Home » » Ojo nggumunan, ojo kagetan, ojo kepinginan

Ojo nggumunan, ojo kagetan, ojo kepinginan

Written By BAGUS herwindro on Jul 18, 2008 | July 18, 2008

Ojo nggumunan, ojo kagetan, ojo kepinginan, begitu kata orang tua-tua dulu. Nggumun itu artinya heran dan kaget itu artinya terkejut, sedangkan kepingin artinya ingin. Sebenarnya antara nggumun dan kaget itu hampir bersamaan prosesnya, bisa juga sendiri-sendiri. Seseorang yang tidak pernah tahu suatu fenomena kemudian secara tiba-tiba saja tahu biasanya akan merasa heran dan jika herannya tersebut kadarnya melebihi batas kewajaran maka rasa heran itu akan berlanjut dengan rasa terkejut. Pada sisi yang lain, tidak jarang rasa heran itu akan berlanjut menjadi rasa ingin terhadap apa yang diherankan. Kenapa kok dipesankan seperti itu ? Ternyata implikasi dari rasa heran, terkejut dan ingin itu cukup gawat. Dalam segala hal, dalam segala bidang kalau rasa heran, terkejut dan ingin itu terjadi tanpa terkendali bisa gendeng/gila akibatnya. Jadi semestinya dalam segala hal, dalam segala sesuatu dan dalam segala kejadian haruslah disikapi dengan biasa-biasa saja, cool gitu loch.....

Aku jadi ingat dawuhnya Syaikh Sholahuddin tanggal dua puluh empat april dua ribu lima yang lalu sebagaimana yang pernah kuposting, Ojo ngelokno wong liyo. Ngelem iku yo termasuk ngelokno” [Tidak boleh mencela, tetapi memuji pun termasuk mencela]. Menurutku, mencela atau pun memuji itu ternyata juga akibat dari rasa heran. Coba kalau sudah sering tahu suatu fenomena secara berulang mestinya tanggapan yang keluar adalah biasa-biasa saja, tanpa celaan dan juga tanpa pujian.

Di mana pun di muka bumi ini, baik di masa yang lalu, sekarang atau pun nanti, sebenarnya kisah hidup yang terjadi adalah sama saja, yang berbeda hanyalah seting tempat, tokoh utama, tokoh figuran dan variasi karakter para tokohnya. Karena itu ojo nggumunan, ojo kagetan, ojo kepinginan. Beberapa kasus di bawah ini mungkin sering kita temui dalam keseharian.

Beberapa tahun ini rasanya kasus perselingkuhan begitu banyak yang diekspose di media masa di mana terjadi di seluruh strata sosial masyarakat. Itu sebuah fenomena yang seharusnya disikapi secara proporsional sebagai bahan pelajaran agar kita tidak seperti itu tetapi jangan sampai hati kita ikut-ikut. Nah kebetulan aku punya teman yang benci banget tentang hal itu. Kalau ada berita tentang itu atau dia tahu si X melakukan hal itu, pasti dengan segenap perasaannya akan diudal-udal atau apa ya bahasa Indonesianya, mungkin diungkapkan atau disebarluaskan dengan sinis. Eeeh... ndilalah kersaning Allah lha kok sekarang dia sendiri yang seperti itu. Ini mungkin karena heran itu tadi, dia tidak bisa menerima fenomena tersebut dan disikapi dengan kebencian dalam hatinya sehingga dalam pikirannya yang terprogram malah apa yang dibencinya dan apa yang selalu diudal-udal olehnya. Pada akhirnya apa yang terprogram dalam pikirannya itulah yang terwujudkan dalam hidupnya. Makanya orang tua-tua kita dulu juga berpesan : ojo moyok mengko mundak nemplok [jangan mencela nanti malah terjadi pada dirimu]. Gendeng kan ?

Ada juga seorang yang kukenal yang bercerai dengan pasangannya dengan alasan tidak ada kecocokan karena pasangannya itu begini begitu, pokoknya negatif banget dan dia benci yang seperti itu. Aku jadi heran, lha dulu bagaimana lho kok sekarang seperti itu. Dia heran pasangannya seperti itu, belum bisa menerima, belum bisa sabar dan syukur, jadinya benci. Eeeh... ndilalah kersaning Allah setelah menikah lagi kok ternyata karakter pasangan barunya tidak jauh beda dengan yang sebelumnya. Benci dari hati, terprogram di pikiran dan itulah yang akan terwujud, mungkin memang seperti itu mekanisme alamiahnya. Nah ! Gendeng juga kan ?

Beberapa bulan lalu di harian Jawa Pos ada berita tentang ayam abu-abu, yang sebenarnya fenomena ini sudah sejak lama ada. Mereka yang menekuni “profesi” sebagai ayam abu-abu tidak seluruhnya karena terdesak faktor ekonomi atau pun dengan alasan sudah terlanjur rusak, tetapi ada juga yang karena gaya hidup hedonisme dimana kesenangan dan kenikmatan hidup adalah tujuan utama. Nah yang seperti itu biasanya juga karena diawali oleh rasa nggumun/heran terus kepingin/ingin. Melihat teman-teman mereka yang dari keluarga kaya, bajunya bagus-bagus, hp-nya mesti seri terbaru, hangoutnya di tempat-tempat gaul dan sebagainya. Karena heran dengan gaya hidup yang seperti itu, jadinya ingin seperti itu, jalan pintas. Tambah gendeng kan ? Tidak bisa bersabar, tidak bisa mensyukuri kondisinya, tidak ada kerelaan akhirnya kalah oleh hawa nafsunya.

Yang ini, akhirnya juga gendeng tapi jauh sekali dari gendeng sebagaimana kasus di atas, karena masuk dalam ranah spiritual. Pernah dikisahkan oleh Syaikh Luqman, ada seoarng putra kiai yang dipesankan oleh kiai itu (abahnya) bahwa dia boleh mempelajari semu kitab yang dimiliki oleh sang kiai tetapi tidak untuk satu kitab khusus karena berisi ilmu hakikat tingkat tinggi yang jika dipelajari tanpa bimbingan dari mursyid bisa gendeng akibatnya, gendeng sama Allah maksudnya. Ternyata pesan ini dilanggar, sang putra kiai nekat mebuka buku itu. Baru satu kalimat dibaca, dia mengalami keterkejutan spiritual ya mungkin karena dibukakan oleh Allah melalui kalimat yang dibacanya. Karena belum bermursyid, maka keterkejutannya itu tidak tertata, langsung jadzab terus gak normal-normal. Bahkan sampai meninggalnya masih dalam kondisi jadzab.

Silahkan gali lebih dalam dari ojo nggumunan, ojo kagetan, ojo kepinginan.

Share this article :
Comments
1 Comments

1 komentar:

  1. setuju Om (apanya yg setuju ya:))
    "hidup ini memang akan lebih sempurna jika kita mampu terbebas dari banyak keinginan (yg tidak perlu)"

    ReplyDelete

IG
@bagusherwindro

Facebook
https://web.facebook.com/masden.bagus

Fanspage
https://web.facebook.com/BAGUSherwindro

Telegram
@BAGUSherwindro

TelegramChannel
@denBAGUSotre

 
Support : den BAGUS | BAGUS Otre | BAGUS Waelah
Copyright © 2013. den Bagus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger