Home » » Takdir

Takdir

Written By BAGUS herwindro on May 30, 2008 | May 30, 2008

Apa sih yang namanya takdir itu ? He.. he... ini sih omonganku sebagai orang awam saja yang jauh dari kebenaran yang hakiki. Yang pasti iman kepada takdir Allah merupakan salah satu rukun iman.

Pemahaman tentang takdir bagi setiap orang tentu saja berbeda-beda tergantung sudut pandang yang dipakai dalam memahami takdir. Pemahaman tentang takdir, bagiku mengalami perubahan antara pemahamanku yang dulu dan yang sekarang.

Dulu aku memahami takdir dengan cara yang sederhana, dengan contoh sederhana untuk keyakinanku sendiri. Anggapanku waktu itu, Allah sudah menetapkan masing-masing takdir untuk berbagai pilihan yang ada, tergantung kita sendiri mau menjalani takdir yang mana. Jadi aku menganggap bahwa variabel takdirku dan kombinasi antara variabel takdirku ada dalam jumlah yang tak terhingga, tinggal akunya yang menentukan variabel takdir yang mana. Misalnya besok akan ada ulangan/ujian/test yang terdiri dari 10 soal dan masing-masing soal nilainya 10, sehingga kalau umpama benar semua takdirnya ya nilai 100, kalau benarnya cuma 4 soal ya takdirnya dapat nilai 60. Jadi tinggal bagaimana usaha belajarku mempersiapkan diri menempuh ujian. Sehingga misalnya aku ogah-ogahan belajar sehingga soal yang kukerjakan hanya benar 5 soal ya takdirnya aku dapat nilai 50 bukan karena sejak semula aku ditakdirkan dapat nilai 50. Begicu...

Setelah itu muncul lagi pemahaman akibat dari kebingungan dari dua hal yang seakan-akan bertentangan yaitu :

[Q.S. 13:11] Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.

Wah berarti menurut ayat tersebut perubahan takdir manusia itu ya tergantung manusianya sendiri, mau atau tidak untuk berubah. Lha sedangkan dalam salah satu hadits kita diajarkan untuk mengucapkan :

Laa haula walaa quwwata illaa illaahil'aliyyil'adzhim. (Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung).

Yang satu faktor dominannya adalah manusia itu sendiri tetapi yang satu lagi faktor dominannya adalah Allah, tiada kan berarti kebalikannya yaitu hanya Allah. Lha bagaimana itu ?

Setelah mengalami fase perenungan, pencarian dan pengalaman akhirnya muncul suatu pemahaman yang lebih baru lagi yaitu bahwa di antara keduanya sama sekali tidak ada yang bertentangan. Misalnya saat ini takdir Allah yang sedang berlaku untuk diriku adalah AKU SEDANG SAKIT (Titik A). Aku ingin sembuh, maka aku harus mengubah keadaanku agar terjadi kesembuhan yaitu dengan jalan berobat baik ke dokter atau minum obat yang sesuai atau dengan memperbaiki asupan gizi yang masuk ke dalam tubuhku. Setelah berbagai upaya itu aku jalani maka terjadilah kesembuhan atas penyakitku (Titik B). Secara nalar kesembuhan atas sakitku adalah karena upayaku sendiri mendapatkan kesembuhan itu sendiri dengan jalan berobat. Tetapi bila ditelusuri lagi dari mana sih timbulnya keinginan untuk sembuh itu, dari mana juga timbulnya niat untuk berobat, lalu siapa yang mengatur pertemuanku dengan dokter atau dengan obat yang pas ? Ternyata tidak lepas dari Allah juga. Jadi kesimpulannya dari posisi takdir pada Titik A menuju posisi takdir pada Titik B memang harus ada ikhtiar, tetapi ternyata ikhtiar itu sendiri juga merupakan takdir Allah. Sehingga Allah kalau berkehendak mengubah takdir seorang hamba pada titik yang lain, maka Allah juga yang mempersiapkan ikhtiar perubahan itu sehingga si hamba berada pada titik yang dikehendaki-Nya.

Seiring berjalannya waktu, ditambah pemahaman-pemahaman baru yang aku dapatkan di sepanjang perjalananku terutama juga dari bimbingan Syekh Luqman, aku jadi mengerti bahwa semula ada dua golongan pemikiran tentang takdir, yaitu serba Tuhan (Jabariyah) dimana dalam paham golongan ini manusia sama sekali tidak bisa berkehendak – mutlak kehendak Allah. Jadi bagi yang menyalahpahami sering hal itu dijadikan alasan, misalnya mengatakan kalau saya berbuat maksiat itu ya karena Allah mentakdirkan seperti itu. Ada juga golongan yang kedua dengan pahamnya yang serba manusia, dalam pengertian manusia bebas tanpa campur tangan tuhan, jadi setelah Allah menciptakan semesta ini ya sudah dibiarkan berjalan dengan sendirinya. Masing-masing golongan ada benarnya dan juga ada salahnya menurutku. Lha terus bagaimana dong ?

Dari dua golongan tersebut menurut Syekh Luqman, ada tempatnya masing-masing, ada wilayahnya sendiri-sendiri, yaitu dimensi hakikat/wilayah hati dan dimensi syariat/wilayah akal-pikiran. Bahwa segala hal yang terjadi baik yang sudah, sedang maupun yang belum secara hakiki adalah sepenuhnya takdir Allah dan hal tersebut adalah wilayah hati untuk meyakininya. Tetapi dalam dimensi syariat atau menurut wilayah akal, segala hal haruslah direncanakan, distrategikan, dihitung, ditata dan diusahakan untuk hasil yang terbaik. Dua hal tersebut harus dapat berjalan seiring tanpa boleh terbolak-balik atau pun campur aduk. Misalnya dalam suatu musibah kecelakaan pesawat terbang, hati harus langsung menerima bahwa secara hakiki itulah takdir Allah, tetapi secara syariat dalam wilayah akal ya harus tetap diusut penyebabnya apa, kesalahannya terletak di mana dan apa tindak lanjutnya serta bagaimana antisipasi ke depannya agar kasus serupa tidak terulang kembali. Misalnya lagi dalam menjalankan suatu usaha, hati ya harus berserah diri bahwa apa pun yang terjadi nantinya adalah takdir Allah sehingga sejak awal sudah harus bertawakal, sedangkan akal ya harus tetap menghitung bagaimana proses produksi yang efektif dan efisien, bagaimana strategi pemasarannya dan sebagainya. Tidak boleh dibolak-balik, misalnya hati ikut mikir tidak mau berserah diri sehingga mengalami kecemasan, ketegangan dan selalu bergemuruh. Atau sebaliknya akalnya yang pasrah, ya tidak bisa jalan itu.

Mungkin ini rumus sederhananya seperti ini :

1. Wilayah tidak bebas -> hakikat -> qolbu : yakinlah bahwa setiap detik kehidupan kita dalam segala aspek sudah ditakdirkan oleh Allah, sehingga sangatlah rugi bagi kita bila tidak menyertai ketentuan Allah tersebut dengan ingat kepada-Nya / dzikir, untuk itu detakkanlah jantung kita dengan berdzikir kepada-Nya : ALLAH….. ALLAH….. terus.

2. Wilayah bebas -> syariat -> akal : harus berusaha mengoptimalkan segala potensi kehidupan yang sudah dikaruniakan-Nya kepada kita untuk selalu berusaha mencapai yang terbaik yang bisa kita capai dalam kehidupan ini.

Satu hal lagi yang terpenting adalah jangan sampai menyesali apa pun yang sudah terjadi. Yang sudah terjadi ya sudah lha wong takdir, jangan sampai kemudian berandai-andai seperti : “Wah... kalau saja dulu saya begini” atau “Umpamanya dulu saya begitu pasti engga begini jadinya”. Menurut Syekh Luqman misalnya di masa lalu kita berbuat dosa ya sudah bertobat saja anggap saja dengan bahasa kesadaran kita bahwa mungkin Allah memang mentakdirkan kita untuk berbuat dosa dalam rangka lebih mendekatkan diri kita pada Allah. Begitu. Tetapi tidak boleh untuk yang kedepannya dengan alasan takdir, misalnya :”Ah saya tak berbuat dosa aha nanti saya akan begini begitu”, nah itu tidak boleh.

Sekedar intermezo, saya dulu juga suka begitu waktu kuliah terutama kalau sehabis Ujian Akhir Semester yang kebetulan engga bisa ngerjakan soal ujiannya dan ada tanda-tanda kalau harus mengulang mata kuliah yang sama. Teman-teman pasti berguraunya : “Wis, sing uwis yo wis, sing durung dibaleni semester ngarep”.

Share this article :
Comments
1 Comments

1 komentar:

IG
@bagusherwindro

Facebook
https://web.facebook.com/masden.bagus

Fanspage
https://web.facebook.com/BAGUSherwindro

Telegram
@BAGUSherwindro

TelegramChannel
@denBAGUSotre

 
Support : den BAGUS | BAGUS Otre | BAGUS Waelah
Copyright © 2013. den Bagus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger