Kalau Panjenengan
membaca judul tulisan ini yaitu “amit” maka apa yang Panjenengan pikirkan ?
Tentu Panjenengan akan mencocokkan dengan referensi yang sudah tersimpan dalam
memory Panjenengan tentang kata “amit” itu. Dari bahasa apa, dalam konteks yang
bagaimana kata tersebut dipergunakan atau mungkin juga Panjenengan akan mencari
padanan katanya atau mungkin terbetik di pikiran tentang hal-hal lain yang
terkait paut dengan kata tersebut. Namun apa pun itu ya… cukup dipikirkan saja,
gak usah sampai mencari saya untuk menyampaikan hasil pemikiran Panjenengan.
Terus terang males banget saya :P.
Padahal sebenarnya
judulnya bukan hanya itu saja melainkan adalah “amit-amit”, tetapi sebenarnya
juga bukan itu juga tetapi lengkapnya adalah “amit-amit jabang
bayi”.
Pernah dengar kalimat
itu ?
--------------------
Seperti biasanya,
saat saya berusaha niténi (mengamati /
mencermati / menelusuri) diri saya sendiri khususnya tentang pikiran dan
perasaan saya dalam interaksi apa pun antara saya dengan orang lain atau dalam
hal saya merespon sebuah siniasi
(kalau Panjenengan situ jadinya situasi, lha saya kan di sini ya siniasilah…),
maka saya menemukan sebuah pola yang terus berulang.
Setiap indera saya
menangkap peristiwa, setiap itu pula pikiran saya berolah logika dengan dualitas
semunya, yaitu antara untung dan rugi, antara menang dan kalah, antara enak dan
tidak, antara benar dan salah, antara aku dan dia atau mereka dan seterusnya.
Perasaan pun melahirkan prasangkanya. Meski yang diindera hanyalah permukaannya
saja tanpa tahu kedalamannya atau walau yang diindera masih satu sudut saja
tanpa tahu luasannya atau kendati yang diindera adalah salah satu sisinya saja
tanpa tahu keseluruhan ruangnya, selalu saja prasangka itu ada, itu pun
didominasi oleh prasangka yang tidak baik. Itulah polanya. Ternyata pola itu
juga banyak saya temui pada orang lain dan mungkin Panjengan juga sama
?
Lihat kastamer dengan
mimik wajah tertentu, langsung kepikiran kalau itu adalah kastamer yang ruwet
dan yang terjadi ruwet betulan. Disalip orang di jalan sudah menilai orang
tersebut gak punya aturan. Dengar cerita tentang seseorang, langsung menilai
orang tersebut begitu begini. Baca judul berita di media online yang bombastis
sudah langsung bereaksi dengan dukungan atau hujatan dan sibuk ngeshare ke sana
sini tanpa mau menelusuri kebenarannya, apalagi saat ini jamannya media online
abal-abal yang kerjaannya memang menebar fitnah dan menabur kebencian. Lihat
kesuksesan seseorang langsung saja mencari sisi negatifnya. Diajak mempelajari
hal-hal baru yang bermanfaat langsung bereaksi negatif,
skeptis.
Banyak manusia
termasuk saya terlalu sering berprasangka yang tidak baik, terlalu banyak
menilai menurut sudut pandang sendiri dengan penilaian yang tidak baik pula dan
terlalu cepat menghakimi secara sempit segala sesuatu seolah-olah diri sendiri
inilah yang paling mengetahui dan mengerti segala sudut, sisi, luas dan
dalamnya.
Kalau prasangkanya,
bila penilaiannya dan jika penghakimannya adalah sesuatu yang positif dan
obyektif tidaklah menimbulkan masalah, namun bila sebaliknya maka itulah yang
merupakan salah satu penyebab awal timbulnya masalah yang akan terus berulang
dalam kehidupan kita.
Kok bisa
?
Apakah ada pada
segala sesuatu atau di semua hal atau dalam seluruh peristiwa yang terlepas dari
peran sertanya Gusti Allah, dalam arti Gusti Allah tidak tahu tentang itu dan
tidak menskenariokan seperti itu ? Tentunya tidak bukan ? Kalau sampai sedetik
saja perjalanan waktu ini tidak atas skenario dari Gusti Allah, berarti Gusti
Allah punya tandingan dan itu tidak mungkin, begitu hakikatnya. Sebagaimana
wayang yang tidak mungkin membuat lakon sendiri dan tidak mungkin juga bergerak
sendiri tanpa dimainkan oleh sang dalang, maka seperti itu pulalah perjalanan
semesta ini sejak diciptakannya olehNya. Maka kebiasaan untuk selalu
berprasangka, menilai dan menghakimi yang tidak baik merupakan suatu tindakan
yang mungkin bisa dikategorikan menantang dan menghujat
Tuhan.
Tanpa mau mencari
hikmah dari segala peristiwa, pada
seluruh kejadian dan dalam semua fenomena yang sebenarnya keseluruhan itu adalah
ciptaanNya, maka manusia hanya akan tersiksa dan sengsara oleh prasangkanya
sendiri, oleh penilaiannya sendiri dan oleh justifikasi yang dibuatnya sendiri.
Dia akan sampai pada kesimpulan bahwa dirinya adalah korban, korban keadaan,
korban situasi dan kondisi yang melingkupinya dengan menyalahkan semua pihak di
luar dirinya. Dia mungkin juga berksimpulan bahwa ada ciptaanNya yang sia-sia.
Bisa jadi Tuhan disalahkan olehnya. Padahal sebagaimana yang diinformasikan
olehNya sendiri bahwa jika dan hanya jika kita manusia mau mencari hikmah,
belajar tahu, mengerti dan memahami apa sih maunya Gusti Allah, sungguh pada
akhirnya kita akan sampai pada satu kesimpulan bahwa tak ada yang sia-sia pada
segala ciptaanNya.
Semesta ini sejak
awal penciptaanNya hakikatnya adalah proyeksi dari “mau”nya DIA, Gusti Allah.
PengaturanNya begitu sempurna, kita manusia sebenarnya tinggal menerima kasih,
namun sayangnya sangat sering terlupa untuk berterima kasih. Bagaimana tidak
terlupa kalau memang tak ada kesadaran untuk memahami mauNya, padahal segala
rahasia sudah terpaparkan di depan mata baik yang tersurat maupun yang
tersirat.
WYSIWYG
Dulu di kisaran tahun
1992, saat software yang umum dipakai
masih “Lotus 123” untuk
spreadsheetnya dan “Word Star” atau “Chi Writer” untuk word proccessornya, saya sudah memakai
software “Quatro Pro” untuk
spreadsheet dan “Word Perfect” untuk word processor di mana kedua software
tersebut termasuk generasi pertama yang menggunakan sistem WYSIWYG alias what you see is what you get, dalam arti
bahwa yang terlihat di layar atau monitor adalah sebagaimana nanti yang
diperoleh saat dicetak.
Lha sistem itu,
WYSIWYG, menurut saya merupakan analogi dalam memahami sunatullah bahwa apa yang
kita lihat di layar pikiran kita atau pun pada layar perasaan kita, maka itulah
yang akan kita dapatkan mewujud pada layar kenyataan kita. Bukankah Gusti Allah
juga sudah menginformasikan bahwa DIA sesuai persangkaan kita manusia, hambanya,
terhadapNya. Kalau pikiran kita tidak bagus dan kalau perasaan kita juga tidak
baik, maka itulah yang akan dibuktikan olehNya pada kita.
PembuktianNya adalah
merupakan balasan dari kebaikan atau keburukan kita masing-masing meski sekecil
dzarrah dan itu semua adalah untuk diri kita sendiri
masing-masing.
Seluruh wujud makhluk
selalu tersusun dari frekuensi, energi dan materi. Dzarrah masuk dalam wilayah
frekuensi, merupakan bagian terkecil dari materi yang dalam ilmu fisika kuantum
bagian terkecil itu adalah quark atom yang perwujudannya hanyalah berupa
gelombang-gelombang, wave. Itulah
vibrasi. Bukankah prasangka atau persangkaan atau penilaian juga merupakan
vibrasi, sebab belum wujud menjadi energi atau pun wujud dalam tingkat yang
paling kasar sebagai materi ? Dia adalah getaran yang memancar dari pikiran dan
perasaan manusia. Maka prasangka atau persangkaan atau penilaian kita itulah
yang akan dan pasti mendapat balasan untuk diri kita masing-masing. Baik yang
kita sangkakan baik pula yang kita dapatkan, sebaliknya buruk yang kita
sangkakan buruk pula yang kita peroleh.
Kebiasaan berpikir
yang tidak baik dan biasanya selalu bergandengan dengan berperasaan yang tidak
baik pula, bila dibiarkan secara terus menerus akan membentuk karakter kejiwaan
seseorang. Maka di masa depannya seseorang ini pasti akan menghadapi banyak
problematika kehidupan, saat dia terlalu banyak menimbun karaktrer kejiwaan yang
tidak baik dalam dirinya. Selain akan sulit mengendalikan semua karakter
kejiwaan itu, juga akan menghambat dirinya untuk kembali kepada Tuhannya, sebab
semua karakter kejiwaan yang tidak baik itu akan menjadi hijab
baginya.
Prasangka / penilaian
/ penghakiman adalah proses memberikan perhatian terhadap sesuatu (atensi) yang
menyebabkan keterhubungan dengan sesuatu tersebut (koneksi) yang kemudian
diperbesar intensitasnya oleh hal-hal yang bersifat sama frekuensinya
(resonansi) dan kemudian pada akhirnya akan dipantulkan lagi atau kembali kepada
dia yang berprasangka / menilai / menghakimi tersebut
(refleksi).
Yang sering terjadi,
di antaranya :
Karena menganggap
orang lain merugikan kepentingan dan pamrih pribadi kita, maka kita pun
kehilangan kendali diri dan menjadi marah. Berulang-ulang dan berkali-kali
menjadi karakter sehingga kita mempunyai sosok kejiwaan yang pemarah yang
akhirnya kita akan mendapatkan situasi-situasi yang selalu memancing
kemarahan.
Karena menganggap
hidup ini berat dan sulit, maka kita pun kehilangan kendali diri, ke mana-mana
curhatnya seperti orang yang paling susah sedunia. Berulang-ulang dan
berkali-kali menjadi karakter sehingga kita mempunyai sosok kejiwaan pengeluh
dan tak bersyukur yang akhirnya kita pun akan terus menerus masuk dalam situasi
dan kondisi yang sulit dan rumit.
Karena menganggap
diri kita sendiri tak berharga dan takut tak dihargai oleh orang lain, maka kita
pun kehilangan kendali diri mengada-adakan yang tidak ada bagaimana pun caranya,
berpura-pura dengan mencitrakan diri karena takut dan malu akan bayangan
penilaian orang lain. Berulang-ulang dan berkali-kali menjadi karakter sehingga
kita mempunyai sosok kejiwaan yang gengsi yang pada akhirnya kita akan
mendapatkan suatu situasi di mana orang lain akan benar-benar merendahkan kita
karena kepura-puraan dan pencitraan diri kita sendiri terkuak
kedoknya.
Karena menganggap
semua orang kaya itu sombong dan semaunya sendiri, maka kita pun kehilangan
kendali diri dan menjadi benci pada orang kaya. Berulang-ulang dan berkali-kali
menjadi karakter sehingga kita mempunyai sosok kejiwaan yang tidak mau kaya dan
akhirnya selalu berhadapan dengan situasi yang serba kekurangan atau pas-pasan
saja.
Karakter
Kolaborasi antara
perasaan dan pikiran akan terekspresikan dalam tindakan. Tindakan yang berulang
membentuk kebiasaan dan kebiasaan membentuk karakter. Karakter itu akhlak, sosok
kejiwaan kita. Manusia Jawa menyebutnya sebagai pakarti. Kalau cara agama
memperbandingkan dengan menyebutnya akhlak mulia sebagai kebalikan dari akhlak
tercela, kalau cara budaya menyebutnya dengan pakarti luhur yaitu pakartinya para satriyo / ksatria sebagai kebalikan dari
pakartinya para buto / raksasa. Kalau
di dunia pemberdayaan diri saat ini menyebutnya sebagai power / menggerakkan yang merupakan
kebalikan dari force /
memaksa.
Apa yang kita
tuliskan pada layar pikiran dan apa yang kita gambarkan pada layar perasaan kita
saat merespon suatu situasi yang sedang melingkupi kita, itulah wajah jiwa kita,
itulah wajah akhlak kita. Sebuah situasi kita respon dengan menyangkanya atau
menilainya dengan bersyukur atau malah mengkufurinya, dengan memuji atau
mencelanya, dengan gembira ataukah mengeluh itulah yang menggambarkan akhlak
kita, karakter kita, jiwa kita yang menentukan nasib kita dalam kehidupan yang
kita lalui.
Nur
Nar
Masalahnya adalah
kenapa akhlak yang tercela tak juga kunjung sirna dari dada, sedang akhlak yang
mulia pun tak juga menjadi raja meski waktu sedemikian cepat berlalu yang nanti
di akhir waktu hanya tinggalkan sesal yang menusuk kalbu ?
Jawabnya adalah
karena, sebab pertanyaannya adalah mengapa he… he… he…
Gusti Allah itu
cahaya maha cahaya yang mencahayai semesta ciptaannya. Ruh kita adalah ruh
milikNya, bagian dari cahayaNya. Para malaikat juga bagian dari cahayaNya,
termasuk Iblis yang pada mulanya adalah seniornya para malaikat yang karena
pembangkangannya itulah, saat dia merasa lebih mulia dari Kanjeng Nabi Adam yang
jazadnya terbuat dari tanah, maka Iblis tidak lagi sepenuhnya nur, cahaya, namun
turun derajadnya menjadi nar, api. Iblis pun meminta tangguh hingga kiamat dan
bersumpah akan mereaksi apinya manusia anak cucu Kanjeng Nabi Adam dengan apinya
dan Gusti Allah pun mempersilahkan sebab manusia meskipun di dalam dirinya ada
nafsu yang berunsur api tetapi manusia juga telah telah dibekali oleh Gusti
Allah dengan akal sebagai pembeda antara kebaikan dan
keburukan.
Cahaya itu tak bisa
direaksi dalam arti diperbesar atau pun diperkecil, yang bisa dilakukan pada
cahaya adalah memberikan ruang untuk memendarkan kilaunya ke segala arah. Ibarat
lampu 13 watt, dia tetaplah 13 watt namun dia bisa menerangi satu ruangan atau
bisa juga hanya menerangi seluas laci kalau memang dia dinyalakan di dalam laci
yang tertutup.
Namun api tidaklah
demikian. Api tetap memendarkan cahaya namun dia sangat mungkin untuk direaksi,
diperbesar ataukah dikendalikan nyalanya. Api yang membakar sehelai kertas,
sangat mungkin direaksi dengan menyiram bensin kepadanya hingga membesar dan
membakar sebuah ruangan, sebuah rumah, sebuah desa, sebuah kota, sebuah negeri
dan seterusnya bila tak segera dikendalikan.
Dalam diri manusia
pun juga ada unsur apinya yaitu nafsu. Nafsu inilah yang akan terus menerus
diberi aksi oleh apinya iblis melalui bala tentaranya agar bereaksi dan terus
membesar mengalahkan akal dan menutupi cahaya ruh dalam diri kita. Akal terus
menerus digoda dan ditipu daya agar selalu beralibi di balik kata “manusiawi”
untuk membenarkan segala tindakannya. Hati akan terus menerus dihembusi bisikan
untuk memenangkan hasrat nafsu dan bukannya hasrat ruh.
Nah berarti tinggal
manusianya itu sendiri yang menentukan seberapa luas ruang yang diberikannya
pada cahaya dalam dirinya dengan cara mengendalikan nyala api dalam kadar yang
secukupnya saja hingga muncullah akhlaknya yang mulia ataukah sebaliknya,
memperbesar nyala apinya dengan mempersempit ruang cahaya sampai meredup hingga
akhlak tercelalah yang muncul ? Api tetap diperlukan namun harus dikendalikan,
ibarat menanak nasi, kalau apinya terlalu besar nasinya gosong, kalau terlalu
kecil nasinya akan menjadi bubur. Maka kata kuncinya adalah
pengendalian.
Pengendalianlah yang
bisa menjaga nur tetaplah nur, cahaya tetaplah cahaya, agar tak sampai turun
derajadnya menjadi api, nar.
Hakikat penciptaan
manusia adalah mengabdi padaNya secara terus menerus hingga mengenalNya dengan
sebenar-benarnya, haqul yaqin. Nah, tiba-tiba saya tergerak untuk sholat dhuha,
berarti saya sedang menyerap cahayaNya. Mestinya saya harus tetap sadar dan
menyadari untuk berada dalam koridor pengabdian padaNya agar nur yang saya serap
tetaplah menjadi nur, namun saat saya lengah dan kehilangan kewaspadaan yang
kemudian nafsu mengambil alih dominasinya dengan menggunakan pikiran untuk
menghitung untung rugi seperti dalam berdagang sehingga sholat dhuha saya
termotivasi untuk kelancaran rejeki, kemudian saya beralibi bahwa sholat dhuha
kan memang dijanjikan kelancaran rejeki olehNya, maka sholat dhuha yang saya
lakukan sudah bukan dalam rangka pengabdian padaNya tetapi dalam rangka
pengabdian untuk kepentingan diri saya sendiri dan itu api, nar. Maka lihatlah
bahwa nur belum tentu tetap menjadi nur, tetapi bisa juga menjadi nar, saat tak
ada pengendalian.
Kesadaran
Pengendalian, berarti
ada yang mengendalikan dan ada yang dikendalikan. Masalahnya siapa yang
mengendalikan dan siapa yang dikendalikan.
Sederhananya seperti
ini : saya mempunyai buku maka buku itu bisa dikatakan buku saya. Apakah buku
itu saya ? Bukan. Apakah saya buku ? Juga bukan. Buku saya berarti buku tersebut
adalah bagian dari saya, tetapi saya bukan bagian dari buku itu. Berarti yang
dominan dan superior adalah saya. Saya adalah subyek dan buku adalah obyek. Saya
adalah pengendali dari buku saya.
Kenyataannya tidak
sesederhana saya dan buku, sebab realitanya adalah antara “saya” dan “pikiran
saya”, “perasaan saya”, “nafsu saya”, serta “kejiwaan saya”. Saya bukan pikiran
saya, saya bukan perasaan saya, saya bukan nafsu saya dan saya bukan kejiwaan
saya.
Mestinya “saya” yang
mengendalikan “pikiran saya”, namun sayalah yang sering dikendalikan oleh
pikiran saya. “Saya” yang seharusnya mengendalikan “nafsu saya”, tetapi sayalah
yang sering dikendalikan oleh nafsu saya. Begitu pun dengan perasaan dan
kejiwaan saya. Saya kira orang lain pun juga mengalami hal serupa, kecuali
Panjenengan. Panjenengan saya yakin tidak. Tidak berbeda maksudnya… he… he…
he…
Misalnya begini, saya
marah besar pada anak saya dan saya pun memarahi dia, namun setelahnya timbul
penyesalan dalam diri saya tentang kemarahan itu. Saya merasa menyesal, berarti
sewaktu marah tadi “saya” di mana ? Berarti juga, yang marah tadi siapa ? Itu
artinya “saya” kehilangan kendali atas diri saya sendiri dan itu karena saya
tidak sadar. “Saya” tidak mempunyai kesadaran tentang “saya” yang seharusnya
menjadi subyek, si pengendali.
Saat nafsu, pikiran,
perasaan dan kejiwaan saya yang mengendalikan “saya”, sebenarnya saya tetap ada
namun tak berkuasa sebab saya tak menjaga kesadaran “saya” (cahaya) dan tak
mewaspadai gerak-gerik yang “bukan saya” (api) sehingga terjadilah kudeta itu.
Jadi bagaimana pun juga dalam kalau sampai timbul masalah yang salah adalah
“saya”, bukan yang lain apalagi syetan yang sering jadi kambing
hitam.
Nur ~ cahaya adalah
pengabdian kepadaNya dengan meleburkan
eksistensi diri dalam eksistensiNya, sedangkan nar ~ api adalah pengabdian pada
diri sendiri dengan memperkuat eksistensi diri sendiri.
Maka dari dulu
manusia Jawa terus menerus mengingatkan untuk menjaga kesadaran “saya” (cahaya)
dan mewaspadai yang “bukan saya” (api) dalam ungkapan yang sederhana namun tak
sesederhana itu dalam prakteknya, yaitu éling lan waspodo.
Éling itu sadar
sesadar-sadarnya, yaitu bagaimana “saya” menyadari dengan sadar bekerjanya seluruh
perasaan saya, pikiran saya, nafsu saya, kejiwaan saya, ucapan saya dan tindakan
saya, dalam keseluruhan peristiwa di setiap detik kehidupan “saya” dan tentu
saja yang pertama dan utama adalah dalam keterhubungan diri “saya” sebagai abdi
dengan Allah sebagai Gusti. Éling itu saat
bersemayamnya iman di dalam dada, saat seorang manusia mengamankan dirinya dari
hal-hal yang tidak diridhoi Gusti Allah dan juga saat seorang manusia
mengamankan dirinya dari segala perbuatan yang tidak mengamankan harkat,
martabat, jiwa dan harta manusia lainnya serta seluruh semesta. Maka dalam
kesadaran, dalam keimanan tidak akan ada penyesalan.
Sedangkan waspodo adalah kewaspadaan terhadap
pengambilalihan kesadaran “saya” oleh yang bukan saya, yaitu mungkin oleh
perasaan saya, pikiran saya, kejiwaan saya atau oleh nafsu saya. Waspodo itu saat kesadaran seorang
manusia menjadikan Gusti Allah sebagai penimbang utama dalam seluruh
keputusan-keputusan hidupnya. Itulah taqwa, selalu mempertanyakan pada dirinya
sendiri kira-kira Gusti Allah itu ridho ataukah tidak ya atas aktivitas
perasaan, pikiran, nafsu, tindakan, kebiasaan dan karakternya. Waspada agar
“saya” tetap sadar. Kalau yang bukan saya yang mengambil alih atau
mengendalikan, hal itulah yang disebut kelalaian dan kelalaian selalu saja
berbuah penyesalan. Penyesalan itu sendiri selalu di akhir, saat segalanya sudah
terjadi dan tak mungkin diulang kembali.
Nah, salah satu upaya
untuk menjaga kesadaran “saya” (cahaya) adalah berusaha terus menerus menyadari
bahwa diri kita bernafas sebab nafas adalah penanda kehidupan. Menyadari nafas
berarti menyadari kehidupan. Menyadari kehidupan berarti juga menyadari ruh yang
ada dalam diri kita dan seharusnya juga adalah menyadari pencipta kehidupan,
karena ruh kita (cahaya) adalah ruh milikNya (Sang Maha Cahaya). Maka, selain
menyadari “saya” (cahaya) dengan menyadari nafas, juga harus menyadari DIA, Sang
Maha Cahaya, Gusti Allah, dengan berkekalan dalam dzikir. Dzikir yang
sebanyak-banyaknya di semua tempat, di segala kondisi dan di seluruh waktu.
Semoga dengan demikian, kesadaran “saya” menyatu dalam kesadaran “Allah”,
sehingga tak sempat lagi menilai, tak lagi berhasrat menghakimi dan tak bisa
lagi berprasangka yang tidak baik, karena ke mana pun menghadap yang terlihat
adalah wajah Allah, selalu berhikmah dan tak ada yang
sia-sia.
Hijab
Jiwa
Sebagaimana yang saya
sampaikan sebelumnya bahwa kolaborasi antara perasaan dan pikiran akan
terekspresikan dalam tindakan. Tindakan yang berulang membentuk kebiasaan dan
kebiasaan membentuk karakter. Karakter itu akhlak, sosok kejiwaan kita. Kalau
baik tidaklah menjadi masalah, namun jika tidak baik maka itulah masalah kita
sebab karakter atau sosok kejiwaan yang tidak baik itu akan menjadi hijab atau
penghalang antara kita dengan Gusti Allah. Duhai… sudah berapa banyak atau
bahkan sudah berapa ribu hijab yang kita buat-buat
sendiri.
Salah satu misi
diutusnya Kanjeng Nabi Muhammad adalah untuk memperbaiki akhlak, maka berarti
itulah yang harus kita lakukan terus menerus.
Selalu memaknai
setiap detik kehidupan dengan makna yang baik, berhenti berprasangka / menilai /
menghakimi siapa atau apa pun juga dengan makna yang tidak baik agar tak
tercipta lagi karakter atau sosok kejiwaan yang tidak baik yang hanya akan
mempertebal hijab.
Berarti “saya” juga
harus menjadi panglima dalam “diri saya” sendiri, menguasai kesadaran “saya”
untuk menghentikan atau mentransformasikan karakter atau sosok kejiwaan yang
tidak baik menjadi baik, dari akhlak yang masih tercela menjadi akhlak yang
mulia. Beristighfar, bertaubat dan melupakan serta mengelupas satu per satu
hijab atau karakter atau sosok kejiwaan yang tidak baik itu kemudian fokus pada
jiwa sejati yang asli terbentuk saat pertama kali ruhNya ditiupkan dalam jazad,
sehingga semoga di batas akhir ruang dan waktu yang tersedia nanti termasuk yang
dipanggil dengan "Yaa Ayyatuhan Nafsul
Mutmainnah, Irji'ii Ilaa Rabbiki Radhiyatan Mardhiyah, Fadkhulii fii Ibadii
Wadkhulii Jannatii."
--------------------
amit-amit jabang
bayi
Jadi masalah utamanya
adalah bagaimana menjaga layar perasaan dan layar pikiran tetap netral tanpa
menilai, tanpa berprasangka dan tanpa menghakimi, siapa pun dan dalam situasi
yang bagaimana pun juga, sehingga jiwa tetap tenang dalam keheningan kesadaran
bersama Gusti Allah, sehingga hati sebagai ruang untuk cahaya tetap meluas dan
terang, sehingga dalam hati yang terang tersebut iman dapat menetap, sehingga
dunia sebagai lading akhirat bisa terlalui dengan selamat dan berbuah selamat
juga di akhirat kelak, sehingga pula rahmatnya Gusti Allah yang diterima selalu
dapat ditransformasikan menjadi berkah bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin) dan memperindah
keindahan semesta (hamemayu hayuning
bawono).
Maka ucapan “amit-amit jabang bayi” adalah sebuah
upaya dari manusia Jawa untuk memutus atau
menghentikan penilaian, menghentikan prasangka dan meniadakan
penghakiman saat melihat atau mendengar (mengindera) segala hal yang tidak baik
agar tak terekam di layar “perasaan saya” atau pun layar “pikiran saya”. “Saya”
sang “jabang bayi”, jiwa yang sejati.
Ucapan itu terutama
ditujukan bagi para suami dan isteri yang isterinya sedang hamil, agar sang bayi
dalam kandungan tidak merekam apa yang diindera oleh orang tuanya agar tak
mewujud nyata dalam dirinya saat dilahirkan nanti. Sebuah kalimat pengingat bagi
para orang tua untuk menjaga kesadarannya agar waspada pula menjaga kesadaran
bayi yang ada di kandungan sang istri agar tetap fitrah.
Hanya saja selama ini
yang saya amati terutama diri saya sendiri adalah bahwa hal itu terhenti setelah
kelahiran sang bayi, seolah setelah kelahiran itu bebas untuk kembali menilai,
menghakimi dan berprasangka. Lalai pula untuk melatih anak-anaknya agar belajar
mengendalikan segala hal di dalam dirinya yang “bukan
saya”.
--------------------
Semoga Panjenengan semua
dimampukan untuk dalam ber-apa saja selalu meniatkan memohon kepada Gusti Allah
agar dianugerahi hati yang terang, iman yang tetap, dunia-akhirat yang selamat
dan apa pun yang menjadi berkah dan manfaat dunia-akhirat sehingga selalu éling lan waspodo, iman dan taqwa,
menjadikan Gusti Allah sebagai penimbang utama dalam setiap keputusan dalam
hidup ini karena hakikinya setiap kita adalah abdinya Gusti yang harus mengabdi
padaNya yang salah satunya adalah dengan melayani makhlukNya dengan cara
menyerap rahmat untuk menjadi berkat bagi semesta. Semoga pula Panjenengan semua lebur
dalam cahaya cintaNya dan bukan terpaksa dilebur dalam api adzabNya untuk
melepas dan mengelupas hijab yang terlalu tebal berlapis. Saya nunut.
Masya Allah...semoga Panjenengan selalu berbahagia dunia akhirat🤲
ReplyDeleteMatur sembah nuwun🙏🙏
Aamiin... sak kosok wangsul kagem Panjenengan.
Delete