SATUS SELAWE

Written By BAGUS herwindro on Sep 18, 2019 | September 18, 2019

Meskipun saat ini sudah banyak yang memakai OVO sama GO-PAY, tetap saja transaksi secara tunai masih banyak. Sebagai konsekuensinya, maka penjual harus siap untuk memberikan uang kembalian (susuk) untuk para pelanggannya terutama kalau nilai jualnya tidak genap ribuan, puluhan ribu, ratusan ribu dan seterusnya.

Yang menjadi masalah adalah bahwa saat ini untuk mencari uang koin sebagai kembalian adalah hal yang sangat sulit, bahkan sampai tukar di bank pun hampir bisa dikatakan tidak pernah memperolehnya.

Akhirnya, gerilyalah yang harus dilakukan, dengan mengerahkan siapa pun yang mempunyai tabungan di rumah berupa uang koin.

----------

Tetapi, sebelum saya lanjutkan, saya perlu menginformasikan suatu hal yang tidak penting bagi Panjenengan, yaitu nomer HP saya yang saya pakai untuk WA, itu juga merupakan akun untuk OVO dan GO-PAY saya, jadi boleh kalau sewaktu-waktu misalnya memang sengaja salah transfer OVO atau GO-PAY ke nomor tersebut.

----------

Dua minggu lalu karena ada yang berbaik hati menukarkan uang koinnya, saya menemukan lagi beberapa keping uang logam dua puluh lima rupiahan. Berharga sekali itu bagi saya secara pribadi. Jadi ingat jaman dulu sewaktu masih muda sekali.

Dulu, kalau ada yang datang dengan masalah yang ruwet dan saya lihat orangnya memang ruwet sehingga tak heran bila masalahnya pun ruwet, tidak usah banyak omong, saya suruh saja "melarung" uang senilai 125 rupiah (satus selawe) sebagai syarat, sambil saya ceramahi paradigma kesadaran. Tidak masalah juga kalau saat itu dia tidak memahami apa yang saya paparkan karena memang akalnya belum berjalan normal, nanti pada saatnua kalau kesadarannya sudah bertumbuh maka dia pasti akan ingat apa yang sayakatakan, yang penting saat itu adalah dia“manut” sama saya, bersusah payah mencari uang koin 125 rupiah sebagai “syarat”nya. Kalau koin 100 rupiahnya saya yakin mudah untuk memperolehnya, namun kalau yang 25 rupiah itu yang sulit, sebab sudah jarang terpakai dan peredarannya pun semakin sedikit.

Lha kok pakai “syarat”segala ? Nanti dikira dukun. Biar saja, memang dukun kok, he… he… he… dukun pijat. Memberi “syarat” itu juga ada ilmunya, tidak bisa asal.

Kalu dia tidak mau bagaimana ? Gampang, saya suruh pulang.

Lha saya kan harus mampu membedakan, seseorang ini perlu terapi psikologi saja ataukah perlu mentransformasikan kesadarannya ? Saya juga harus melihat tradisinya dia, kuat di tradisi apa ? Tradisi teoritis, tradisi esoterik, tradisi spiritual, tradisi budaya atau tradisi psikoterapi ? Masing-masing tentunya berbeda pendekatannya.

Kalau orang tersebut perlu terapi psikologi, berarti “organ” yang harus diterapi adalah “belief”nya, limiting beliefnya harus dipatahkan hingga menjadi empowering belief. Biasanya juga selalu terkait dengan rekonsiliasi memori, mengkondisikan memori yang bermuatan emosi negatif menjadi netral. Ini sifatnya mengubah dan mengubahnya pun pada dimensi yang sama (lokal), dalam arti bahwa semisal yang bermasalah adalah badannya maka yang diterapi adalah badannya pula sehingga kondisi badan berubah. Demikian juga bila yang bermasalah adalah psikisnya maka yang diterapi adalah juga psikisnya, sehingga kondisi psikisnya berubah dan biasanya disertai pula perubahan kondisi badan. Solusinya diupayakan dari dimensi yang sama, yaitu dimensi yang bermasalah, karena itu diistilahkan dengan lokal.

Namun kalau transformasi kesadaran, tidak hanya cukup dengan mengkondisikan emosi menjadi netral atau sering diukur dalam skala SUDS (Subjective Units of Distress Scale) yang menunjukkan angka 0 (nol), melainkan harus naik kesadarannya sampai  diamenemukan keindahan dalam permasalahan yang di hadapinya tersebut karena dalam masalah itu pasti ada skenario kehendak-NYA yang kemudian menimbulkan perintah-NYA untuk mengelolanya. Ini yang tidak mudah, bagi yang tidak mengalami kehadiran-NYA. Semua orang beragama selalu meyakini bahwa TUHAN itu ADA, tetapi tak semua yang beragama mengalami TUHAN itu HADIR. Nah, transformasi kesadaran ini disebut dengan non-lokal, karena memang solusi hadir pada dimensi yang lebih tinggi dari pada dimensi yang bermasalahlah. Yang bermasalah adalah dimensi badan atau dimensi psikis, tetapi solusinya diupayakan dari dimensi Ruh.

Kapan seseorang mengalami dimensi Ruh ? Saat dia mampu mentransformasikan kesadarannya dari Ego yang bersifat Personal menjadi Transpersonal. Dari diri yang imanen menuju diri yang transenden. Saat seseorang mulai memasuki lapisan inti dirinya atau diri yang otentik. Otentik itu berarti sesuai dengan tujuan penciptaan.

RUWET

Orang yang masalahnya ruwet itu biasanya pola pikirnya juga ruwet. Kenapa ruwet ? Karena dia tidak pernah menyadari dirinya sendiri, tidak pernah keluar dari dirinya sendiri dan memandang segala sesuatu dari sudut pandangnya sendiri yang tentunya dominan oleh kepentingan egonya sendiri. Harus menang, harus bener, harus enak dan seterusnya. Energinya penuh penolakan. Dia hanya memilih sepotong kebenaran menurut persepsinya sendiri dan menolak kebenaran yang lain. Masih jauh dari cahaya Tuhan.

Makanya “syarat” dari saya adalah dia harus melarung duit 125 rupiah. Kenapa yang keluar adalah “syarat” ? Karena yang saya orang yang saya hadapi saat itu kondisinya kuat dalam tradisi budaya dan perlu lebih dari psikoterapi biasa.

SYARAT

“Syarat” itu sendiri terbit dari kedalaman hati (lubb / lubuk hati), yaitu dimensi ke-6 dari hati yang disebut dengan nurani, tempat terbitnya fatwa hati yang memandu kedamaian diri. Seseorang yang dimampukan untuk mengakses dimensi tersebut adalah mereka yang berada dalam “paradigma estetis” mereka yang selalu menciptakan konteks keindahan dalam hal apa pun, jadi tidak dipengaruhi oleh system (paradigma mekanisme) atau pun oleh lingkungan mereka (paradigma deterministik).

Dia berada dalam kesadaran ruh atau kesadaran observer (tukang nyawang). Ruh itu ada dan hadir. Ruh sebagai “ada” itu disebut dengan eksistensi. Jadi saat seseorang itu bercermin kemudian citra yang tergambar pada cermin itu diakui sebagai dirinya, dia merasa ada, itulah fenomena ruh sebagai “ada”. Sedangkan ruh sebagai “hadir” disebut dengan kesadaran. Kesadaran inilah yang bertingkat-tingkat sehingga setiap manusia menempuh proses evolusi kesadarannya masing-masing dan tentunya dengan kecepatannya masing-masing.

Bagaimana bisa menciptakan konteks ? Pertama, ruhnya hadir sebagai kesadaran yang melampaui tubuhnya, melampaui pikirannya, melampaui perasaannya dan melampuai jiwa-jiwanya atau ego yang bergerak dalam ruang waktu (consciousness). Terus menerus hadir dalam kesadaran. Kedua, niat (intention) sebagai pemberi bentuk dan batas untuk konteks yang diciptakan pada “divine matrix”. Ketiga, perhatian (attention) atau pengamatan terhadap realitas saat ini per saat ini untuk memanifestasikan niat (intention) pada ruang waktu.

Karena itu, medan kesadaran si pemberi “syarat” merupakan faktor penting untuk membantu terbukanya kesadaran si penerima “syarat” tersebut, terutama saat si pemberi “syarat” mengambil tanggung jawab atas hal itu karena esensinya adalah bahwa semua peristiwa itu merupakan pengulangan-pengulangan memori atas peristiwa lain yang sudah pernah terjadi di semesta dan itu semua juga ada juga dalam dirinya. Sehingga saat si pemberi “syarat” menyembuhkan dirinya sendiri atas “sakit” itu, maka berarti dia ikut menyembuhkan database semesta atua setidaknya mengurangi memori tentang “sakit” itu.

Dengan demikian, sebenarnya “syarat” itu unik sesuai personalitas yang diberi “syarat” tersebut, sehingga tidak bisa asal menduplikasi. Di dalamnya juga terkandung sebuah “symbol” dan “filosofi”.

Kadang memang terlihat tidak masuk akal, tidak mudah untuk dinalar, paling jauh hanya bisa ditafsir dengan rasio, karena memang dimensi nalar dan rasio itu masih masuk di dimensi 4 dari kedalaman hati, sedangkan nurani (lubuk hati) itu sudah masuk dimensi 6.

SIMBOL

Simbol itu bisa berupa apa saja, bebas, asalkan dipahami oleh yang membuat simbol itu sendiri sesuai niat sebagaimana yang terbit dari kedalaman hatinya. Maka simbol itu nantinya akan termanifestasi dalam realitas fisik yang kasat mata.

125 itu juga simbol. Bagi saya dalam mode observer, 125 itu saya niatkan untuk mengurai “masalah” seseorang tersebut, saya sudah melihat bentuk dan batasnya pada “divine matrix”. Kemudian tinggal melakukan pengamatan pada realitas seseorang tersebut.

Di dalam 125 itu juga ada makna filosofis.

125 kalau dalam bahasa Jawa diucapkan sebagai "satus selawe", maknanya apa ? “Wetenge ditus nganti luwe” (perutnya dikosongi hingga lapar), jadi ya harus tirakat, minimal puasa dan selama puasa tidak makan makanan yang bernyawa (vegetarian). Kalau kuat ya puasa mutih. Kalau kuat lagi ya sahurnya pas maghrib, bukanya ya pas maghrib berikutnya. Minimal puasanya 3 hari, kalau kuat ya 7 hari, atau 10 hari atau 40 hari he... he... he...

Kok berat ? Ya terserah saya... lha wong saya yang memberi syarat he... he... he... Dalam hal ini, seseorang yang bermasalah itu kuat pada tradisi budaya dan dia memang perlu untuk mentransformasikan kesadarannya, jadinya yang keluar ya jurus 125 itu. Namun, sekali lagi itu sifatnya adalah personal untuk dia. 

TRIUNE BRAIN

Triune Brain Theory ini digagas oleh Paul D. MacLean seorang neuroscientist. Gagasannya adalah bahwa otak manusia terdiri dari 3 (tiga) bagian otak dengan gugus pikiran yang saling bersaing, yaitu otak reptil dengan somatic mindnya, otak limbik / mamalia dengan field mindnya dan otak neokorteks dengan cognitive mindnya.

SOMATIC mind, ini adalah dimensi mental di mana fungsi tubuh merupakan suatu bentuk pikiran tersendiri dalam arti tubuh beroperasi dalam mode bawah sadar dan ini berkaitan dengan struktur otak reptil yang berfungsi sebagai sistem kontrol (servo mekanisme) untuk mempertahankan hidup. Terkoneksi secara langsung terhadap tubuh fisik. Mekanisme respon  yang terjadi adalah fight atau flight, atau bahkan freeze.

FIELD mind, merupakan dimensi mental yang berfungsi untuk merespon stimulus lingkungan dengan emosi, dalam arti bahwa emosi merupakan suatu bentuk pikiran bawah sadar yang reaksional sesuai stimulus yang diterimanya. Field mind ini terkait dengan struktur otak limbik atau otak mamalia yang bertanggung jawab dalam mengelola emosi.

COGNITIVE mind, merupakan dimensi mental untuk proses berpikir secara sadar, sehingga seseorang mampu berpikir secara lurus dan bernalar dengan baik. Hal tersebut berkaitan dengan struktur otak neocortex atau otak moderen. Pada tahap ini, mestinya penggunaan pikiran sadar harus dominan untuk mengatasi dominasi pikiran bawah sadar. Hal tersebut membutuhkan latihan yang terus menerus, agar kemampuan otak neokorteks dapat semakin dioptimalkan.

TRIUNE BRAIN DAN PUASA

Kembali lagi sebagaimana di awal. Orang ruwet dengan masalah yang ruwet juga itu biasanya yang dominan adalah perasaannya, sehingga pikirannya tidak mungkin lebih luas dari perasaannya itu sendiri, jadi sulit untuk diajak berpikir yang lurus atau berlogika yang benar. Aspek kognisinya masih kalah dengan aspek afeksi.

Kenapa ? Karena yang sedang bekerja secara aktif adalah bagian otak reptile dan limbiknya. Kedua bagian otak memang tidak untuk menjalankan fungsi penalaran dan juga tidak mengenal bahasa. Otak reptilnya berada pada mekanisme “fight” atau “flight” dalam menghadapi permasalahannya karena selalu diterjemahkan sebagai ancaman akan kelangsungan hidup, parahnya lagi sistem limbik yang meregulasi emosi ikut andil dalam menyuplai bentuk-bentuk emosi negatif sesuai rekaman data yang terregister padanya.

Sekali lagi, bahwa otak reptil dan otak limbik ini yang dikenali adalah sentuhan fisik dan emosi saja. Sedangkan gangguan emosi negatif, luka batin dan trauma kejiwaan terjadinya di wilayah itu.

Dalam kondisi tersebut terapi yang berbasis pada aspek kognitif akan menjadi tidak mudah untuk diterapkan, seperti misalnya talk therapy, behavioral therapy, cognitive therapy atau terapi lain yang berbasis sama. Jadi dalam tahap ini, masih perlukah atau seberapa efektifkah afirmasi atau sugesti itu ?

Kalau melihat kemampuan otak reptil dengan somatic mindnya, dalam arti otak reptile ini terkoneksi langsung dengan tubuh fisik, sehingga yang dikenali adalah sentuhan secara fisik, maka sebenarnya untuk mengatasi permasalahan di wilayah tersebut adalah mengintervensi kerjanya melalui sentuhan secara fisik pula, seperti misalnya dengan pijatan atau tapping yang bertujuan untuk merusak memori traumatis. Energi psikologi bekerjanya di wilayah tersebut.

Kembali ke topik sebelumnya tentang hubungan Triune Brain dengan Puasa.

Dalam kondisi seseorang tidak berdaya untuk keluar dari permasalahannya karena terperangkap dalam emosinya sendiri, maka hal tersebut menunjukkan dominasi otak reptil dan otak limbik yang sangat aktif, sehingga harus dilemahkan, dimulai dari otak reptilnya dulu yang terkoneksi secara langsung ke tubuh fisik.

Puasa, apa pun atau bagaimana pun caranya, akan melemahkan tubuh fisik.

Dengan fisik yang dilemahkan, biasanya kecenderungan otak reptile (hasrat diri) pun akan turun, sehingga seseorang berkesempatan berjeda, mengambil jarak dari dirinya sendiri. Minimal dia belajar mengenali laparnya sendiri, bahwa apakah lapar itu benar-benar memang lapar atau sekedar merasa lapar saja karena ada stimulus dari luar dirinya ?

Dengan fisik yang sengaja dilemahkan, seseorang mempunyai waktu untuk melihat, merasakan dan mengalami dialog internal yang terjadi dalam dirinya. Dia akan mendengar suara hatinya dengan lebih jernih, karena biasanya suara hati ini tertumpuki oleh suara-suara dari jiwa-jiwanya yang lain (ego) yang berpersepsi, bermuatan emosi dan terkontaminasi oleh hasrat dirinya. Jadi dalam puasanya tersebut, seseorang dinetralkan, dimurnikan untuk belajar mengenali getaran-getaran antara "ya" dan "tidak" dari kedalaman nuraninya. Agar "ya" tetaplah ya dan agar "tidak" tetaplah tidak. Mengenali “voice” dan mengabaikan “noise”.

Mengapa hal tersebut penting ? Sebab dalam 24 jam kehidupannya, setiap orang selalu berhadapan dengan pilihan-pilihan yang harus diputuskannya. Bahkan mau makan rawon ataukah soto pun perlu keputusan.

Keputusan mana yang benar, bisanya yang terbitnya pertama kali secara langsung dari kedalaman nurani. Namun, karena ketidaksadarannya saja seseorang gagal mengenali, sebab getaran "ya" atau "tidak" itu sangat cepat tertupi oleh buah pikiran (thought), sangat cepat disabotase oleh perasaan (emosi) dan sangat cepat pula dianulir oleh hasrat diri (nafsu).

Dengan berpuasa ini, seseorang berlatih untuk mengevolusikan kesadarannya dari yang imanen ke transenden. Dari semula yang dia hadir sebagai tubuh, atau sebagai pikiran atau sebagai perasaan atau sebagai identitas ego, menjadi berjarak dari semua itu. Mulai menjadi observer atas semua instrument dalam dirinya sendiri. Menjadi Si Tukang Nyawang. Jika ini yang terjadi, biasanya masalah akan terurai dengan sendirinya, karena kesadaran ruhnya mulai aktif sehingga dimampukan untuk menciptakan konteks dalam hidupnya.

MAKNA LAIN

Ada makna lain juga di balik SATUS SELAWE. Apa itu ? Coba dicermati kembali Map of Consciousnessnya David R. Hawkins.

Dalam table peta kesadaran tersebut, dipaparkan bahwa cara pandang seseorang terhadap Tuhan (God View) akan mempengaruhi cara pandangnya terhadap kehidupan (Life View) dan itu menunjukkan stage (level / tahapan) kesadarannya beserta state (kondisi emosi) serta proses yang terjadi di dalamnya.

Kalau dilihat pada Level of Conciousness 125, seseorang dengan LoC 125 itu berarti state atau kondisi emosinya didominasi oleh craving / mendambakan.

Apa yang terjadi pada stage dan state 125 tersebut ? Yang terjadi adalah perbudakan. Dia diperbudak oleh hasratnya sendiri, hasrat untuk memperoleh hasil akhir yang diinginkan, hasrat untuk mengendalikan orang lain, hasrat untuk selalu memuaskan dirinyanya sendiri baik itu melalui makanan, obatan-obatan, seks dan seterusnya (hasrat diri). Melihat kebenaran hanya sepotong, yaitu yang sesuai hasrat dirinya. Dia tidak mampu melihat dunia di luar dirinya, sebab pada LoC 125 ini biasanya seseorang memandang Tuhan dengan penuh penyangkalan, tidak menerima terhadap apa pun yang dianggapnya tidak mengenakkannya. Dia memandang kehidupan ini dengan menyedihkan. Makanya sukanya “maido”.

Karena itu “melarung” uang senilai 125 rupiah itu dapat diartikan sebagai simbol untuk melepaskan LoC 125. Kalau penyangkalannya sudah bisa dieliminasi, berarti dia siap untuk diajak berdiskusi karena sudah tidak menyangkal lagi. Berarti pula dia siap menemukan kebenaran tentang dirinya sendiri.

Bagaimana menemukan kebenaran tentang dirinya sendiri ? Dia akan menemukan kebenaran kalau dia salah. "Iya saya yang salah dan siap mengambil tanggung jawab untuk kesalahan itu dengan segala konsekuensinya".

Beres kalau sudah ada kesadaran itu...

Siap berproses untuk "transcending level of consciousness". Melampaui level kesadaran sebelumnya, memulihkan eksistensinya sebagai makhluk spiritual, mengutuhkan kesadarannya bersamaNya.

Demikianlah kenyataannya.

Tidak menerima permintaan syarat ? Maharnya mahal he… he… he…

----------

BAGUS herwindro yang sedang nyawang cermin kehidupan.
Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

IG
@bagusherwindro

Facebook
https://web.facebook.com/masden.bagus

Fanspage
https://web.facebook.com/BAGUSherwindro

Telegram
@BAGUSherwindro

TelegramChannel
@denBAGUSotre

 
Support : den BAGUS | BAGUS Otre | BAGUS Waelah
Copyright © 2013. den Bagus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger