Masalahnya adalah siapa yang memproyeksikan dan siapa yang diproyeksikan ?
Tanpa cahaya, pakêliran gelap dan tak mungkin tergelar.
Tanpa pakêm cerita, wayang tak mungkin beragam rupa, beragam bentuk dan beragam watak.
Tanpa dalang, semuanya hanya diam, kaku dan membisu.
Para wayang adalah hasil proyeksi sang dalang di layar pakêliran sehingga tak punya kuasa selain hanya manut saja pada sang dalang.
Namun demikian, sang dalang pun hakikinya adalah juga hasil proyeksi sang penulis kisah, yang kisahnya menjadi pakêm lakon, meski sang dalang pun tetap dapat berimprovisasi dalam membawakan lakon tersebut tanpa keluar dari pakêm.
Hanya wayang di antara wayang lain saja yang tetap menjadi wayang dengan label, karakter dan hirarki yang pasti.
Maka sebenarnya tinggal kesadaranku saja yang hadir di mana ?
Aku, hadir sebatas wayang di antara wayang yang lain sebagai hasil proyeksi diriku sendiri ?
Aku, hadir menjadi wayang di hadapan sang dalang ?
Ataukah aku hadir menjadi dalang yang sedang melakonkan kisah sang penulis lakon ?
Di hadapan-NYA, aku memang ibarat wayang yang dimainkan sang dalang. Namun dalam kehidupan, semestinya akulah sang dalang itu, yang penuh improvisasi dalam memainkan berbagai lakon yang digelar. Semestinya. Namun sayangnya belum, sebab aku masih terjebak sebatas menjadi wayang di antara wayang lainnya.
SEMOGA Panjenengan tidak.
----------
Di hadapan-NYA, berlakulah sebagai hamba. Namun di hadapan semesta, bersikaplah sebagai mitra-Nya dengan mengelola kehidupan ini dengan penuh suka cita.
Menyerap rahmat menjadi berkat bagi semesta.
Hamemayu hayuning bawana.
Mêkatên kira-kira.
----------
Catatan :
Tanggal 7 Nopember 2003, UNESCO menetapkan bahwa wayang adalah warisan budaya dunia.Tanggal 7 Nopember 2018, Pemerintah RI menetapkan sebagai Hari Wayang Nasional.
:: Tulisan ini telah tayang di Facebook dan Instagram pada tanggal 5 Nopember 2019tanggal
0 Comments
