Panjenengan Dalem

Written By BAGUS herwindro on Jun 5, 2019 | June 05, 2019

Dulu… duluuuuuu sekali saat saya masih kecil, seingat saya di kisaran usia SD, dalam sebuah perbincangan dengan Ibu saya mengenai bahasa Jawa dalam hal ini apa yang diistilahkan sebagai krama inggil, yaitu bahasa Jawa halus yang wajib dipergunakan untuk berbicara kepada lawan bicara yang level otoritasnya lebih tinggi dari pembicara, Ibu saya menjelaskan bahwa saat berbicara pada Tuhan, kata ganti atau sebutan yang benar adalah panjênêngan dalêm. Setahu saya kala itu, bahwa panjênêngan dalêm adalah kata ganti atau sebutan bagi Raja yang bertahta.


Tapi mungkin karena saat itu saya anggap tidak penting, maka hal tersebut terlewati begitu saja tanpa arti.

Namun tidak demikian pada sekian tahun yang lalu, seiring pertumbuhan kesadaran yang saya pahami dan saya rasakan realitas atau kasunyatannya tentang Tuhan, meski tetap saja secara subyektif menurut diri saya sendiri, jaréku.

Tiba-tiba saja kata-kata tersebut begitu bermakna bagi kesadaran saya, panjênêngan dalêm, rasanya membuka sebuah pintu yang mungkin selama itu belum terbuka bagi saya karena memang tidak mengetahui kalau ternyata ada pintu itu.

Panjênêngan itu artinya Anda dan Dalêm itu artinya saya.

--------------

1. DALÊM

Karena tumbuh di lingkungan dengan latar belakang Jawa, maka sejak kecil saya selalu diajari dan dilatih untuk menjawab panggilan dengan kata “dalêm” saat orang tua saya memanggil saya dengan menyebut nama saya. Jadi misalnya orang tua saya memanggil nama saya, “Gussss….”, maka saya wajib menjawab dengan kata “dalêm”.

Mungkin orang tua saya tidak menyadari, saya pun tidak, namun setelah saya renung-renungkan, ternyata hal itu merupakan metode pendidikan kesadaran yang luar biasa.

Yang memanggil adalah orang tua, yang dipanggil adalah anaknya, maka tentunya orang tua akan memanggil anaknya sesuai nama yang diberikan kepada sang anak. Berarti dalam hal ini, sang anak dilatih menyadari eksistensi dirinya melalui nama panggilannya. Bahwa nama itulah yang mewakili dirinya dan pada nama itulah tersemat sebuah tanggung jawab atas seluruh hal, semua keputusan dan segala perbuatan di sepanjang usia yang dilaluinya. Nama itulah yang merupakan alamat tempat malaikat menyampaikan segala ketentuan Tuhan sampai batas akhir kehidupan sang empunya nama.

Maka dalêm adalah jati diri sayasuatu kesadaran atau suatu rasa ada yang semestinya dan seharusnyalah menyadari dengan kesadaran penuh segala aspek, seluruh bagian dan semua kecenderungan diri yang terjadi dalam diri saya sendiri.

Dalêm adalah diri sejati saya, jiwa yang otentik atau orisinal, senyawa antara ruh yang ditiupkan Tuhan dengan jazad dan hayat yang terbentuk dari bersatunya spematozoa ayah dan ovum ibu saya, yang kemudian diberi sebuah sebuah nama oleh orang tua saya.

Masalahnya adalah bahwa dalêm tak selalu hadir dalam tiap detik kehidupan yang dalêm lalui, karena bersama dalêm banyak unsur lain yang melenakan dan menutup kehadiran dalêm.


1.1. Jazad dan hayat

Jazad dan hayat (hayat : nyawa / subtle-energy / bioenergi / chi / prana) adalah tubuh yang merupakan kendaraan bagi dalêm untuk sejenak bersenda gurau di kehidupan dunia.  

Dalêm bukan tubuh. Pun demikian dengan tubuh, bukan dalêm. Namun tubuh adalah bagian dari dalêm, sehingga semestinya dalêmlah yang mengendalikan dan mengkholifahinya. Maka saat “saya“ mengidentifikasi bahwa “saya” adalah “tubuh”, berarti saat itulah “saya” terperangkap dan terpenjara dalam suatu materi kasat mata yang dinamakan tubuh yang pada akhirnya hanya akan menderita, sakit dan mati. Saya bukan tubuh. Saya adalah dalêm.

Jika tubuh mengalami sakit dan saat itu “saya” teridentifikasi sebagai tubuh, maka yang terjadi adalah tubuh akan tetap sakit dan memerlukan obat. Obatnya pun sebatas mengobati gejalanya bukan menyembuhkan akar permasalahannya. Namun, saat “saya” teridentifikasi sebagai dalêm, biasanya tubuh yang sakit akan tersembuhkan dengan sendirinya, insya Allah. Sebab dalêm tidak pernah sakit, yang sakit hanya tubuh. Sedangkan tubuh itu sendiri hanyalah tumpukan algoritma subtle-energy di tingkat molekuler, demikian menurut ahli biologi molekuler, sehingga algoritma tersebut sangat mungkin diedit dengan kesadaran dalêm.


1.2. Alat Pikir

Tuhan melengkapi tubuh itu dengan alat pikir berupa sebuah hardware yaitu otak dengan softwarenya yaitu AKAL yang merupakan gerbang bagi dalêm untuk mengenali segala sesuatu di luar dalêmPikiran adalah perangkat dari akal yang menjadi alat bagi dalêm (yang harusnya adalahuntuk menepatkan pilihan-pilihan atau keputusan-keputusan dalam mengelola kehidupan, selama pikiran itu didayagunakan sesuai kaidah-kaidah berpikir yang lurus dengan logika dan atau penalarannya.

Dalêm bukan pikiran. Pun demikian dengan pikiran, bukan dalêm. Namun pikiran adalah bagian dari dalêm, sehingga semestinya dalêmlah yang mengendalikan dan mengkholifahinya agar tetap berfungsi sesuai kaidahnya. Maka saat “saya“ mengidentifikasi bahwa “saya” adalah “pikiran”, berarti saat itulah “saya” yang semestinya adalah dalêm, terserap dalam keliaran pikiran dan akhirnya pikiranlah yang mengendalikan “saya”. Saya bukan pikiran. Saya adalah dalêm.

Maka kalau pikiran saya sedang kalut karena banyak beban pikiran, maka itu bukan saya. Itu sebatas pikiran saja. Karena saya bukan pikiran, maka saya tak pernah mengalami kekalutan pikiran, karena saya adalah dalêm.

1.3. Alat Rasa

Tidak hanya alat pikir, namun Tuhan juga melengkapinya juga dengan alat rasa berupa sebuah hardware yaitu jantung dengan softwarenya yaitu HATI dengan berbagai dimensinya yang merupakan medan ujian bagi dalêm dalam pertarungan antara kebaikan dan ketidakbaikan di sepanjang penokohan dalêm dalam skenario agungNya.

1.3.1. Dari hati tersebut, di antaranya adalah lahir sensasi rasa hasil tangkapan panca indera. Inilah dimensi Qasr, dimensi terendah dari hati. Inilah dimensi 1, yaitu garis. Sebagai gambarannya, mereka yang kesadarannya terserap di dimensi ini hanya mampu melihat deratan huruf hanya sebagai tulisan saja. Inilah dimesi yang datanya berupa sensasi fisik, rasa luar.

1.3.2. Lahir pula perasaan yaitu suatu kesan atau penilaian atau persepsi yang merupakan respon atau reaksi dari aksi yang diterima atau yang harus dihadapi dalam berbagai situasi dan kondisi yang selalu berganti. Inilah dimensi Shadr, rasa dalam. Dimensi 2, yaitu bidang. Sebagai gambarannya, mereka yang kesadarannya terserap pada dimensi ini akan memahami susunan huruf sebagai bacaan dan membuat penilaian atas yang dibacanya itu.

Dimensi ini merupakan tempat silih bergantinya berbagai jiwa dalam balutan perasaannya masing-masing yang berlomba mendominasi kendali diri. Wilayah si malu, si bersalah, si apatis, si sedih, si takut, si hasrat, si marah dan si bangga da si si yang lain, yang sering menginterupsi kesadaran diri hingga dalêm tak mendapat ruang untuk eksis. Wilayah dari berbagai identitas diri yang bukan sejati. Saya si guru, saya si suami, saya si anak, saya si dokter, saya si Ketua RT, dan saya si si yang lain yang sering mendominasi kesadaran diri hingga dalêm teralingi oleh identitas ilusi.

Padahal berbagai perasaan yang hadir dalam kesadaran diri tersebut hanyalah hasil kesan atau penilaian atau persepsi diri dalam merespon berbagai kejadian di luar diri. Semua kejadian semestinya netral, tetapi penilaian dari dalam dirilah yang menyebabkan kejadian itu menjadi positif atau negatif.

Padahal juga, berbagai identitas diri itu hanyalah fungsi dalam bebrayan agung atau dalam interaksi sosial kemasyarakatan. Semua identitas itu memang harus ada untuk menjalani kehidupan. Namun dalêm harusnya hadir dalam setiap identitas tersebut agar tak keblinger.

Dalêm bukanlah berbagai jiwa dengan balutan perasaan yang ada di diri. Pun demikian dengan berbagai jiwa tersebut, bukan dalêm. Namun berbagai jiwa tersebut adalah bagian dari dalêm, sehingga semestinya dalêmlah yang mengendalikan dan mengkholifahinya agar tetap terjaga kadarnya. Maka saat saya mengidentifikasi bahwa “saya” adalah “jiwa” atau “perasaan” tertentu, berarti saat itulah “saya” yang semestinya adalah dalêm, terserap dalam “jiwa” atau “perasaan” tersebut dan akhirnya “jiwa” atau “perasaan” tersebutlah yang mengendalikan “saya”.

Saya bukan jiwa atau perasaan. Saya adalah dalêm.

Saya bukan jiwa si malu, bukan si bersalah, bukan si marah dan seterusnya. Saya adalah dalêm.

Maka kalau jiwa bermasalah, kalau suatu perasaan negatif mendominasi dan kalau ada luka batin atau trauma kejiwaan di masa lalu, bukankah itu sebatas jiwa atau perasaan saja yang pasti selesai dan sembuh saat saya hadir sebagai dalêm ? Dan itu masalah utama, seberapa lama dalêm bisa hadir dalam kesadaran di tiap detik kehidupan yang sudah, sedang dan akan terlalui ?

Pada dimensi Shadr ini pula disisipkan olehNya hawa nafsu atau kecenderungan diri, yang sebenarnya merupakan obat bagi dalêm bila dalam dosis yang tepat, agar kehidupan dalêm tetap berlangsung di batasan ruang dan waktu yang telah ditetapkan. Namun saat saya terserap dalam hawa nafsu, maka hawa nafsu tersebut biasanya menjadi over dosis. Sebagai akibatnya adalah mulai timbul beragam masalah yang menyempitkan kehidupan.

Pada titik itulah mestinya kesadaran diri dikembalikan bahwa saya bukan hawa nafsu. Hawa nafsu pun bukan saya, tetapi bagian dari saya, sehingga sayalah yang harus mengendalikan dan mengkholifahinya. Sebab saya adalah dalêm.

1.3.3. Kemudian pada dimensi yang lebih tinggi lagi, yaitu dimensi 3 adalah dimensi ruang. Apa yang sudah dipahami sebagai bacaan, pada dimesi 3 ini seseorang dengan kesadarannya mampu untuk mengalami maknanya.

Makna, yaitu suatu kolaborasi hati dengan pikiran dalam sebuah perenungan (meditatif) dalam memahami ruang atau perspektif ilmu pengetahuan hingga menghasilkan pemahaman baru. Sifatnya abstrak. Inilah dimensi Qalb, rasa yang lebih dalam.

1.3.4. Dari makna yang masih bersifat abstrak karena merupakan hasil perenungan, seseorang yang memasuki dimensi 4 dalam kesadarannya akan mampu menggunakan penalarannya, sehingga dapat memahami fakta yang ada di balik makna tersebut.

Dengan melakukan pengamatan inderawi (memberi atensi) dan penggagasan berdasarkan logikanya, seseorang telah mampu membedakan atau mengkategorikan pengetahuan (niténi) yang didapat dari hasil pengamatan yang kemudian menjadi struktur keyakinannya.

Inilah dimensi Fuad, dimensi 4 yaitu waktu yang sifatnya imaginatif.

1.3.5. Dimensi ke-5 dari hati adalah dimensi niat atau maksud. Inilah dimensi Syagaf, dimensi terbitnya realitas atau kasunyatan dari fakta yang dipahami pada dimensi sebelumnya, yang bersumber dari hidayah.

Pada dimensi inilah “dalêm” mulai tersadari sehingga dipenuhi dan menyatu dengan rasa cinta pada diri sendiri, welas asih pada orang lain dan seluruh makhluk. Dalêm sudah tak berjarak lagi dengan cinta yang hakiki, rasa syukur yang mendalam, dharma, kepasrahan dan suka cita dalam pengabdian pada Tuhan.

1.3.6. Dimensi ke-6 dari hati adalah Lubb, dimensi kesadaran, tempat bersemayamnya dalêm, sebuah wilayah kedamaian, suatu tempat di mana dalêm mengalami realitas atau kasunyatan kehadiran Tuhan. Inilah anugerah Tuhan yang dimaksud dengan nurani, yaitu suara dalêm yang menuntun kehidupan, tempat terbitnya fatwa hati yang memandu kedamaian diri.

1.3.7. Dimensi ke-7dari hati adalah Sirr, dimensi kemanunggalan, tempat dalêm menyaksikan Panjênêngan Dalêm.



2. PANJÊNÊNGAN DALÊM

Sebagaimana pada bagian awal tulisan ini, saya menceritakan bahwa ibu saya menjelaskan bahwa saat berbicara pada Tuhan, kata ganti atau sebutan yang benar adalah panjênêngan dalêm.

Dalam perenungan saya, saya menemukan bahwa kata ganti tersebut, panjênêngan dalêm, merupakan kesadaran bahwa saya – dalêm selalu tak terpisahkan dan memang tak mungkin terpisah dari Tuhan - panjênêngan dalêm, utuh.

Kelalaian saya sajalah yang menyebabkan keterpisahan kesadaran dari Tuhan dan itulah awal dosa saya, itulah awal hadirnya berbagai masalah.

Maka sebutan panjênêngan dalêm dan dalêm itu sendiri merupakan batas yang tegas antara Pencipta (khaliq) dan yang diciptakan (makhluk), sekaligus sebagai pengingat bahwa setiap makhluk selalu diliputi khaliq. Jadi, yang sejatinya ada hanyalah khaliq, sekaligus bermakna juga bahwa seluruh makhluk adalah khaliq juga adanya dan makhluk selalu berada dalam khaliqnya.

Dalêm adalah penyaksi (nyêkséni) 
panjênêngan dalêm dan hakikatnya adalah bahwa dalêm tidak ksekalipun bisa menyaksikan panjênêngan dalêm kecuali panjênêngan dalêm itu sendiri yang menyaksikan panjênêngan dalêm melalui dalêm.

Bagaimana bisa demikian ?

Sebuah renungan saja bagi saya pribadi dengan beberapa pertanyaan.

Pertanyaan pertama.

Saat Tuhan pertama kali menciptakan makhluknya, bahan bakunya mengambil dari luar Tuhan atau dari Tuhan itu sendiri ?

Kalau dalam penciptaan yang pertama, Tuhan mengambil bahan baku dari luar Tuhan, maka bukankah itu berarti ada unsur lain yang sudah ada selain Tuhan ? Maka kesimpulan ini keliru.

Jadi Tuhan menciptakan makhluknya, bahan bakunya tentunya dari Tuhan itu sendiri. Maka, bukankah tidak ada makhluk yang tidak mengandung unsur Tuhan dalam keber-ada-annya ?

Semua makhluk mempunyai unsur keilahian, tetapi kadarnya saja yang berbeda-beda. Maka manusia sebagai master piece ciptaan Tuhan, berarti memeiliki kadar keilahian tertinggi, sehingga tugasnyalah untuk mendistribusikan keilahian tersebut pada keilahian lain yang belum sesempurna manusia. Pada titik itulah manusia mengemban tugas untuk bersama-sama denganNya merawat semesta, mengkholifahinya untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Hamemayu hayuning bawana.

Lalu kalau semua makhluk memiliki unsur keilahiannya masing-masing, bagaimana dalêm tidak mempunyai rasa hormat yang mendalam pada semua makhlukNya ? Rasa hormat yang mendalam itulah hakikat dari rasa syukur pada Tuhan, mensyukuri segalanya, alhamdulillah, bahwa nyatanya tak ada yang Tuhan, semua Tuhan juga hakikatnya. Maka bagi dalêm, sangat bisa dipahami kalau manusia Jawa itu penuh dengan simbol dan ritual rasa syukur pada semua makhlukNya, misalnya yang secara sempit dipandang sebagai sajen atau sesaji, sebenarnya bukan karena bersikap syirik dengan menyekutukanNya, tetapi malah dalam rangka mensyukuriNya yang selalu hadir di setiap ciptaanNya.

Pertanyaan kedua.

Tuhan menciptakan makhluknya itu, di luar Tuhan atau di dalam Tuhan itu sendiri ?

Kalau makhluk itu letaknya di luar Tuhan, berarti ada ruang yang terpisah dari Tuhan, ada waktu yang di luar Tuhan dan berarti bisa jadi makhluk mempunyai skala yang lebih besar dari Tuhan itu sendiri. Jadi saya kira, kesimpulan ini keliru.

Tuhan menciptakan makhluknya, tentunya di dalam Tuhan itu sendiri, tidak mungkin ada sesuatu yang keber-ada-annya di luarNya. Karena itulah Tuhan itu Maha Besar, Maha lebih Besar dari semua yang di-ada-kanNya. Allahu Akbar.

Maka, Allahu Akbar semestinya adalah sebuah kesimpulan dari kesadaran akan kemahaagunganNya, bukan dan tidak ada hubungannya dengan kemarahan sebagaimana yang sering ditunjukkan oleh segolongan orang yang selalu mengepalkan tangan diiringi takbir sebagai pekik kemarahan. Kemarahan yang bukan karenaNya, melainkan kemarahan karena ada segolongan orang yang dianggap tidak mau menuruti mereka. Kalau ini yang terjadi, tidaklah mengherankan, sebab berarti mereka ini baru mampu membaca data sebatas tulisan saja (dimensi 1) atau sekedar bacaan saja (dimensi 2). Belum mampu menapak pada makna, apalagi fakta, apalagi maksud, apalagi kesadaran, masih jauh. Terlebih lagi kemanunggalan, tambah jauh lagi. Karena itulah, kitab suci yang dibaca boleh jadi sama, namun prilaku dan pemahamannya akan sangat beragam, tergantung kualitas kesadarannya ada pada dimensi yang mana.

Kalau makhluk diciptakanNya di dalamNya, maka berarti pula bahwa keilahianNya merupkan medium kehidupan makhlukNya. Tak ada yang tak diliputiNya. Tak ada yang tak ditembusNya. Tuhan sedemikian halusnya dan sedemikian lembutnya. Maka dipermaklumkan pula olehNya namaNya yang mulia yaitu Al Lathif, Yang Maha Lembut.

Kalau keilahianNya merupkan medium bagi semesta ciptaanNya yang berjalan sesuai ketentuanNya (sunatullah), maka itu artinya semua makhlukNya hidup dalam sebuah program kesadaran yang menjamin dan menjaga keberlangsungannya sampai batas yang telah ditetapkanNya. Program kesadaran itu merupakan suatu medan yang menampung seluruh sunatullahnya atau hukum-hukumNya. Program kesadaran itu merupakan database semesta, database raksasa yang berisi algoritma semestaNya. Itulah Lauhul Mahfudz. Dalam bahasa kosmologi, dikenal sebagai Divine Matrix.

Kalau benda dilemparkan ke atas, dengan sendirinya ia akan jatuh ke bumi. Hal demikian itu dikenal sebagai hukum gravitasi yang berlaku di bumi dan berjalan dengan sendirinya tanpa perlu direkayasa. Namun juga ada hukum-hukum lain yang memerlukan proses rekayasa untuk dapat berjalan, misalnya transformasi energi dari energi potensial gravitasi hingga menjadi energi listrik. Semua hal tersebut adalah program atau algoritma yang telah tersedia di Lauhul Mahfudz.

Demikian juga dengan hal berikut ini. Kalau DIA mempermaklumkan bahwa : “Aku menurut persangkaan hambaKu kepadaKu”, maka itu juga harus dipahami sebagai salah satu program atau algoritma yang telah tersedia di dalam Lauhul Mahfudz. Ini yang sering tidak disadari. Saat dalêm tidak hadir dalam kesadaran diri, dalam arti yang mendominasi dalam diri saya adalah salah satu identitas jiwa saya, atau sebatas pikiran saya atau juga salah satu perasaan saya atau malah hawa nafsu saya, maka yang terjadi adalah tidak ada kendali pada hawa nafsu, perasaan, pikiran ataupun identitas jiwa saya. Padahal semua itu merupkan ekspresi yang langsung terpancarkan ke semesta yang merupakan persangkaan kita pada Tuhan.

Apa yang terjadi ? Seluruh persangkaan itu akan menjadi data masukan (input) dari berjalannya program : “Aku menurut persangkaan hambaKu kepadaKu”, yang kemudian diproses dan keluarlah outputnya sebagaimana yang saya sangkakan dan itulah yang terjadi dalam kehidupan saya.

Kalau perasaan saya cenderung negatif saat berjumpa dengan seseorang, berarti saya menyangka bahwa orang itu negatif, maka itulah yang akan terjadi. Jadi yang salah ya tentunya diri saya sendiri, bukan orang itu, sebab sayalah yang melempar persangkaan padanya.

Kalau saya merasa tidak mampu menjalankan suatu tugas, maka itu pulalah yang akan terjadi.

Kalau karena kehujanan saya menyangka akan menjadi sakit, maka sakit itulah yang terjadi pada diri saya.

Begitu seterusnya.


3. DALÊM dan PANJÊNÊNGAN DALÊM

Sebagaimana di awal tulisan ini, saya mengalami realitas kesadaran dari bahasa Jawa yang diajarkan oleh ibu saya untuk lebih memahami diri saya sendiri. Antara dalêm dan PanjênênganDalêm.

Bahwa sejatinya diri saya adalah dalêm, suatu kesadaran tentang keber-ada-an diri yang otentik yang menyadari dengan kesadaran penuh seluruh dinamika yang terjadi dalam diri saya sendiri.

Dalêm yang menyadari, mengamati dan mengkholifahi seluruh dinamika pikiran saya, perasaan saya, hawa nafsu saya, identitas jiwa saya dan tubuh saya.

Dalêm yang menyadari, mengamati dan mengkholifahi seluruh ucapan dan perbuatan saya.

Dalêm yang menyadari, mengamati dan mengkholifahi seluruh pilihan-pilihan dan keputusan hidup saya.

Dalêm yang menyadari, mengamati dan mengkholifahi seluruh prasangka saya.

Dalêm yang merupakan ruhNya dengan segala potensi yang dikaruniakan kepadanya, sehingga fitrahnya itu ya sehat, ya selamat, ya sugih, ya berkah dan seterusnya. Kalaupun ada masalah, itu pertanda bahwa dalêm tidak hadir dalam kehidupan saya, tergantikan oleh yang lain. Maka saat itu terjadi, solusinya adalah menaikkan kesadaran diri kembali ke dimensi dalêm.

Dalêm yang tak mungkin terpisah dari Panjênêngan Dalêm. Keterpisahan yang terjadi sebatas kelalaian atau teralinginya kesadaran diri, yang itu merupakan awal dosa dan awal timbulnya masalah. Utamanya adalah kerelaan terhadap hawa nafsu.

Karena itu sejatinya syahadat adalah dalêm yang bersaksi karena mengalami realitas Panjênêngan DalêmDalêm yang selalu mengabdi dan memuji Panjênêngan Dalêm. Di hadapan Panjênêngan Dalêm, dalêm haruslah menjadi abdi yang baik, tetapi di hadapan semesta, dalêm haruslah menjadi mitra dari Panjênêngan Dalêm.

Maka awal taubat adalah menyadari kesejatian diri sebagai dalêm dan kembali meleburkan kesadaran dalam Panjênêngan Dalêm. Karena dalêm dan Panjênêngan Dalêm itu selalu bersama meski berbeda.


Demikianlah kira-kira.

Mohon maaf lahir batin.

:: TAQOBALLAHU MINNA WA MINKUM ::


---------------

BAGUS herwindro yang sedang berlebaran di Surabaya dan tergerak menulis lagi setelah sekian lama kosong.

Share this article :
Comments
1 Comments

1 komentar:

IG
@bagusherwindro

Facebook
https://web.facebook.com/masden.bagus

Fanspage
https://web.facebook.com/BAGUSherwindro

Telegram
@BAGUSherwindro

TelegramChannel
@denBAGUSotre

 
Support : den BAGUS | BAGUS Otre | BAGUS Waelah
Copyright © 2013. den Bagus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger