Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili dan Syaikh Abu al-Abbas al-Mursi juga tidak menulis kitab apa pun, kitabnya ya para murid-muridnya, sehingga kalau mau belajar ya belajar dari murid-muridnya. Demikian juga dengan Syaikh Mustaqim, Syaikh Abdul Jalil maupun Syaikh Sholahuddin menurut Kang Wasi’ juga tidak menulis kitab apa pun, bahkan biografi saja Beliau-Beliau tersebut sebenarnya tidak berkenan. Sehingga pada intinya setiap murid adalah satu kitab tersendiri.
[Suatu hari Syaikh Abil Hasan ditanya seseorang, "Wahai Syekh, mengapa engkau tidak menulis buku-buku yang memberi kami tuntunan kepada Allah SWT ?" Syaikh menjawab, "Bukuku adalah murid-muridku."]
Satu hal lagi yang ditekankan bahwa seharusnyalah seorang murid fanatik pada guru mursyidnya karena tidak ada kecil pun yang dapat disembunyikan dari guru mursyid. Andai seorang murid mungkin suatu saat mendapat isyaroh berupa apa pun juga, maka harus dikonsultasikan kepada guru mursyid tentang makna hakiki dari isyaroh yang ditemanya tersebut.
Demikian sekelumit tentang khususiyah hari Jum’at malam kemarin dan hari ini buku baruku datang via titipan kilat yang rasanya sangat perlu untuk dimiliki, dipelajari dan ditauladani juga dalam rangka bertabaruk (jawa : ngalap barokah) kepada sang penulis dan dua tokoh dalam buku tersebut : Lathâif – al-Minan, Ibnu Athaillah, penerbit Serambi.
Semoga bermanfaat.