Manunggal

Written By BAGUS herwindro on Feb 12, 2017 | February 12, 2017

Ojo moyok, mundak nemplok” --- “Ojo geting mundak nyanding” --- “Ojo cidro mundak ciloko

Selalu saja takjub saat dihadapkan pada ujaran-ujaran singkat dari khasanah kearifan Jawa. Bagaimana tidak, bagi saya ujaran-ujaran singkat tersebut adalah buah dari suatu laku mengejawantahkan ayat-ayatnya Gusti Allah, baik yang tersurat maupun yang tersirat, dalam kehidupan nyata.

Buahnya berupa kesimpulan dalam kalimat singkat sarat makna, tentu saja hanya bagi mereka yang bersedia mengilmuinya.

Saya sendiri termasuk awam dalam hal agama, namun saat saya menemukan ujaran-ujaran yang tidak hanya bermuatan filosofis namun juga selalu bernuansa teologis tersebut, saya lebih mudah dalam memahami agama dalam tataran praktis dan bukan hanya secara teori saja.

Seperti kutipan saya di atas :

Ojo moyok, mundak nemplok” --- “Jangan mencela, agar tak mengalami hal yang sama”

Ojo geting mundak nyanding” --- “Jangan membenci, agar tak bersanding dengan yang engkau benci”

 Ojo cidro mundak ciloko” --- “Jangan melukai, agar tak celaka”

Lha semua itu kan bicara masalah Tuhan, kesadaran, pengendalian diri dan kesetimbangan semesta ciptaanNya.

~ Tuhan, kesadaran dan pengendalian diri

Kalau misalnya saya sampai mencela, membenci atau pun melukai, saya pikir itu berasal dan berawal dari suatu kondisi internal dalam diri saya yang pastinya sangat tidak nyaman yang biasanya karena saya merasa dirugikan, kepentingan saya terganggu atau pun karena saya merasa tidak dihargai. Karena merasa tidak nyaman itulah kemudian saya menutupinya dengan marah dan terekspresikan dalam prilaku saya, seperti mencela, membenci atau melukai.

Saat saya mencela seseorang, sebenarnyalah bahwa saya sedang meyakinkan diri saya sendiri bahwa saya lebih baik dari dia yang saya cela, sedangkan kenyataannya belumlah tentu seperti itu.

Saat saya membenci pun, sebenarnya bahwa saya sedang meyakinkan diri saya sendiri bahwa saya dalam posisi yang benar dan pantas membenci dia yang sedang saya anggap mempunyai kesalahan atau pun kekurangan pada diri saya.

Bahkan kalau sampai melukai pun, baik secara psikis maupun fisik, itu pun sebenarnya adalah manifestasi dari keinginan saya untuk memuaskan diri saya sendiri, memuaskan nafsu kebuasan saya sendiri, bahwa saya harus menang, bahwa dia harus menderita dan seterusnya.

Lha itu semua apa tidak kurang ajar pada Gusti Allah namanya ?

Siapa yang menciptakan makhluk ? Jawab aja sendiri.
Lalu kalau makhluk itu berbuat sesuatu, bukankah berarti bahwa perbuatan itu juga merupakan ciptaan sang pencipta makhluk ? Jawab sendiri juga.

Bukankah segala pujian hanya untuk Gusti Allah ? Lalu ke mana larinya semua celaan, kalau tidak ke Gusti Allah juga ? Kalau semua celaan tak juga kembali kepada Gusti Allah, berarti DIA punya tandingan dong ?

He… he… he… kalau gak paham gak usah diterusin bacanya… dari pada error nanti.

Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat [QS. 37:96]

Beras itu dari padi. Nasi itu dari beras. Jadi nasi itu juga dari padi.

[Begitu saja... gak usah ruwet-ruwet, meskipun sebenarnya bisa juga dibahas dengan agak lebih ruwet dengan ngomong masalah takdir, syariat dan hakikat, biasanya menyinggung juga masalah jabariyah, qodariyah dan ahlus sunnah wal jama’ah.]

Nah... ketemu Tuhan to ?

Maka, orang Jawa juga bilang “ngono yo ngono, ning ojo ngono”, harus lentur, segala sesuatu haruslah diilmui, begitu ya begitu namun jangan juga begitu. Sulit menterjemahkan dalam kata-kata dan juga logika, sebab ini masalah rasa.

Rasa inilah yang merupakan jalan untuk mengenalNya. Sebab TUHAN itu takkan pernah dijangkau oleh otak manusia, sebab bagaimana sesuatu yang terbatas dipergunakan untuk memahami dzat yang tiada batas ? Kalau untuk mengenal tanda-tanda-Nya yang terpapar di semesta ciptaanNya cukuplah dengan memakai akal pikiran, sebab memang itu yang diperintahkanNya.

Namun, saat saya hanya menggunakan akal pikiran, maka pengenalan saya tentangNya kering karena sebatas tahu informasi tentangNya, sebab TUHAN hanya sebatas obyek dalam kehidupan saya, bahkan sering saya jadikan obyek penderita. Lha… kurang ajar lagi to… ? Mestinya Gusti Allah itu selalu menjadi subyek kehidupan saya. Sayalah obyeknya yang harus terus menerus berusaha mendekati dan memahami apa yang DIA mau dalam kehidupan saya. Saya disuruh apa ya sama Gusti Allah di setiap detik yang saya lalui, di setiap jengkal bumi yang saya lewati dan di setiap detil peristiwa yang saya alami, saya disuruh ngapain ya ? Kalau saya begini, kira-kira Gusti Allah marah enggak ya ?

Pastinya Gusti Allah gak pernah zhalim, saya sendirilah yang zhalim. Pastinya lagi, Gusti Allah gak pernah sia-sia mencipta segala sesuatu, sayalah yang menyia-nyiakannya dengan berprasangka, menilai dan menghakimi.

TUHAN itu subyek kehidupan saya dan tentunya kita semua, yang tak akan menjadi subyek saat saya serta kita tak mempunyai kesadaran.

Kesadaran #jareku, adalah bagaimana diri kita menyadari dengan sadar seluruh perasaan, pikiran, ucapan  dan tindakan kita dengan menjadikan Tuhan  sebagai faktor penimbang  pertama dan utama dalam setiap pilihan serta keputusan hidup  kita di segala situasi dan di semua kondisi.

Kesadaran itu, #jareku, adalah “taqwa” dalam bahasa agama atau “eling” dalam bahasa budaya.

Saat saya mengalami fenomena yang menurut saya “tidak mengenakkan” karena “kepentingan saya” terganggu sehingga saya mempunyai kecenderungan mencela, membenci atau pun melukai, mestinya saya kan langsung nyadar, langsung eling dan berpikir serta berprasangka bahwa siapa tahu Gusti Allah memang baru memposisikan tingkat kesadarannya dia sebatas itu. Atau bisa jadi dia atau mereka sedang dikirim oleh Gusti Allah untuk melatih, mendidik dan menempa saya menjadi orang yang bijaksana, sabar dan menyamudera jiwanya.

Atau semestinya bisa juga saya memaknainya sebagai panggung sandiwara dunia, dalam arti saya, dia dan mereka sedang menjalankan naskah cerita sesuai peran masing-masing.

Jadi marah ya marah tapi sekedarnya saja, lha wong cuman baca skrip naskah kok. Benci ya benci tapi sekedarnya saja, lha wong sedang menerjemahkan skrip cerita kok. Nanti di balik panggung ya guyon lagi, cekakakan lagi, ngopi bareng lagi.

Mestinya seperti itu, tapi kenyataannya ?

Nah... ketemu kesadaran  to ?

Kesadaran berkait erat dengan akhlaq, prilaku. Saat kesadaran rendah, pengendalian diri terhadap perasaan, pikiran dan perbuatan saya juga rendah, akhlaqpun pasti rendah.

Nah... ketemu penegndalian diri to ?

Begitu kira-kira.

~ Tradisi penciptaan, akhlaq semesta

Selalu ada keteraturan dalam setiap penciptaan dan memang demikianlah tradisi penciptaan semesta. Keteraturan itulah yang menjadi akhlaq atau prilaku semesta ciptaanNya. Benda jatuh ke bumi, keterpisahan air dan minyak, pergiliran waktu siang dan malam, tangisan bayi saat lapar, sakit, pipis dan eek dan sebagainya adalah akhlaq semesta atau sering disebut sebagai hukum alam. Padahal itu kan hukum Tuhan ya... ?

Semesta memiliki kesetimbangannya sendiri dalam arti selalu menyeimbangkan dirinya sendiri. Maka apa pun yang sedang terjadi di semesta seperti gempa, gunung meletus, bajir atau apa pun itu yang selalu dipandang manusia sebagai bencana alam, #jareku, adalah upaya semesta untu menyeimbangkan dirinya kembali. Ibarat sebuah komputer yang sedang “hang” karena sistemnya “crash”, maka komputer itu perlu di-reset agar restart dan berjalan normal kembali. Kalau akumulasi kenegatifannya jauh melesat nilainya di atas yang positif, ya disetimbangkan agar kembali seimbang. Pun demikian sebaliknya. Kalau akumulasi kepositifannya jauh di atas yang negatif, ya disetimbangkan dengan muncul berbagai negativitas. Namanya juga dunia, kalau semua negatif berarti selesai ceritanya dunia dengan menyongsong kiamat. Pun demikian kalau positif semua, ya syurga namanya.

Sederhana sekali... ojo kagetan, ojo gumunan, ojo kepinginan... katanya orang Jawa. Yang penting terus menanam kebaikan, nandur winihing pakerti, di manapun dan kapan pun juga, agar nanti yang entah kapan itu, yang diunduh (ngunduh wohing pakarti) adalah kebaikan juga dan bisa jadi yang mengunduh adalah para anak cucu.

Yang jelas, apa pun perasaan saya, seperti apa pun pikiran saya dan bagaimanapun prilaku saya, selalu ada kontribusinya terhadap akumulasi kepositifan atau pun kenegatifan di alam semesta.

Maka sekali lagi seperti kutipan saya di atas :

Ojo moyok, mundak nemplok” --- “Jangan mencela, agar tak mengalami hal yang sama”  |  Ojo geting mundak nyanding” --- “Jangan membenci, agar tak bersanding dengan yang engkau benci”  |   Ojo cidro mundak ciloko” --- “Jangan melukai, agar tak celaka”  |  Dan juga “ngunduh wohing pakarti” --- “download hasil uploadnya sendiri J

Adalah salah satu rumus dasar semesta tentang kesetimbangan yang disampaikan dalam bahasa yang sangat sederhana. Siapa yang menabur akan menuai, siapa yang menanam akan memanen.

Bukankah Gusti Allah sendiri pun sudah menginformasikan bahwa : kebaikan sebesar biji dzarrah akan ada balasannya [QS. 99:7] dan kebaikan itu untuk diri sendiri [QS. 17:7]. Pun demikian kebalikannya bahwa : kejahatan sebesar dzarrah akan ada balasannya [QS. 99:8] dan kejahatan itu untuk diri sendiri [QS. 17:7].

Yang belajar fisika quantum pasti ngerti kesimpulan sementara ini bahwa bagian terkecil dari suatu wujud materi adalah quark atom yang di dalamnya itu 99,9999% adalah kekosongan atau ruang hampa dan yang isi hanyalah 0,0001% saja dan itu pun berupa gelombang atau vibrasi. Itulah level terdalam dan terhalus dari semua wujud materi dan sekaligus terdahsyat ledakan energinya. Zero energy field.

Pada level quantum itulah baru ketahuan bahwa bahan dasar setiap wujud materi adalah sama, ya itu tadi zero energy field. Antara tahu sama tai sama. Antara manusia dengan kambing sama. Bahan dasar wujud materinya lho ya...

Pada level quantum itu pula baru terlihat bahwa seluruh wujud materi adalah terhubung atau merupakan satu kesatuan. Ibaratnya begini... lebih dulu mana adanya anatar udara dan ruang-ruang bangunan ? Tentunya udara, baru kemudian manusia membangun berbagai macam ruang atau bangunan. Nah, saat ruang atau bangunan sudah berdiri, apakah udaranya menjadi terpisah ? Tentu saja tidak. Seperti itulah metafora sederhananya.

Jadi... kowe yo aku, aku yo kowe, sebab kita satu dan menyatu, manunggal atau nyawiji.

Kalau disepadankan pada diri manusia, ruang hampa atau alam vibrasi itu pada level quantum itu terletak pada perasaan. Perasaan adalah sebuah wilayah pada kesadaran manusia yang sangat halus, lembut dan dalam yang mempunyai energi yang sangat luar biasa.

Manusia tidak menjalani kehidupan di pikirannya, namun manusia menjali kehidupannya di dalam perasaannya sendiri. Menyusuri kesedihan, kegembiraan, kebahagiaan, kesunyian, kemarahan dan yang lainnya secara berganti-ganti dan terus menerus sepanjang hidupnya. Perasaan itulah yang mempengaruhi pola pikir dan keputusannya dalam berprilaku.

Maka kebaikan atau pun kejahatan yang paling kecil dan mendasar yaitu sebesar dzarrah tentulah berawal dari perasaan, sebab perasaan adalah wujud persangkaan dari sebuah situasi yang sedang dihadapi. Situasi itu sendiri kalau menurut pemahaman saya adalah skenario ceritaNya. Jadi bukankah perasaan itu persangkaan pada Tuhan ?

Seharusnyalah setiap manusia memahami hal itu, agar senantiasa berhati-hati, tetap eling atau nyadar dalam menjalani anugerah kehidupannya.

Dawai gitar tanpa ruang kosong di body gitar, tidak akan menghasilkan efek suara saat dawai gitar itu di petik dengan suatu nada tertentu. Ruang kosong itulah yang menggetarkan udara sesuai nada petikan dawai dan menggemakannya sehingga berbunyi dan terdengar telinga.

Petikan dawai gitar pada nada tertentu adalah ibarat dari perhatian atau atensi saya terhadap sesuatu. Ruang kosong pada body gitar adalah ibarat semesta ciptaanNya. Saat dawai saya petik, berarti saat saya memberikan perhatian atau atensi terhadap sesuatu dan tentunya saya akan terkoneksi dengan sesuatu tersebut.

Ketika udara ikut bergetar atau beresonansi karena getaran dawai gitar yang saya petik, tentunya tidak hanya satu udara karena udara adalah bentuk jamak. Demikian juga koneksi saya terhadap sesuatu yang saya berikan atensi, pasti juga jamak, dalam arti akan terkoneksi dengan banyak sesuatu yang mempunyai sifat yang sama, digemakan.

Akhirnya gema udara atau resonansi akibat petikan dawa gitar pun terdengar nyaring dan sampai di  telinga saya. Sama seperti koneksi saya terhadap sesuatu juga akan beresonansi dengan sesuatu yang sejenis dan akhirnya direfleksikan kembali ke saya. Sebab saya dan segala sesuatu di luar saya adalah manunggal, selalu terhubung dan menyatu. Berbuat, bersikap, berpikir dan berprasangka keapada siapa pun pada hakikatnya adalah berbuat, bersikap, berpikir dan berprasangka pada diri sendiri dan tentu saja pada Gusti Allah yang selalu mengawali dengan sebab dan mengakhiri dengan akibat yang menjadi sebab bagi akibat yang berikutnya lagi dan demikian seterusnya.

Beratensi pada kebaikan akan merefleksikan kebaikan yang berlipat ganda, pun demikian dengan atensi pada ketidakbaikkan, yang akan merefleksikan ketidakbaikan dengan jumlah yang berlipat pula, dari segi kualitas atau pun kuantitasnya.

Semoga Panjenengan semua dan saya dimampukan untuk menjaga hati agar selalu penuh syukur dan cinta dengan memandang semua peristiwa adalah skenario agungNya sebagai perintah untuk untuk diilmui dan ditemukan hikmahnya, serta agar tak naif dengan memandang diri lebih mulia dari sesama cipataan Gusti Allah yang lain, hingga merasa pantas untuk mencela, membenci, melukai, mezhalimi, memfitnah dan berprilaku dengan akhlaq yang buruk lainnya.

Atensi ~ koneksi ~ resonansi ~ refleksi.

Begitu kira-kira.


---------

BAGUS herwindro, yang sedang tergerakkan menulis lagi setelah hampir setahun vakum.
Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

IG
@bagusherwindro

Facebook
https://web.facebook.com/masden.bagus

Fanspage
https://web.facebook.com/BAGUSherwindro

Telegram
@BAGUSherwindro

TelegramChannel
@denBAGUSotre

 
Support : den BAGUS | BAGUS Otre | BAGUS Waelah
Copyright © 2013. den Bagus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger