Sebagaimana
biasanya, terkadang Cak ZhudhrunH didatangi oleh kenalan-kenalannya baik yang
sudah lama kenal maupun yang baru kenal lewat kenalannya yang lain, juga yang
sudah lama dekat atau yang baru mendekat. Bukan hal yang penting, sekedar
mengobrol ringan sambil ngopi dan nyamil seadanya, namun ada kalanya beberapa
kawan ingin mengetahui hal-hal yang membuat mereka penasaran karena
pancingan-pancingan yang sering dilontarkan Cak ZhudhrunH.
Demikian
juga dengan malam itu, sepulang kerja si Cacak yang satu itu ternyata sudah
ditunggu oleh beberapa kawannya di beranda depan rumahnya. Obrolan-obrolan
ringan dari satu topik ke topik lainnya yang tak lupa diselingi gurauan segar
penyegar jiwa.
Tak
terasa waktu pun merambat kian malam dan rasanya bagi kawan-kawan Cak ZhudhrunH
sudah waktunya untuk berpamitan pulang, namun ternyata di akhir obrolan itu,
Ning Anyel melontarkan suatu pertanyaan kalau tak boleh disebut sebagai keluhan,
sebuah pertanyaan sekaligus pernyataan yang masih terkaitpaut dengan apa yang
mereka obrolkan sebelumnya.
Kebetulan
Ning Anyel ini memiliki kepekaan lebih, kebetulan juga dia memiliki seorang
sahabat sebut saja Ning Memel dan antara kepekaan serta persahabatan itu
ternyata berefek kurang baik bagi Ning Anyel sebab dia sangat-sangat bisa
merasakan apa yang sedang dirasakan oleh sahabatnya itu. Jadi saat sahabatnya
itu dalam kondisi down, dia pun bisa
dengan tiba-tiba merasakan hal yang sama dan itu
melelahkan.
“Aku
itu pengennya bisa mutus itu Cak… aku kan capek kalau seperti itu terus…”, kata
Ning Anyel.
“He…
he… he… siapa namanya ?”, jawab Cak ZhudhrunH yang bersiap langsung mengeksekusi kondisi itu.
“Memel
Cak…”, sahut Ning Anyel.
“Hiya…
tak usah kau sebutkan namanya, pejamkan matamu, hadirkan saja ia di pikiranmu
dan rasakan !”, jawab Cak ZhudhrunH dan melanjutkannya lagi, “Pakai baju warna
apa dia sekarang ?”.
“Pink
Cak… dia lagi senang ini… xixixixi”, jawab Ning Anyel sambil juga cekikikan
mungkin sama seperti yang sedang dilakukan sahabatnya itu.
Cak
ZhudhrunH pun menimpali, “Kira-kira, saat ini keterhubunganmu dengannya kalau
bisa disimbolkan begitu seperti apa atau kalau digambarkan seperti bagaimana
?”.
“Maksudnya
Cak ?”, ujar Ning Anyel dengan tetap memejamkan matanya.
“Ya
mungkin keterhubunganmu dengan sahabatmu sekarang ini bisa disimbolkan dengan
adanya tali atau kabel yang menghubungkanmu dengannya atau mungkin dalam
gambaran sebagaimana engkau dan dia berkomunikasi dengan HP ?”, jelas Cak
ZhudhrunH.
“Iya
Cak… HP.”, jawab Ning Anyel
“Nah
kalau begicu… sekarang matikan HPmu dengan menekan tombol merah
!”
“Sudah
Cak.”
“Kalau
sudah sekarang cari nama sahabatmu itu memori HPmu !”
“Ketemu
Cak.”
“Remove
!!!”
“Sudah
Cak.”
“Cari
lagi pastikan sudah tidak ada namanya di memori HPmu !”
“Masih
ada Cak satu…”
“Remove
!!!”
“Gak
bisa Cak !”, jawab Ning Anyel dengan ekspresi sedikit
menegang.
“HAPUS
!!!”, perintah Cak ZhudhrunH tegas.
“Gak
bisaaaaa Cak….. ah… ternyata aku yang gak tega Cak… aku terlalu sayang sama
dia”, jawab Ning Anyel sambil tertawa.
“He…
he… he… lha nek mbok gawe-gawe dewe yo gak usah sambat, kalau ternyata engkau
sendiri yang menghendaki ya gak usah mengeluh… !”, sahut Cak ZhudhrunH sambil
terkekeh mengakhiri sesi itu.
Dan
yang ada di situ pun tertawa semua seakan mengerti tentang semua yang dilakukan
Cak ZhudhrunH sedari tadi, mencoba membantu merekonstruksi pola pikir Ning Anyel sekaligus mengejar kesungguhan keinginannya dan juga sambil
mencari akar masalah dari apa yang dikeluhkannya.
“Makanya
berusahalah selalu waspada terhadap diri sendiri, terhadap semua keinginan dan
segala keluhan, kejar terus dengan pertanyaan-pertayaan pada diri sendiri hingga
pada akhirnya terkuak apa yang sebenarnya ada di pikiran dan perasaan kita,
sebab biasanya segala permasalahan selalu berawal dan bersebab dari diri kita
sendiri bukan dari faktor di luar diri kita. Terpenting, selalu ikuti kata hati
namun juga tetap wasapada bahwa jangan-jangan kata hati kita sudah termanipulasi
oleh pikiran atau hawa nafsu kita sendiri. Itu !!!”
::
DEMIKIANLAH ::