam
arti ya… dinikmati saja.
Kemarin
juga begitu, antri beli tiket Kereta ekonomi jurusan Yogya-Surabaya untuk bulan
Agustus besok. Antrian belum terlalu panjang, orang-orangnya Alhamdulillah bisa
tertib meski udara dalam ruangan cukup memaksa keringat keluar dari tubuh,
maklumlah Surabaya panasnya memang urakan. Tiba giliran di depan loket,
menyerahkan slip pemesanan tiket, ternyata total tarifnya sesuai jumlah yang
saya pesan melebihi uang yang saya bawa yang menurut perhitungan saya sebelumnya
telah mencukupi. Di dompet untuk tiket cuma ada tiga ratus ribu dan itu kurang,
ya sudahlah keluar antrian, Alhamdulillah dengan gembira, bisa menertawakan diri
sendiri karena tidak antisipatif. Solusinya ya cari ATM, jauh juga rasanya
karena jalan kaki, hampir satu kilometer, sambil telpon mamanya anak-anak
menceritakan kejadian tersebut dengan saling menertawakan gembira. Singkatnya,
setelah mengambil kekurangannya, mengulang lagi antriannya yang sudah lebih
panjang dari sebelumnya. He… he… nasib :).
Mengawali
antrian sambil terus mewasapadai diri sendiri, setelah beres, baru belajar dan
bercermin pada mereka yang ada di sekitar. Ada yang asyik dengan HPnya, ada yang
ngobrol santai, ada juga yang tidak bisa diam, tengok kiri kanan belakang, entah
apa yang ditengok. Ada juga yang cemberut, wis… pokoknya macam-macamlah. Energi
yang memancar keluar dari diri mereka masing-masing pun berbeda, ada yang
biasa-biasa saja, ada yang sejuk (bagi yang tetap hening dalam dirinya) dan ada
pula yang kacau melelahkan (mereka yang gelisah, marah, terburu-buru dan yang
perasaannya galau karena terseret pikirannya sendiri).
Namun
ada satu orang yang membuat saya merasa mak JLEB hingga akhirnya menulis apa
yang Panjenengan terpaksa baca ini.
Satu
orang ini persis di belakang saya, seorang anak muda sebaya saya mungkin dengan
usia yang tak terpaut jauh, paling hanya sekitar lima belas tahunan saja
selisihnya dengan usia saya. Lebih tampan dia sedikit, saya yang banyak he… he…
he.. Auranya terasa tidak enak, bahasa tubuhnya mengekspresikan kegalauannya,
bolak balik bergeser ke kanan sambil mendongakkan kepalanya melihat ke arah
loket. “ASTAGHFIRULLAH…. satu aja kok
gak selesai-selesai sih… !!!”, demikian yang terlontar dari
lisannya.
MAK
JLEB.
Tidak membahas dia yang saya kisahkan itu, tetapi lebih ke diri saya sendiri,
bercermin, ngilo gitoké
déwé.
Rasanya
saya sering mengucapkan astaghfirullah atau subhanallah atau masyaAllah saat merespon berbagai
situasi yang “tidak” mengenakkan diri saya, namun kali ini seperti disentil dan
diperolok oleh Gusti Allah, sudahkah saat saya mengucapkan secara lisan asma
Allah tersebut kesadaran hati saya hadir di hadapanNYA ? Sudahkah hati saya
menyadari makna di balik ucapan itu ? Bagaimanakah kondisi perasaan saya saat
mengucapkan itu ? Kenapa saya tidak pernah mengucapkan alhamdulillah pada situasi yang “tidak”
mengenakkan saya ?
Ternyata
dan memang nyatanya, saya mengucapkan kalimat-kalimat itu tanpa kesadaran diri.
Ternyata dan kenyataanya, saya jauh dari memaknai apa yang saya
ucapkan.
Ternyata
dan faktanya, saya sama sekali tidak hadir di hadapanNYA saat saya lisankan
asmaNYA.
Ternyata
dan demikianlah realitanya, seluruh kalimat baik itu hanya sekedar ekspresi
keluhan dan kekecewaan nafsu saya yang sama sekali tidak rela dengan situasi
yang sedang melingkupi diri saya.
Saya
dulu sering misuh alias mengumpat
cara Surabaya (jan**k,
tiiitttt~sensor), bukan dengan gembira melainkan dengan amarah dan kebencian.
Kelihatannya saat saya mengucap istighfar atau tasbih atau yang lainnya,
kelihatannya lebih baik dan lebih relijius dibandingkan dengan mengumpat, namun
di balik itu saya pikir tak ada bedanya dengan mengumpat itu tadi. Sebab di
balik kedua hal yang kelihatan bertentangan tersebut, saya merasakan ada vibrasi
perasaan yang sama, yaitu kekecewaan, kegelisahan, keluhan dan kemarahan karena
apa yang sedang terjadi tidak sesuai dengan keinginan saya, yaitu sesuatu yang
saya anggap “enak / nyaman / mudah / untung / yang
lainnya”.
[Semoga
saja saya dan Panjenengan, jangan sampai sekalipun mengacungkan tangan yang
terkepal sambil meneriakkan asma Allah namun dengan perasaan yang diselimuti
dendam, kemarahan dan kebencian. Sebab tak beda srtinya dengan mengumpat, tak
lebih dari itu.]
Lagi-lagi,
apa yang ada di dalam lebih utama dan menentukan dari apa yang tampak di luar.
Apa yang di balik ekspresi itulah yang menentukan nilainya. Maka tak bisa tidak,
harus terus berusaha, belajar dan melatih diri untuk memuliakan
akhlak.
Ah…
ternyata harus lebih banyak lagi beristighfar, bahkan istighfar saya itu sendiri
masih harus banyak-banyak pula diistighfari.
Semoga
DImampuKAN. Aamiin.