AMIT

Written By BAGUS herwindro on Mar 13, 2016 | March 13, 2016

Kalau Panjenengan membaca judul tulisan ini yaitu “amit” maka apa yang Panjenengan pikirkan ? Tentu Panjenengan akan mencocokkan dengan referensi yang sudah tersimpan dalam memory Panjenengan tentang kata “amit” itu. Dari bahasa apa, dalam konteks yang bagaimana kata tersebut dipergunakan atau mungkin juga Panjenengan akan mencari padanan katanya atau mungkin terbetik di pikiran tentang hal-hal lain yang terkait paut dengan kata tersebut. Namun apa pun itu ya… cukup dipikirkan saja, gak usah sampai mencari saya untuk menyampaikan hasil pemikiran Panjenengan. Terus terang males banget saya :P.

Padahal sebenarnya judulnya bukan hanya itu saja melainkan adalah “amit-amit”, tetapi sebenarnya juga bukan itu juga tetapi lengkapnya adalah “amit-amit jabang bayi”.

Pernah dengar kalimat itu ?

--------------------

Seperti biasanya, saat saya berusaha niténi (mengamati / mencermati / menelusuri) diri saya sendiri khususnya tentang pikiran dan perasaan saya dalam interaksi apa pun antara saya dengan orang lain atau dalam hal saya merespon sebuah siniasi (kalau Panjenengan situ jadinya situasi, lha saya kan di sini ya siniasilah…), maka saya menemukan sebuah pola yang terus berulang.

Setiap indera saya menangkap peristiwa, setiap itu pula pikiran saya berolah logika dengan dualitas semunya, yaitu antara untung dan rugi, antara menang dan kalah, antara enak dan tidak, antara benar dan salah, antara aku dan dia atau mereka dan seterusnya. Perasaan pun melahirkan prasangkanya. Meski yang diindera hanyalah permukaannya saja tanpa tahu kedalamannya atau walau yang diindera masih satu sudut saja tanpa tahu luasannya atau kendati yang diindera adalah salah satu sisinya saja tanpa tahu keseluruhan ruangnya, selalu saja prasangka itu ada, itu pun didominasi oleh prasangka yang tidak baik. Itulah polanya. Ternyata pola itu juga banyak saya temui pada orang lain dan mungkin Panjengan juga sama ?

Lihat kastamer dengan mimik wajah tertentu, langsung kepikiran kalau itu adalah kastamer yang ruwet dan yang terjadi ruwet betulan. Disalip orang di jalan sudah menilai orang tersebut gak punya aturan. Dengar cerita tentang seseorang, langsung menilai orang tersebut begitu begini. Baca judul berita di media online yang bombastis sudah langsung bereaksi dengan dukungan atau hujatan dan sibuk ngeshare ke sana sini tanpa mau menelusuri kebenarannya, apalagi saat ini jamannya media online abal-abal yang kerjaannya memang menebar fitnah dan menabur kebencian. Lihat kesuksesan seseorang langsung saja mencari sisi negatifnya. Diajak mempelajari hal-hal baru yang bermanfaat langsung bereaksi negatif, skeptis.

Banyak manusia termasuk saya terlalu sering berprasangka yang tidak baik, terlalu banyak menilai menurut sudut pandang sendiri dengan penilaian yang tidak baik pula dan terlalu cepat menghakimi secara sempit segala sesuatu seolah-olah diri sendiri inilah yang paling mengetahui dan mengerti segala sudut, sisi, luas dan dalamnya.

Kalau prasangkanya, bila penilaiannya dan jika penghakimannya adalah sesuatu yang positif dan obyektif tidaklah menimbulkan masalah, namun bila sebaliknya maka itulah yang merupakan salah satu penyebab awal timbulnya masalah yang akan terus berulang dalam kehidupan kita.

Kok bisa ?

Apakah ada pada segala sesuatu atau di semua hal atau dalam seluruh peristiwa yang terlepas dari peran sertanya Gusti Allah, dalam arti Gusti Allah tidak tahu tentang itu dan tidak menskenariokan seperti itu ? Tentunya tidak bukan ? Kalau sampai sedetik saja perjalanan waktu ini tidak atas skenario dari Gusti Allah, berarti Gusti Allah punya tandingan dan itu tidak mungkin, begitu hakikatnya. Sebagaimana wayang yang tidak mungkin membuat lakon sendiri dan tidak mungkin juga bergerak sendiri tanpa dimainkan oleh sang dalang, maka seperti itu pulalah perjalanan semesta ini sejak diciptakannya olehNya. Maka kebiasaan untuk selalu berprasangka, menilai dan menghakimi yang tidak baik merupakan suatu tindakan yang mungkin bisa dikategorikan menantang dan menghujat Tuhan.

Tanpa mau mencari hikmah dari segala peristiwa,  pada seluruh kejadian dan dalam semua fenomena yang sebenarnya keseluruhan itu adalah ciptaanNya, maka manusia hanya akan tersiksa dan sengsara oleh prasangkanya sendiri, oleh penilaiannya sendiri dan oleh justifikasi yang dibuatnya sendiri. Dia akan sampai pada kesimpulan bahwa dirinya adalah korban, korban keadaan, korban situasi dan kondisi yang melingkupinya dengan menyalahkan semua pihak di luar dirinya. Dia mungkin juga berksimpulan bahwa ada ciptaanNya yang sia-sia. Bisa jadi Tuhan disalahkan olehnya. Padahal sebagaimana yang diinformasikan olehNya sendiri bahwa jika dan hanya jika kita manusia mau mencari hikmah, belajar tahu, mengerti dan memahami apa sih maunya Gusti Allah, sungguh pada akhirnya kita akan sampai pada satu kesimpulan bahwa tak ada yang sia-sia pada segala ciptaanNya.

Semesta ini sejak awal penciptaanNya hakikatnya adalah proyeksi dari “mau”nya DIA, Gusti Allah. PengaturanNya begitu sempurna, kita manusia sebenarnya tinggal menerima kasih, namun sayangnya sangat sering terlupa untuk berterima kasih. Bagaimana tidak terlupa kalau memang tak ada kesadaran untuk memahami mauNya, padahal segala rahasia sudah terpaparkan di depan mata baik yang tersurat maupun yang tersirat.

WYSIWYG

Dulu di kisaran tahun 1992, saat software yang umum dipakai masih “Lotus 123” untuk spreadsheetnya dan “Word Star” atau “Chi Writer” untuk word proccessornya, saya sudah memakai software “Quatro Pro” untuk spreadsheet dan “Word Perfect” untuk word processor di mana kedua software tersebut termasuk generasi pertama yang menggunakan sistem WYSIWYG alias what you see is what you get, dalam arti bahwa yang terlihat di layar atau monitor adalah sebagaimana nanti yang diperoleh saat dicetak.

Lha sistem itu, WYSIWYG, menurut saya merupakan analogi dalam memahami sunatullah bahwa apa yang kita lihat di layar pikiran kita atau pun pada layar perasaan kita, maka itulah yang akan kita dapatkan mewujud pada layar kenyataan kita. Bukankah Gusti Allah juga sudah menginformasikan bahwa DIA sesuai persangkaan kita manusia, hambanya, terhadapNya. Kalau pikiran kita tidak bagus dan kalau perasaan kita juga tidak baik, maka itulah yang akan dibuktikan olehNya pada kita.

PembuktianNya adalah merupakan balasan dari kebaikan atau keburukan kita masing-masing meski sekecil dzarrah dan itu semua adalah untuk diri kita sendiri masing-masing.

Seluruh wujud makhluk selalu tersusun dari frekuensi, energi dan materi. Dzarrah masuk dalam wilayah frekuensi, merupakan bagian terkecil dari materi yang dalam ilmu fisika kuantum bagian terkecil itu adalah quark atom yang perwujudannya hanyalah berupa gelombang-gelombang, wave. Itulah vibrasi. Bukankah prasangka atau persangkaan atau penilaian juga merupakan vibrasi, sebab belum wujud menjadi energi atau pun wujud dalam tingkat yang paling kasar sebagai materi ? Dia adalah getaran yang memancar dari pikiran dan perasaan manusia. Maka prasangka atau persangkaan atau penilaian kita itulah yang akan dan pasti mendapat balasan untuk diri kita masing-masing. Baik yang kita sangkakan baik pula yang kita dapatkan, sebaliknya buruk yang kita sangkakan buruk pula yang kita peroleh.

Kebiasaan berpikir yang tidak baik dan biasanya selalu bergandengan dengan berperasaan yang tidak baik pula, bila dibiarkan secara terus menerus akan membentuk karakter kejiwaan seseorang. Maka di masa depannya seseorang ini pasti akan menghadapi banyak problematika kehidupan, saat dia terlalu banyak menimbun karaktrer kejiwaan yang tidak baik dalam dirinya. Selain akan sulit mengendalikan semua karakter kejiwaan itu, juga akan menghambat dirinya untuk kembali kepada Tuhannya, sebab semua karakter kejiwaan yang tidak baik itu akan menjadi hijab baginya.

Maka sejak dulu manusia Jawa selalu mengingatkan untuk memotong kebiasaan berprasangka buruk dan sekaligus menilai yang tidak baik, serta menghakimi dan memperolok sesuatu hal yang kurang dalam beberapa kalimat yang mempunyai kesamaan makna, yaitu : ojo moyok mundak nemplok (jangan memperolok agar tidak mengalami hal yang sama) dan ojo gething mundak nyanding (jangan membenci agar nanti tidak bersanding). Karena itu pula sejak awal pula sudah diberi pagar pula dengan ojo kagetan dan ojo gumunan agar terbiasa merespon segala situasi dan kondisi dengan biasa-biasa saja, dengan ketenangan jiwa yang tak gampang bereaksi dan tak mudah pula terprovokasi.

Kalau dirumuskan kira-kira begini :
Prasangka / penilaian / penghakiman adalah proses memberikan perhatian terhadap sesuatu (atensi) yang menyebabkan keterhubungan dengan sesuatu tersebut (koneksi) yang kemudian diperbesar intensitasnya oleh hal-hal yang bersifat sama frekuensinya (resonansi) dan kemudian pada akhirnya akan dipantulkan lagi atau kembali kepada dia yang berprasangka / menilai / menghakimi tersebut (refleksi).

Yang sering terjadi, di antaranya :

Karena menganggap orang lain merugikan kepentingan dan pamrih pribadi kita, maka kita pun kehilangan kendali diri dan menjadi marah. Berulang-ulang dan berkali-kali menjadi karakter sehingga kita mempunyai sosok kejiwaan yang pemarah yang akhirnya kita akan mendapatkan situasi-situasi yang selalu memancing kemarahan.

Karena menganggap hidup ini berat dan sulit, maka kita pun kehilangan kendali diri, ke mana-mana curhatnya seperti orang yang paling susah sedunia. Berulang-ulang dan berkali-kali menjadi karakter sehingga kita mempunyai sosok kejiwaan pengeluh dan tak bersyukur yang akhirnya kita pun akan terus menerus masuk dalam situasi dan kondisi yang sulit dan rumit.

Karena menganggap diri kita sendiri tak berharga dan takut tak dihargai oleh orang lain, maka kita pun kehilangan kendali diri mengada-adakan yang tidak ada bagaimana pun caranya, berpura-pura dengan mencitrakan diri karena takut dan malu akan bayangan penilaian orang lain. Berulang-ulang dan berkali-kali menjadi karakter sehingga kita mempunyai sosok kejiwaan yang gengsi yang pada akhirnya kita akan mendapatkan suatu situasi di mana orang lain akan benar-benar merendahkan kita karena kepura-puraan dan pencitraan diri kita sendiri terkuak kedoknya.

Karena menganggap semua orang kaya itu sombong dan semaunya sendiri, maka kita pun kehilangan kendali diri dan menjadi benci pada orang kaya. Berulang-ulang dan berkali-kali menjadi karakter sehingga kita mempunyai sosok kejiwaan yang tidak mau kaya dan akhirnya selalu berhadapan dengan situasi yang serba kekurangan atau pas-pasan saja.

Karakter

Kolaborasi antara perasaan dan pikiran akan terekspresikan dalam tindakan. Tindakan yang berulang membentuk kebiasaan dan kebiasaan membentuk karakter. Karakter itu akhlak, sosok kejiwaan kita. Manusia Jawa menyebutnya sebagai pakarti. Kalau cara agama memperbandingkan dengan menyebutnya akhlak mulia sebagai kebalikan dari akhlak tercela, kalau cara budaya menyebutnya dengan pakarti luhur yaitu pakartinya para satriyo / ksatria sebagai kebalikan dari pakartinya para buto / raksasa. Kalau di dunia pemberdayaan diri saat ini menyebutnya sebagai power / menggerakkan yang merupakan kebalikan dari force / memaksa.

Apa yang kita tuliskan pada layar pikiran dan apa yang kita gambarkan pada layar perasaan kita saat merespon suatu situasi yang sedang melingkupi kita, itulah wajah jiwa kita, itulah wajah akhlak kita. Sebuah situasi kita respon dengan menyangkanya atau menilainya dengan bersyukur atau malah mengkufurinya, dengan memuji atau mencelanya, dengan gembira ataukah mengeluh itulah yang menggambarkan akhlak kita, karakter kita, jiwa kita yang menentukan nasib kita dalam kehidupan yang kita lalui.

Maka apa pun yang saat ini terjadi pada diri kita sendiri, yakinlah tanpa menyalahkan orang lain bahwa itu adalah hasil dari akhlak kita sendiri yang merupakan persangkaaan serta penilaian kita sendiri di masa sebelumnya, yang mungkin kita sendiri pun sudah tidak mengingatnya. Yang kita tuliskan pada layar pikiran kita dan yang kita gambarkan pada layar perasaan kita, itulah yang akan mewujud nyata dalam realitas kehidupan kita, cepat atau lambat namun pasti. Ngunduh wohing pakarti begitu manusia Jawa menyatakannya dalam ungkapan yang sederhana, artinya setiap orang akan memanen buah dari hasil akhlaknya sendiri.

Nur Nar

Masalahnya adalah kenapa akhlak yang tercela tak juga kunjung sirna dari dada, sedang akhlak yang mulia pun tak juga menjadi raja meski waktu sedemikian cepat berlalu yang nanti di akhir waktu hanya tinggalkan sesal yang menusuk kalbu ?

Jawabnya adalah karena, sebab pertanyaannya adalah mengapa he… he… he…

Gusti Allah itu cahaya maha cahaya yang mencahayai semesta ciptaannya. Ruh kita adalah ruh milikNya, bagian dari cahayaNya. Para malaikat juga bagian dari cahayaNya, termasuk Iblis yang pada mulanya adalah seniornya para malaikat yang karena pembangkangannya itulah, saat dia merasa lebih mulia dari Kanjeng Nabi Adam yang jazadnya terbuat dari tanah, maka Iblis tidak lagi sepenuhnya nur, cahaya, namun turun derajadnya menjadi nar, api. Iblis pun meminta tangguh hingga kiamat dan bersumpah akan mereaksi apinya manusia anak cucu Kanjeng Nabi Adam dengan apinya dan Gusti Allah pun mempersilahkan sebab manusia meskipun di dalam dirinya ada nafsu yang berunsur api tetapi manusia juga telah telah dibekali oleh Gusti Allah dengan akal sebagai pembeda antara kebaikan dan keburukan.

Cahaya itu tak bisa direaksi dalam arti diperbesar atau pun diperkecil, yang bisa dilakukan pada cahaya adalah memberikan ruang untuk memendarkan kilaunya ke segala arah. Ibarat lampu 13 watt, dia tetaplah 13 watt namun dia bisa menerangi satu ruangan atau bisa juga hanya menerangi seluas laci kalau memang dia dinyalakan di dalam laci yang tertutup.

Namun api tidaklah demikian. Api tetap memendarkan cahaya namun dia sangat mungkin untuk direaksi, diperbesar ataukah dikendalikan nyalanya. Api yang membakar sehelai kertas, sangat mungkin direaksi dengan menyiram bensin kepadanya hingga membesar dan membakar sebuah ruangan, sebuah rumah, sebuah desa, sebuah kota, sebuah negeri dan seterusnya bila tak segera dikendalikan.

Dalam diri manusia pun juga ada unsur apinya yaitu nafsu. Nafsu inilah yang akan terus menerus diberi aksi oleh apinya iblis melalui bala tentaranya agar bereaksi dan terus membesar mengalahkan akal dan menutupi cahaya ruh dalam diri kita. Akal terus menerus digoda dan ditipu daya agar selalu beralibi di balik kata “manusiawi” untuk membenarkan segala tindakannya. Hati akan terus menerus dihembusi bisikan untuk memenangkan hasrat nafsu dan bukannya hasrat ruh.

Nah berarti tinggal manusianya itu sendiri yang menentukan seberapa luas ruang yang diberikannya pada cahaya dalam dirinya dengan cara mengendalikan nyala api dalam kadar yang secukupnya saja hingga muncullah akhlaknya yang mulia ataukah sebaliknya, memperbesar nyala apinya dengan mempersempit ruang cahaya sampai meredup hingga akhlak tercelalah yang muncul ? Api tetap diperlukan namun harus dikendalikan, ibarat menanak nasi, kalau apinya terlalu besar nasinya gosong, kalau terlalu kecil nasinya akan menjadi bubur. Maka kata kuncinya adalah pengendalian.

Pengendalianlah yang bisa menjaga nur tetaplah nur, cahaya tetaplah cahaya, agar tak sampai turun derajadnya menjadi api, nar.

Hakikat penciptaan manusia adalah mengabdi padaNya secara terus menerus hingga mengenalNya dengan sebenar-benarnya, haqul yaqin. Nah, tiba-tiba saya tergerak untuk sholat dhuha, berarti saya sedang menyerap cahayaNya. Mestinya saya harus tetap sadar dan menyadari untuk berada dalam koridor pengabdian padaNya agar nur yang saya serap tetaplah menjadi nur, namun saat saya lengah dan kehilangan kewaspadaan yang kemudian nafsu mengambil alih dominasinya dengan menggunakan pikiran untuk menghitung untung rugi seperti dalam berdagang sehingga sholat dhuha saya termotivasi untuk kelancaran rejeki, kemudian saya beralibi bahwa sholat dhuha kan memang dijanjikan kelancaran rejeki olehNya, maka sholat dhuha yang saya lakukan sudah bukan dalam rangka pengabdian padaNya tetapi dalam rangka pengabdian untuk kepentingan diri saya sendiri dan itu api, nar. Maka lihatlah bahwa nur belum tentu tetap menjadi nur, tetapi bisa juga menjadi nar, saat tak ada pengendalian.

Kesadaran

Pengendalian, berarti ada yang mengendalikan dan ada yang dikendalikan. Masalahnya siapa yang mengendalikan dan siapa yang dikendalikan.

Sederhananya seperti ini : saya mempunyai buku maka buku itu bisa dikatakan buku saya. Apakah buku itu saya ? Bukan. Apakah saya buku ? Juga bukan. Buku saya berarti buku tersebut adalah bagian dari saya, tetapi saya bukan bagian dari buku itu. Berarti yang dominan dan superior adalah saya. Saya adalah subyek dan buku adalah obyek. Saya adalah pengendali dari buku saya.

Kenyataannya tidak sesederhana saya dan buku, sebab realitanya adalah antara “saya” dan “pikiran saya”, “perasaan saya”, “nafsu saya”, serta “kejiwaan saya”. Saya bukan pikiran saya, saya bukan perasaan saya, saya bukan nafsu saya dan saya bukan kejiwaan saya.

Mestinya “saya” yang mengendalikan “pikiran saya”, namun sayalah yang sering dikendalikan oleh pikiran saya. “Saya” yang seharusnya mengendalikan “nafsu saya”, tetapi sayalah yang sering dikendalikan oleh nafsu saya. Begitu pun dengan perasaan dan kejiwaan saya. Saya kira orang lain pun juga mengalami hal serupa, kecuali Panjenengan. Panjenengan saya yakin tidak. Tidak berbeda maksudnya… he… he… he…

Misalnya begini, saya marah besar pada anak saya dan saya pun memarahi dia, namun setelahnya timbul penyesalan dalam diri saya tentang kemarahan itu. Saya merasa menyesal, berarti sewaktu marah tadi “saya” di mana ? Berarti juga, yang marah tadi siapa ? Itu artinya “saya” kehilangan kendali atas diri saya sendiri dan itu karena saya tidak sadar. “Saya” tidak mempunyai kesadaran tentang “saya” yang seharusnya menjadi subyek, si pengendali.

Saat nafsu, pikiran, perasaan dan kejiwaan saya yang mengendalikan “saya”, sebenarnya saya tetap ada namun tak berkuasa sebab saya tak menjaga kesadaran “saya” (cahaya) dan tak mewaspadai gerak-gerik yang “bukan saya” (api) sehingga terjadilah kudeta itu. Jadi bagaimana pun juga dalam kalau sampai timbul masalah yang salah adalah “saya”, bukan yang lain apalagi syetan yang sering jadi kambing hitam.

Nur ~ cahaya adalah pengabdian kepadaNya dengan  meleburkan eksistensi diri dalam eksistensiNya, sedangkan nar ~ api adalah pengabdian pada diri sendiri dengan memperkuat eksistensi diri sendiri.

Maka dari dulu manusia Jawa terus menerus mengingatkan untuk menjaga kesadaran “saya” (cahaya) dan mewaspadai yang “bukan saya” (api) dalam ungkapan yang sederhana namun tak sesederhana itu dalam prakteknya, yaitu éling lan waspodo.

Éling itu sadar sesadar-sadarnya, yaitu bagaimana “saya”  menyadari dengan sadar bekerjanya seluruh perasaan saya, pikiran saya, nafsu saya, kejiwaan saya, ucapan saya dan tindakan saya, dalam keseluruhan peristiwa di setiap detik kehidupan “saya” dan tentu saja yang pertama dan utama adalah dalam keterhubungan diri “saya” sebagai abdi dengan Allah sebagai Gusti. Éling itu saat bersemayamnya iman di dalam dada, saat seorang manusia mengamankan dirinya dari hal-hal yang tidak diridhoi Gusti Allah dan juga saat seorang manusia mengamankan dirinya dari segala perbuatan yang tidak mengamankan harkat, martabat, jiwa dan harta manusia lainnya serta seluruh semesta. Maka dalam kesadaran, dalam keimanan tidak akan ada penyesalan.

Sedangkan waspodo adalah kewaspadaan terhadap pengambilalihan kesadaran “saya” oleh yang bukan saya, yaitu mungkin oleh perasaan saya, pikiran saya, kejiwaan saya atau oleh nafsu saya. Waspodo itu saat kesadaran seorang manusia menjadikan Gusti Allah sebagai penimbang utama dalam seluruh keputusan-keputusan hidupnya. Itulah taqwa, selalu mempertanyakan pada dirinya sendiri kira-kira Gusti Allah itu ridho ataukah tidak ya atas aktivitas perasaan, pikiran, nafsu, tindakan, kebiasaan dan karakternya. Waspada agar “saya” tetap sadar. Kalau yang bukan saya yang mengambil alih atau mengendalikan, hal itulah yang disebut kelalaian dan kelalaian selalu saja berbuah penyesalan. Penyesalan itu sendiri selalu di akhir, saat segalanya sudah terjadi dan tak mungkin diulang kembali.

Nah, salah satu upaya untuk menjaga kesadaran “saya” (cahaya) adalah berusaha terus menerus menyadari bahwa diri kita bernafas sebab nafas adalah penanda kehidupan. Menyadari nafas berarti menyadari kehidupan. Menyadari kehidupan berarti juga menyadari ruh yang ada dalam diri kita dan seharusnya juga adalah menyadari pencipta kehidupan, karena ruh kita (cahaya) adalah ruh milikNya (Sang Maha Cahaya). Maka, selain menyadari “saya” (cahaya) dengan menyadari nafas, juga harus menyadari DIA, Sang Maha Cahaya, Gusti Allah, dengan berkekalan dalam dzikir. Dzikir yang sebanyak-banyaknya di semua tempat, di segala kondisi dan di seluruh waktu. Semoga dengan demikian, kesadaran “saya” menyatu dalam kesadaran “Allah”, sehingga tak sempat lagi menilai, tak lagi berhasrat menghakimi dan tak bisa lagi berprasangka yang tidak baik, karena ke mana pun menghadap yang terlihat adalah wajah Allah, selalu berhikmah dan tak ada yang sia-sia.

Hijab Jiwa

Sebagaimana yang saya sampaikan sebelumnya bahwa kolaborasi antara perasaan dan pikiran akan terekspresikan dalam tindakan. Tindakan yang berulang membentuk kebiasaan dan kebiasaan membentuk karakter. Karakter itu akhlak, sosok kejiwaan kita. Kalau baik tidaklah menjadi masalah, namun jika tidak baik maka itulah masalah kita sebab karakter atau sosok kejiwaan yang tidak baik itu akan menjadi hijab atau penghalang antara kita dengan Gusti Allah. Duhai… sudah berapa banyak atau bahkan sudah berapa ribu hijab yang kita buat-buat sendiri.

Salah satu misi diutusnya Kanjeng Nabi Muhammad adalah untuk memperbaiki akhlak, maka berarti itulah yang harus kita lakukan terus menerus.

Selalu memaknai setiap detik kehidupan dengan makna yang baik, berhenti berprasangka / menilai / menghakimi siapa atau apa pun juga dengan makna yang tidak baik agar tak tercipta lagi karakter atau sosok kejiwaan yang tidak baik yang hanya akan mempertebal hijab.

Berarti “saya” juga harus menjadi panglima dalam “diri saya” sendiri, menguasai kesadaran “saya” untuk menghentikan atau mentransformasikan karakter atau sosok kejiwaan yang tidak baik menjadi baik, dari akhlak yang masih tercela menjadi akhlak yang mulia. Beristighfar, bertaubat dan melupakan serta mengelupas satu per satu hijab atau karakter atau sosok kejiwaan yang tidak baik itu kemudian fokus pada jiwa sejati yang asli terbentuk saat pertama kali ruhNya ditiupkan dalam jazad, sehingga semoga di batas akhir ruang dan waktu yang tersedia nanti termasuk yang dipanggil dengan "Yaa Ayyatuhan Nafsul Mutmainnah, Irji'ii Ilaa Rabbiki Radhiyatan Mardhiyah, Fadkhulii fii Ibadii Wadkhulii Jannatii."

--------------------

amit-amit jabang bayi

Jadi masalah utamanya adalah bagaimana menjaga layar perasaan dan layar pikiran tetap netral tanpa menilai, tanpa berprasangka dan tanpa menghakimi, siapa pun dan dalam situasi yang bagaimana pun juga, sehingga jiwa tetap tenang dalam keheningan kesadaran bersama Gusti Allah, sehingga hati sebagai ruang untuk cahaya tetap meluas dan terang, sehingga dalam hati yang terang tersebut iman dapat menetap, sehingga dunia sebagai lading akhirat bisa terlalui dengan selamat dan berbuah selamat juga di akhirat kelak, sehingga pula rahmatnya Gusti Allah yang diterima selalu dapat ditransformasikan menjadi berkah bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin) dan memperindah keindahan semesta (hamemayu hayuning bawono).

Maka ucapan “amit-amit jabang bayi” adalah sebuah upaya dari manusia Jawa untuk memutus atau menghentikan penilaian, menghentikan prasangka dan meniadakan penghakiman saat melihat atau mendengar (mengindera) segala hal yang tidak baik agar tak terekam di layar “perasaan saya” atau pun layar “pikiran saya”. “Saya” sang “jabang bayi”, jiwa yang sejati.

Ucapan itu terutama ditujukan bagi para suami dan isteri yang isterinya sedang hamil, agar sang bayi dalam kandungan tidak merekam apa yang diindera oleh orang tuanya agar tak mewujud nyata dalam dirinya saat dilahirkan nanti. Sebuah kalimat pengingat bagi para orang tua untuk menjaga kesadarannya agar waspada pula menjaga kesadaran bayi yang ada di kandungan sang istri agar tetap fitrah.

Hanya saja selama ini yang saya amati terutama diri saya sendiri adalah bahwa hal itu terhenti setelah kelahiran sang bayi, seolah setelah kelahiran itu bebas untuk kembali menilai, menghakimi dan berprasangka. Lalai pula untuk melatih anak-anaknya agar belajar mengendalikan segala hal di dalam dirinya yang “bukan saya”.

--------------------

Semoga Panjenengan semua dimampukan untuk dalam ber-apa saja selalu meniatkan memohon kepada Gusti Allah agar dianugerahi hati yang terang, iman yang tetap, dunia-akhirat yang selamat dan apa pun yang menjadi berkah dan manfaat dunia-akhirat sehingga selalu éling lan waspodo, iman dan taqwa, menjadikan Gusti Allah sebagai penimbang utama dalam setiap keputusan dalam hidup ini karena hakikinya setiap kita adalah abdinya Gusti yang harus mengabdi padaNya yang salah satunya adalah dengan melayani makhlukNya dengan cara menyerap rahmat untuk menjadi berkat bagi semesta. Semoga pula Panjenengan semua lebur dalam cahaya cintaNya dan bukan terpaksa dilebur dalam api adzabNya untuk melepas dan mengelupas hijab yang terlalu tebal berlapis. Saya nunut.


Share this article :
Comments
2 Comments

2 komentar:

  1. Masya Allah...semoga Panjenengan selalu berbahagia dunia akhirat🤲

    Matur sembah nuwun🙏🙏

    ReplyDelete

IG
@bagusherwindro

Facebook
https://web.facebook.com/masden.bagus

Fanspage
https://web.facebook.com/BAGUSherwindro

Telegram
@BAGUSherwindro

TelegramChannel
@denBAGUSotre

 
Support : den BAGUS | BAGUS Otre | BAGUS Waelah
Copyright © 2013. den Bagus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger