Home » , , » Hari Raya DHARMA

Hari Raya DHARMA

Written By BAGUS herwindro on Apr 6, 2020 | April 06, 2020

Rasanya tidak mudah bagi saya untuk mengungkapkan apa yang ada dalam dada ini. Ada sebuah rasa syukur luar biasa yang selalu menggenangi kalbu saat menyadari bahwa diri saya ini nyatanya telah diperjalankan oleh Gusti Allah untuk secara sadar menghanyutkan diri dalam bimbingan seorang guru mulia, Sang Sultan Agung, wali yang mursyid, mursyid yang wali, mursyid yang kamil mukamil.

Bila tak demikian, entahlah bagaimana nasib saya ini yang awam akan Gusti Allah dengan segala kemahaannya. Awam pula terhadap berbagai aturan-Nya sebagaimana yang telah disyariatkan. Namun alhamdulillah, bahwa dalam bimbingan Beliaulah, berbagai pemahaman akan kebenaran, kebaikan dan keindahan menjadi terbuka dari segala penjuru melalui apa saja dan dari siapa saja. Tanpa kebarokahan Beliau, mustahil semua itu mengaliri saya dan syaratnya cuma satu menurut saya pribadi, yaitu koneksitas atau rabithah atau keterhubungan batin / ruhaniah dengan Beliau, Yai Mursyid, Sang Sultan Agung.

Rabithah

Lalu bagaimana untuk bisa berrabithah itu sendiri?

Yang saya dengar sendiri dari Kang Yai Wasik, yang beliau mendengarnya langsung dari Yai Djalil, bahwa robithohnya murid Syadziliyah PETA itu ada dua hal, yaitu :

Pertama, rabithah di dalam dzikir / aurod adalah langsung ismu dzat : Allah… Allah… tidak boleh tergambar atau terbayang wajah Mursyid, tidak ada perantara di hati kita, harus langsung dengan Allah, hadhoroh Fatihah, istighfar, shalawat, tahlil dan seterusnya sebagaimana biasa.

Kedua, rabithah di luar dzikir adalah dengan mengingat-ingat semua apa yang pernah didawuhkan Mursyid (tentu saja pengertiannya dalam arti luas, tidak hanya mengingatnya namun juga dalam penerapannya sekaligus, apa pun yang didawuhkan seperti misalnya : SA78, BMT PETA dan sebagainya).

Laku

Saya sering mendengar berbagai kisah tentang lakunya murid-murid Syadziliyah jaman dulu, yang bagi saya pribadi rasanya tidak bakalan kuat menjalani yang seperti itu, beda kualitaslah. Sebab beliau-beliau itu mempunyai disiplin spiritual yang kuat dan ketat sebagaimana yang didawuhkan oleh Yai Mursyid pada jaman itu. Keyakinan dan adabnya kepada Mursyid begitu tertata dan terjaga, sehingga kebarokahannya mengalir deras secara terus menerus. Dahsyat.

Lalu bagaimana pada jaman ini ?

Saya kira, menurut saya secara pribadi, untuk jaman ini Yai Mursyid memberikan begitu banyak kemudahan bagi para murid Beliau untuk menyambungkan rabithah kepada Beliau, Sang Sultan Agung, berupa laku yang sangat-sangat ringan.

Bukankah sejak tahun 2011 yang lalu Beliau sudah dawuh tentang Sultan Agung 78? Sebuah kewajiban, tetapi bukan paksaan sebab yang diutamakan adalah kesadaran, hendak manut yang insya Allah katut ataukah tidak sehingga mrucut. Semua kembali pada diri masing-masing. Sebab, manut atau tidak adalah suatu pilihan yang tentunya dengan segala konsekuensinya masing-masing. Bahwa sebenarnya keanggotaan Sultan Agung 78 adalah merupakan pembeda antara yang mau secara suka rela mengikuti visi dan misi Sultan dengan mereka yang tidak mau mengikuti visi dan misi Beliau.

Bahwa SA78 merupakan sekeretaris Sultan dalam bentuk kelembagaan yang bertugas menjalankan seluruh visi dan misi Beliau, yang itu juga berarti bahwa apa pun yang menjadi program, kebijakan dan dawuh-dawuh Sultan akan disebarluaskan dan dilaksanakan secara serentak melalui saluran SA78. Apalagi di saat ini sudah ada aplikasinya, sehingga setiap anggota SA78 bisa langsung mengakses secara pribadi seluruh program yang dilaksanakan oleh SA78. Jadi lebih cepat

Sehingga menjadi anggota SA78 dengan segala konsekuensinya itu adalah merupakan sebuah laku juga sebab telah didawuhkan oleh Beliau, Sang Sultan Agung.

Nah, ketersambungan ruhaniah itu sebenarnya juga tidak sebatas dan berhenti pada Beliau, Sang Sultan Agung saja, melainkan juga terus bersambung ke sebelumnya sesuai sanad kethoriqohan hingga bermuara pada Kanjeng Rasul Muhammad dan berpuncak pada Allah itu sendiri.

Namun, yang patut diingat adalah bahwa dalam konteks thoriqoh, seorang Mursyid tidak pernah mencari murid, muridlah yang menghendaki untuk berbaiat kepada Mursyidnya. Juga harus dipahami pula bahwa Mursyid tidak pernah memutuskan hubungan ruhaniahnya dengan muridnya, kecuali murid itu sendiri yang memutus hubungan ruhaniah tersebut baik secara sadar atau pun tidak. Sehingga kembali lagi bahwa setiap penerimaan atau pun penyangkalan atas apa yang didawuhkan Mursyid adalah merupakan pilihan masing-masing.

Ruang-Waktu (dunia)

Maka, menurut saya, dawuh tentang Sultan Agung 78 itu adalah sarana dalam menjaga keterhubungan ruhani dengan Beliau, Yai Mursyid, Sang Sultan Agung. Karena bagaimana bisa seseorang sudah merasa terhubung jika tak pernah tahu tentang seluruh kebijakan, program dan dawuh-dawuh Beliau yang disalurkan informasinya melalui Sultan Agung 78? Kalau mendengar saja tidak, apalagi untuk melaksanakan, tentu sangat tidak mungkin. Bahkan yang sudah mendengar pun ada kemungkinan tidak mau menerimya alias menolak atau menyangkalnya.

Maka keterhubungan itu selalu diawali oleh keterhubungan dari dimensi terendah yang kasat mata, yaitu dimensi ruang-waktu (dunia).

Sehingga dengan demikian harus dipahami pula hukum yang berlaku di ruang-waktu (dunia), yaitu :
  1. Yang berkaitan dengan sifat ruang yaitu spasial atau terkotak-kotak atau bersifat dualitas.
  2. Yang berkaitan dengan sifat waktu yaitu serial atau berurutan.

Kesadaran ruang-waktu (dunia) inilah yang harus bisa dilampaui agar bisa melebur ke dalam kesadaran Sultan dan berturut-turut ke atas sesuai sanad hingga ke Kanjeng Nabi dan Gusti Allah itu sendiri.

Apa sih yang ada dalam ruang-waktu (dunia) itu?

Di antaranya adalah :

Perjuangan, survival dan rivalitas. Bahwa untuk bisa hidup, hidup itu sendiri harus dipertahankan dengan penuh perjuangan. Sedangkan makhluk lain yang memiliki kehidupan pun juga berjuang dan berusaha mempertahankan hidupnya, sehingga timbul situasi yang penuh persaingan. Di segala lini, di seluruh aspek dan semua sektor, manusia selalu bersaing untuk mempertahankan hidupnya.

Akibatnya adalah energi selalu terkuras baik fisik maupun psikis, apalagi bila persaingan itu berlangsung demikian kerasnya bahkan sampai ada yang tidak mengindahkan norma sama sekali. Kejahatan pun terjadi dengan alasan karena survival dan rivalitas hidup ini. Kehidupan menjadi penuh kekhawatiran, kecemasan, ketakutan dan kegelisahan. Kekuatan hidup disandarkan pada sesuatu dari luar diri. Keyakinannya : "Aku bisa hidup kalau punya ini itu".

Survival, pressure dan hasrat seksual. Setiap orang dalam hati kecilnya pasti ingin mempunyai keturunan dan keinginan itu kalau ditelusuri adalah berasal dari perasaan takut akan kematian. Manusia menginginkan abadi meskipun tahu dia tidak akan abadi, sehingga dia ingin tetap eksis dengan mempunyai keturunan yang akan melanjutkan kehidupannya. Sebenarnya hasrat seksual manusia ya untuk itu, yaitu untuk meneruskan keturunan, untuk berkreasi dalam mempertahankan hidupnya. Namun saat persaingan hidup begitu ketatnya, tekanan kehidupan sehari-hari demikian beratnya, biasanya hasrat seksualnya juga meningkat untuk melepaskan kepenatan. Bukan lagi sebagai kreasi tetapi berubah menjadi rekreasi dan yang menjadi masalah adalah jika hal tersebut kemudian menjadi biasa, sehingga menimbulkan implikasi yang panjang dalam kehidupan.

Sub-ordinat, pride dan represif. Di dunia yang penuh persaingan ini, pencapaian-pencapaian adalah suatu kebanggaan. Posisi seseorang dalam strata sosial, ekonomi, politik dan seterusnya menciptakan suatu relasi sub-ordinat, yaitu hubungan antara pihak yang memiliki otoritas dan yang harus tunduk pada otoritas. Sehingga dalam hubungan tersebut, pihak yang harus tunduk tidak mempunyai kebebasan berekspresi, segala gejolak emosinya seakan harus ditekan ke dalam, tidak berhak dan tidak mempunyai saluran untuk menyuarakan. Hal seperti itulah yang menyebabkan seseorang sangat rentan mengalami gangguan kejiwaan jika tidak mempunyai tingkat kesadaran yang cukup untuk mengelola itu semua.

Artifisial. Dalam dunia ruang-waktu pula, segala atribut atau label disematkan dari luar. Manusia tidak diberi kesempatan menjadi dirinya sendiri yang otentik. Semua disetir dan diarahkan mengikuti standar tertentu yang ditentukan oleh para pemilik modal demi kepentingan penjualan produk-produk mereka. Semuanya dijual demi pencapaian materi, meski menggerus kualitas kemanusiaan dan spiritualitas manusia itu sendiri. Banyak kata yang kehilangan makna, sebab arti kata telah digeser sedemikian rupa dengan definisi-definisi yang jauh dari akar kata itu sendiri. Manusia diarahkan sedemikian rupa dengan atribut-atribit palsunya untuk mengejar segala hal yang palsu pula.

Kronologis. Ini yang sering menjebak. Karena waktu dalam ruang-waktru itu sifatnya serial, maka selalu ada masa lalu, sekarang dan nanti, maka manusia sering terjebak di masa lalu atau pun nanti. Menyesali yang telah lalu dan mengkhawatirkan yang nanti sehingga tidak pernah utuh dalam menjalani kehidupan di saat ini.

Akibatnya energinya habis terbuang untuk mengatasi gejolak emosinya yang terbawa untuk selalu menyesali masa lalu atau pun mencemaskan masa nanti. Padahal kedua hal itu dialaminya saat ini. Memang sesuatu yang disesali itu ada di masa lalu, tetapi bukankah menyesalinya di saat ini ? Begitu pun dengan sesuatu yang dikhawatirkan bakal terjadi di masa nanti yang sesungguhna belum tentu akan terjadi, tetapi bukankah kekhawatirannya itu dirasakan di saat ini? Itulah ilusi tentang waktu.

Kepastian. Karena ilusi waktu itulah, manusia tidak menyukai ketidakpastian. Manusia sangat enggan berjuang untuk sesuatu yang tidak pasti hasilnya. Maunya, begitu menanam begitu pula bisa memanen.

Itulah di antara hal-hal yang ada di dalam ruang-waktu. Ruang-waktu ya dunia ini. Maka benarlah apa yang didawuhkan oleh Syaikh ibnu ‘Athailah : “Bagaimana kalbu akan bersinar sementara gambar dunia melekat pada cerminnya? Bagaimana akan pergi menuju Allah, sementara ia terbelenggu oleh syahwatnya? Bagaimana hendak masuk ke hadirat Allah, sementara belum membersihkan diri dari junub kelalaiannya? Bagaimana berharap bisa memahami berbagai rahasia, sementara ia belum bertaubat dari kekeliruannya?

Melampaui Ruang-Waktu

Menurut saya pribadi, sejak awal didawuhkannya SA78, itu adalah dalam rangka melampaui ruang-waktu dengan sifat dualitasnya, yaitu saling mengkutubkan, saling melawankan dan saling membedakan hal-hal yang semestinya tidak perlu, sebab hanya akan menghabiskan energi.

Maka Sultan Agung 78 terbuka untuk seluruh manusia yang bertuhan, dengan menyingkirkan sekat-sekat perbedaan. Siapa pun bisa bergabung ke dalam gerakan Sultan Agung 78 tanpa mempermasalahkan jenis kelamin, usia, pendidikan, agama, profesi dan sebagainya. Semua sama yaitu anggota. Semua sama yaitu murid, meski bukan berarti tidak mengindahkan adab. Adab tetaplah utama sebagaimana yang diajarkan pada kita semua.

Gerakan Sultan Agung 78 adalah praktik nyata dalam pengamalan untuk membangun kesadaran, keyakinan, opimisme, pemahaman, kebersamaan, integritas dan komitmen untuk kebaikan dan kemanfaatan bersama dalam beragama, berbangsa dan bernegara.

Bagaimana segala potensi manusia itu dapat disinergikan dan dibangun dalam keutuhan dan kebersamaan. Begitulah yang saya tangkap sejak awal. Bahkan dengan keragaman potensi dari masing-masing orang, di awal dulu difasilitasi melalui Safir. Ini kalau sejak awal serentak bergerak, maka akan menjadi sesuatu yang luar biasa, sebab itu artinya seluruh murid Pondok PETA khususnya dan umumnya mestinya sudah memiliki market place sendiri yaitu Safir, yang untuk saat ini sudah didominasi oleh buka lapak, tokopedia, lazada, shopee dan sebagainya.

Bukankah sudah ada pedoman pula : Maju Bersama Sejahtera Bersama. Semua sebenarnya sudah dipersiapkan termasuk masalah pendanaan melalui rumah ekonomi syariah, BMT PETA. Bahkan sampai pada biro perjalanan untuk memfasilitasi perjalanan ibadah para murid pun sudah dipersiapkan oleh Beliau, Sultan.. Sungguh visioner Beliau itu. Memang tak terjangkau, khususnya oleh saya pribadi yang masih pupuk bawang dan ndableg ini.

Tapi bagi Panjenengan semua, saya yakin Panjenengan lebih memahami tentang apa dan bagaimananya, sehingga memiliki kemampuan dan kesanggupan berjuang bersama merintis segala hal itu sejak awal dan istiqomah dalam menjaga dan mengawal seluruh dawuh Beliau.

Saya nunut saja.

Hirarki

Saya kira memang kita harus memahami terlebih dahulu tentang hirarki dari keseluruhan instrument dalam diri kita.

Begini…

Kalau manusia itu adalah masterpiece ciptaannya Gusti Allah, maka tak ada kemungkinan lain selain bahwa manusialah yang mengemban amanat sebagai wakilnya dalam pengelolaan ciptaan-Nya. Manusia selalu bersama-Nya, mengemban amanat-Nya yang tentu saja sekaligus diperlengkapi pula dengan fasilitas-Nya.

Manusia, tak hanya ruh yang berasal dari ruh-Nya, tetapi karena manusia menempati dimensi ruang-waktu materi maka manusia pun diberikan perangkat materi pula oleh-Nya berupa badan atau jazad sebagai kendaraan agar dapat berinteraksi dalam dunia materi juga, sampai misi yang diembannya berakhir, saat jatah ruang-waktu habis untuknya.

Namun karena ruang-waktu materi berada di dalam semesta frekuensi atau dimensi quantum, maka manusia pun dibekali pula oleh-Nya dengan perangkat untuk berinteraksi dengan dimensi quantum itu berupa jiwa yang merupakan irisan antara ruh dan badan, yang kemudian melahirkan berbagai jiwa yang lain yang mungkin mencapai ribuan atau bahkan tak terhingga sebagai turunan dari jiwanya yang asli. Ekspresinya berupa kolaborasi antara pikiran, perasaan dan fisiologis (state of mind). Jiwa-jiwa turunan itulah yang harus dimurnikan kembali agar tak memberati dan menghijab diri dari Sang Ilahi.

Berarti, dari hal tersebut semestinya bisa dipahami adanya hirarki dari keseluruhan instrumen dari diri yang disebut manusia itu. Tentu saja dalam hal ini adalah termasuk juga hubungannya dengan Gusti Allah sebagai penciptanya.

Ruh merupakan alat bagi Gusti Allah untuk melaksanakan kehendak-Nya bagi jiwa. Jiwa merupakan alat bagi ruh untuk melaksanakan kehendaknya pada badan. Badan itu sendiri merupakan alat bagi jiwa untuk berinteraksi dengan lingkungan atau dimensi materi.

Di situlah hirarkinya. Hirarki ketundukan, bahwa badan seharusnya tunduk pada jiwa, jiwa tunduk pada ruh dan ruh tunduk pada Tuhan.

Saat hirarki ketundukan itu dilanggar, maka saat itulah akan mulai terjadi berbagai problematika kehidupan.

Namun, karena Gusti Allah itu sayang banget sama manusia, maka dijagalah manusia itu dari kemungkinan degradasi kemuliaan, agar tidak lepas dari inti kemanusiaannya yaitu spiritualitasnya. Maka manusia diberikan alarm sebagai pengingat agar berkesempatan berjeda untuk memasuki kedalaman dirinya sendiri.

Maka untuk badan yang menjadi alat di dimensi ruang-waktu materi, Gusti Allah menetapkan peribadahan yang bersifat badani atau jasmani pula di waktu-waktu tertentu, dalam arti bahwa ada gerakan badan yang harus dilakukan, di waktu yang tertentu sebagai stasiun perhentian pada dimensi ruang-waktu materi, agar kembali mengutuhkan kesadaran diri sebagai ciptaan (abdi / hamba) yang tunduk pada penciptanya (Gusti). Hal ini merupakan simbol ketundukan badan terhadap ruh sebagaimana yang diperintahkan oleh Gustinya.

Ada juga doa-doa atau wirid atau apa pun itu namanya yang diperintahkan-Nya untuk dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, yang juga sebagai stasiun perhentian bagi jiwa di dimensi quantum. Jiwa memuji Gustinya untuk kembali mengutuhkan kesadaran diri sebagai ciptaan dari penciptanya. Simbolik ketundukan jiwa pada ruh sebagaimana yang diperintahkan oleh Gustinya.

Sedangkan ruh itu sendiri yang dimensinya melampaui dimensi ruang-waktu dan juga melampaui dimensi quantum, maka tugasnya adalah menyaksikan-Nya, eling. Berkekalan dalam kesadaran bersama-Nya dalam simbolik kehadiran pada keberadaan-Nya melalui dzikir di seluruh waktu, di semua kondisi dan di seluruh situasi yang dialami oleh manusia.

Semua itu adalah untuk menjaga manusia agar jangan sampai terdegradasi dari derajad spiritualnya, karena memang manusia sejatinya adalah makhluk spiritual dengan pengalaman kemanusiaan. Bukan sebaliknya, manusia yang mempunyai pengalaman spiritual.

Badan hanya sekedar baju yang pasti dilepaskan. Pun demikian dengan jiwa yang suatu saat pasti akan ditanggalkan.

Maka tugas utama manusia memang mengalami kembali kemurnian kesadaran spiritualnya yang mampu mengalami realitas kehadiran Gusti, menyatu dalam penyaksian terhadap-Nya, di setiap detik waktu yang terlalui, dengan tetap mengikuti aturan hukum-hukum-Nya sesuai dimensinya masing-masing.

Itu.

Wirid SA78

Bahwa secara ruhaniah pastilah Beliau, Sultan, memahami dengan sangat detail mengenai diri masing-masing murid seberapa pun banyaknya. Namun, dalam dimensi ruang-waktu (dunia) tetap harus ada formalitas yang harus saya penuhi, bahwa secara legal saya merupakan bagian dari Beliau, Sang Sultan Agung, yaitu dengan terdata secara detail pada database Pondok PETA yang Beliau Pimpin, melalui keanggotan Sultan Agung 78.

Dengan media itulah seluruh anggota, yang dalam ini siapa pun yang dengan suka rela menyatukan visi misinya sesuai visi misi Sultan tetap bisa mengikuti apa pun yang menjadi dawuh Beliau, sebab saluran komunikasinya telah tersedia yaitu melalui aplikasi Sultan Agung 78.

Hal tersebut menurut saya adalah sangat penting, terlebih saat ini dmana perkembangan jaman yang ada selalu membutuhkan penyikapan-penyikapan agar tetap dalam koridor kebenaran. kebaikan serta keindahan. Nah, bila tidak tergabung dalam Sultan Agung 78, bagaimana mungkin bisa mengetahui dan bahkan bagaimana mungkin bisa melaksanakan dawuh-dawuh tersebut ? Eman.

Kalau sudah tergabung dalam Sultan Agung 78, lalu apa ? DHARMA

Bagi saya secara pribadi, dharma merupakan sebuah simbol sekaligus laku untuk melepaskan segala keterikatan dan kemelekatan dari apa yang kita anggap mutlak sebagai milik kita. Sebuah laku dengan mengeluarkan, memberi dan melakukan tanpa bertanya imbal baliknya, tanpa berhitung secara dagang untung ruginya dan tanpa berpikir untuk apa dan bagaimananya. Ini adalah praktik ikhlas secara nyata karena memang nyatanya kita tidak pernah merasa berbuat atau andil apa pun atas kebaikan-kebaikan atau kemanfaatan-kemanfaatan yang telah dilahirkan oleh gerakan Sultan Agung 78 ini.

Menurut saya pula, bahwa DHARMA memiliki derajad kesadaran tertinggi sebab tanpa ada tuntutan secara hukum atau pun secara akhlaq. Seperti zakat misalnya, suatu hal yang diwajibkan, sehingga siapa pun yang menunaikan zakat berarti ada keterpaksaan di sana, sebab jika tidak melaksanakan akan berdosa. Maka seseorang yang melaksanakan zakat itu motivasinya adalah karena menghindari dosa, setidaknya mengharapkan pahala. Maka melaksanakan zakat adalah perwujudan dari kesadaran hukum.

Pun demikian dengan infaq atau shodaqoh. Bukan kewajiban tetapi merupakan kebaikan bila dilakukan. Ada kesadaran akhlaq pada shodaqoh, sebab tidak ada kewajiban. Contoh sederhana, andai ada seorang pengemis yangbenar-benar papa meminta-pinta pada kita dan kita tidak memberikan apa pun sama sekali, maka tidak ada hukum negara atau hukum agama sekali pun yang menyatakan kita bersalah, sebab memang bukan suatu kewajiban. Tetapi jika pertimbangannya adalah akhlaq, maka akan lain ceritanya, tidak pantas. Andai kemudian kita beri, maka itu termasuk shodaqoh atau infaq. Kita melakukan itu meski tidak diwajibkan, namun mungkin tetap saja ada pertimbangan bahwa ada pahal di baliknya atau setidaknya ada pertimbangan bahwa tidak pantas kalau tidak shodaqoh. Maka itulah kesadaran akhlaq, melakukannya buka lagi sebuah keterpaksaan.

Lha kalau dharma apa ? Bukan zakat bukan pula shodaqoh. Pada dharma yang ada adalah kesadaran cinta yaitu kesadaran untuk mempersembahkan saja titik. Bagai matahari yang mendharmakan sinarnya untuk semesta, mempersembahkan saja tanpa mengaharap apa pun atas persembahan itu.

DHARMA bukanlah kesadaran hukum atau pun kesadaran akhlaq, melainkan kesadaran cinta. Hanya yang memiliki cinta yang sanggup berdharma, cinta yang tanpa syarat, cinta yang hanya cinta saja tanpa apa pun selain cinta itu sendiri. Maka dharma saya kira merupakan kualitas tertinggi di atas zakat atau pun shodaqoh. Makin banyak hal di luar kuasa kita sebagai manusia, dharma pun harusnya lebih berlipat.

Maka saya kira, filosofi “ngetoki kuku” itu ada ajaran untuk berlatih melepasakan segala keterikatan dan kemelekatan atas segala sesuatu bahka terhadap diri kita sendiri, sebab semuanya hakikinya tidak pernah benar-benar kita miliki meski kita merasa memilikinya. Semua hanyalah titipan Gusti. Maka dharma pun adalah dalam rangka “ngetoki kuku” itu.

Dharma SA78, bagi saya adalah sebuah wirid, suatu lelaku di jaman ini yang sangat ringan sekali, melintasi ruang dan di waktu tertentu. Apalagi dengan nominal yanghanya minimal Rp. 20.000,00 saja. Bandingkan dengan harga ticket bila kita masuk ke tempat hiburan atau pariwisata.

Sebagai lelaku di ruang-waktu, berarti juga harus mengikuti sifat ruang-waktu untuk berlatih melampauinya, terutama instrument diri kita yang memang menjadi alat interaksi di ruang-waktu, yaitu badan. Badan harus digerakkan menuju melintasi ruang menuju ke bank melalui teller atau menuju ATM untuk melaksanakan dharma itu, bukan hanya duduk diam sambil menggunakan fasilitas sms banking atau pun mobile banking maupun internet banking. Yang berkaitan dengan waktu adalah kedisiplinan melakukannya sesuai komitmen yang dibuat, yaitu pada tanggal 1 - 3 di setiap bulannya.

Itu semua menurut saya adalah merupakan simbol ketertundukan badan serta jiwa di hadapan ruh. Itulah wirid SA78.

Hari Raya DHARMA

Ya… Hari Raya Dharma itu setiap tanggal 1 sampai 3 setiap bulannya.

Kenapa hari raya ? Sebab penuh kebahagiaan.

Kenapa bahagia ? Sebab, berarti masih terhubung secara ruhaniah dengan Beliau, Sang Sultan Agung, karena ini adalah jalan rabithah yang didawuhkan oleh Beliau sendiri.

Ada kelegaan yang luar biasa saat telah selesai menunaikan dharma.

Karena itu pula anak dan istri pun saya daftarkan menjadi anggota SA78, meski belum menjalani apa yang saya jalani, apalagi unuk memahaminya. Minimal untuk saat ini saya mencoba menghubungkannya dulu dan semoga Gusti Allah menggerakkan mereka sebagaimana DiA menggerakkan saya.

Namun, kalau Gusti Allah itu adalah sebab dari segala sebab yang menjadi akibat di ruang-waktu dunia, maka bukankah apa yang saya lakukan itu merupakan pertanda bahwa DIA memang mendekatkan keluarga saya pada-Nya ?

Mari berhari raya dengan penuh suka cita di tanggal 1 sampai 3 setiap bulannya, untuk meneguhkan cinta dengan menunaikan dharma.

Menjaga Waktu

Setelah selesai menunaikannya, saat itu juga langsung saya niatkan untuk berdharma lagi di bulan depan, sehingga waktu yang akan saya lalui adalah dalam keadaan menunggu untuk berdharma lagi di bulan berikutnya.

Kira-kira begicu.

---------------

Kalau Panjenengan? Sudahkah terdaftar di Sultan Agung 78? Atau kalau sudah tergabung dalam Sultan Agung 78, sudahkah berdharma dengan suka cita?

Eman lho kalau belum...

Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane.

Mohon maaf lahir batin.

---------------

BAGUS herwindro yang sedang menunggu untuk berdharma lagi.
Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

IG
@bagusherwindro

Facebook
https://web.facebook.com/masden.bagus

Fanspage
https://web.facebook.com/BAGUSherwindro

Telegram
@BAGUSherwindro

TelegramChannel
@denBAGUSotre

 
Support : den BAGUS | BAGUS Otre | BAGUS Waelah
Copyright © 2013. den Bagus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger