SUJUD

Written By BAGUS herwindro on Jan 8, 2016 | January 08, 2016

Sekian tahun yang lalu saat pena takdir masih memposisikan diri saya terdampar di sebuah padepokan, ada satu kalimat wasiat dari ajengan yang menjadi pegangan yaitu : Sesungguhnya di atas SUJUDlah puncak dari segala ilmu Allah SWT, yaitu : SHOLAT.”

Waktu itu pengertiannya bagi saya adalah bahwa Sholat itu mengandung hikmah yang luar biasa bagi keilmuan dalam hal ini adalah berbagai ilmu hikmah yang sedang saya serap dan lakoni. Salah satunya adalah bahwa ilmu hikmah tersebut dapat berjalan dengan prasyarat bahkwa pelakunya harus menjalankan sholat lima waktu. Salah duanya ;P adalah bahwa gerakan sholat itu mengandung rahasia penyerapan dan penyaluran energi metafisik yang luar biasa. Pokoknya begiculah.

Itu dulu.

Nah sekian bulan yang lalu baru saya menemukan pemaknaan baru setelah sekian tahun lepas dari ingatan tentang hal-hal tersebut. Baru kali ini sempat saya tuliskan. Menurut saya ternyata benar bahwa SUJUD itu luar biasa, merupakan puncak dari segala ilmu tentang ALLAH.

Bagaimana pengertiannya ?

Kira-kira begini.

Kalau saya rasa-rasakan, ternyata saya hidup itu di dalam hati saya, melalui waktu, melampaui ruang dan melintasi berbagai jalan yang penuh rasa. Jalan cinta, bahagia, gembira, sedih, kecewa, marah, sabar, syukur, rela, takut, harap, cemas dan juga berbagai rasa yang ada. Semua rasa tersebut silih berganti berusaha mendominasi hati. Saya belum pernah menemukan bahwa rasa bahagia terus menerus mendominasi hati saya. Saya juga belum pernah menemui rasa sedih yang terus menerus bersemayam dalam hati saya. Yang saya temui terlama bertahta dalam hati saya adalah rasa cinta, yaitu saat yang katanya orang sedang jatuh cinta atau jatuh hati sehingga menimbulkan rasa kangen yang luar biasa atau rasa rindu setengah mati. Namun itu pun juga tidak berarti abadi. Coba saja Panjenengan amati, dalam sehari semalam rasa apa saja yang silih berganti unjuk gigi di hati Panjenengan.

Maka, bukankah perjalanan hidup itu adalah menyusuri waktu dari satu rasa ke rasa yang lain secara terus menerus. Manusia merasakan perasaannya secara terus menerus, bukan pikirannya.

Saya kira manusia selalu mencari bahagianya meski tak selalu ia dapatkan dalam dirinya, sebab manusia itu sendiri termasuk saya tak juga memahami tentang bahagia itu sendiri, bahwa bahagia itu apa ? Bahagia menjadi sebuah fatamorgana saat bahagia itu didefinisikan sebagai ini itu dan mencapainya harus begini begitu.

Kalau bahagia itu merupakan sebuah pencapaian, maka pertanyaan berikutnya adalah bahwa setelah itu tercapai lantas bagaimana ? Tetap bahagiakah namanya atau kebahagiaan itu kemudian surut intensitasnya sehingga harus melakukan pencapaian baru untuk bahagia.

Kalau bahagia itu didefiniskan sebagai ini atau itu, maka pertanyaan berikutnya adalah apakah setiap orang juga memiliki definisi yang sama ?

BAHAGIA

Ternyata saya juga amat sangat penasaran pakai bingitz tentang apa sih bahagia itu, maka saya pun mulai menelusuri dalam diri saya.

Pertama, saya cari bahagia itu di badan ragawi saya. Blassss gak ada yang namanya bahagia itu.

Kedua, saya cari bahagia itu di pikiran. Ternyata tak ada, pikiran malah menawarkan berbagai definisi tentang bahagia itu sekaligus berbagai cara untuk mencapai definisi itu sendiri. Pikiran dengan dualitas semunya juga malah memberikan perbandingan tentang bahagia bahwa kalau seperti ini itu bahagia, kalau seperti itu itu tidak bahagia. Aturan dari mana itu ?

Ketiga, saya cari bahagia itu di rasa, ternyata ada banyak rasa yang serupa namun mempunyai intensitasnya berbeda-beda sehingga harus saya telusuri lagi jauh lebih ke dalam. Saya temui ada gembira di sana, ada juga tenang, tenteram, syukur dan tentu saja bahagia itu sendiri.

Keempat, saya cari bahagia dengan meng-off-kan pertama, kedua dan ketiga tadi, namun nanti saja saya uraikan di bagian akhir. Sekarang kembali dulu ke yang ketiga.

Pernah suatu saat mengalami situasi di mana perasaan saya sangat tidak nyaman, bisa jadi karena khawatir atau marah atau sedih, pokoknya sumpek. Saya pun mencoba mengalihkannya dengan mencari hiburan di luar sana dalam bentuk apa saja, seperti misalnya nongkrong sama teman di luar sana ngobrol ngalor ngidul ke mana-mana. Sumpeknya jadi hilang karena teralihkan, namu apa saya menemui kebahagiaan ? Ternyata tidak, yang saya dapatkan hanya sebatas bergembira, intensitasnya masih rendah. Berulang-ulang saya alami, sehingga saya simpulkan, jareku, bahwa kalau mencarinya di luar diri saya itu bukan bahagia namanya namun sekedar gembira dan gembira tidak ada hubungannya dengan makna atau nilai-nilai yang mendasar dalam kehidupan kita. Dengan dugem pun saya bisa menjumpai kegembiraan itu, sekedar gembira namun bukan kebahagiaan, sebab habis dugem ya sumpek lagi.

Kebetulan saya belum jadi orang yang merdeka, maksudnya adalah saya masih kerja ikut orang jadi ada jadual gajian yang tetap, maka kalau habis gajian senang rasanya dan hati terasa tenang. Apakah itu yang namanya bahagia ? Saya kira bukan, karena senangnya ya saat  terima gaji itu saja dan tenangnya karena masih pegang cukup uang. Kalau uang mulai menipis, apakah iya saya masih bisa senang dan tenang ?

Pernah ada suatau tugas apa pun itu, saat saya telah bisa dengan tuntas merampungkannya, tenteramlah hati saya. Sama seperti saat hutang sudah terlunaskan, hatipun terasa tenteram.

Di semua momen yang saya sebutkan di atas sebagai contoh, saya kira juga ada bahagianya yang mungkin dalam intensitas rasa yang ala kadarnya dan itupun hanya sesaat saja.

Tetapi ya entahlah, masing-masing kita saya kira mempunyai pemaknaan yang berlainan tentang bahagia itu sendiri. Bagi saya, melihat wajah damai anak-anak saya saat mereka tidur, itu sudah merupakan sebuah kebahagian bagi saya meskipun berikutnya juga menimbuilkan sebuah keharuan saat saya mengingat bahwa saya belum bisa membahagiakan mereka.

Saat tak pegang uang, namun tiba-tiba ada order tak terduga, itu juga menimbulkan sebuah kebahagian karena dipicu rasa syukur bahwa Gusti Allah kok ya pas saat memberikan jalan keluar. Namun ini pun bagi saya juga masih saya cari ujungnya, bahwa bersyukur karena berbahagia ataukah bahagia karena bisa bersyukur ? Bagaimana menurut Panjenengan ?

Lau apa hubungannya antara sujud yang menjadi judul dari tulisan ini dengan bahagia ? Setahu saya sih hubungannya selama ini ya baik-baik saja he… he… he…

Begini say… (syaiton maksudnya he… he… he… sesama)

Pernahkan Panjenengan tiba-tiba saja merasa bahagia meski hanya beberapa saat saja ? Kalau memang pernah, lalu apa yang Panjenengan lakukan ? Menerima kebahagian itu atau malah mempertanyakannya ?

Kalau menerima berarti ya sudah, Alhamdulillah begitu saja, namun kalau mempertanyakan, biasanya pasti mencari sebabnya, kenapa ya kok tiba-tiba saja berbahagia ?

Badan itu apa katanya pikiran, saat pikiran merespon sesuatu dengan memerintahkan tangan bergerak ke kanan, maka tangan pun bergerak ke kanan. Perasaan pun biasanya dipengaruhi oleh pikiran. Saat pikiran menilai sesuatu, maka perasaan pun bergerak ke arah penilaian itu dengan hadirnya suatu emosi tertentu. Misalnya saat pikiran menilai seseorang itu baik dan mungkin orang tersebut adalah customer yang bawa rejeki, maka perasaan pun menjadi senang.Jadi perassan yang muncul ada sebabnya yaitu dari hasil penilaian pikiran.

Nah… maka saat saya tiba-tiba saja merasa bahagia, kalau saya telusuri, berarti saat itu pikiran saya off alias gak sedang mikir apa-apa alias gak sedang menilai apa-apa juga. Berarti saat itu perasaan saya juga off alias gak ada suatu emosi yang mendominasi sebab gak ada input dari pikiran. Tubuh pun gak ada sesuatu yang istimewa, biasa saja sebab pikiran tidak sedang dalam keadaan merespon suatu situasi. Kondisi inilah yang merupakan hal keempat yang saya sampaikan pada paragraf  di atas tadi.

Belum melihat hubungannya ya … antara sujud yang menjadi judul dari tulisan ini dengan bahagia ? Belum memang …

Kita semua tahu dan sadar kalau kita setiap saat bernafas, tapi jarang yang menyadari nafasnya, dalam arti hadir dan merasakan saat bernafas, menyadari keluar masuknya nafas melalui hidung.

Saya yakin Panjenengan pasti pernah bahkan sering bersujud, namun pernahkah Panjenengan menyadari, merasakan dan menikmati sujud Panjenengan ? Kalau belum pernah menyadari, merasakan dan menikmati sujud Panjenengan, maka saat ini juga silahkan Panjenengan sujud dan sadari sujud itu, rasakan serta nikmati sujud itu ! Saya tunggu…

Stop !!! Jangan membaca dulu, sujud saja dulu !

Eeitzz…. kok ndablek ya…




















Ya sudahlah… lanjut.

Secara fisik, sujud memposisikan kepala pada posisi sejajar dengan kaki, dahi menempel pada bumi. Kepala yang merupakan simbol ketinggian diposisikan di kerendahan, sejajar dengan jemari kaki yang merapat ke bumi. Saat saya sujud dengan durasi waktu yang agak lama, saya merasakan begitu derasnya darah mengalir ke daerah kepala karena posisi jantung pemompa darah lebih tinggi dari kepala. Saat aliran darah begitu terasa di daerah kepala itulah saya mengalami jeda, pikiran tidak lari ke mana-mana dan tidak menilai apa-apa, tidak ada dualitas pikiran, hening, sebab pikiran dengan sendirinya terarahkan untuk memperhatikan daerah kepala. Badan pun menjadi diam, mênêng, perasaan pun seakan tenang tidak ada yang mendominasi sebab sedang merasakan sensasi sujud, nggliyêng ~ sliyat-sliyut ~ nge-fly. Biasanya kalau seperti itu kok ya rasanya beda, meski hanya beberapa detik saja, lebih merasakan hadir di hadapanNya atau biasanya juga baru nyadar – lho tadi itu saya sedang berdzikir ternyata, Alhamdulillah bahagia rasanya. Bahagianya itu ya pada saat merasa kalau Allah itu ada dalam diri saya, meski lagi banyak masalah, masih punya hutang, sedang gak pegang uang, bahagia saja. Mungkin karena berjeda, mengambil jarak dari segala persoalan yang memenuhi pikiran, mengaduk perasaan hingga menyedot energi yang banyak. Setelah itu plong dan seakan semua bergerak dengan sendirinya, pintu-pintu yang tadinya masih tertutup menjadi terbuka, benang ruwet yang tak jelas ujung pangkalnya menjadi terurai, gelap yang menyelimuti dengan sendirinya tersibak oleh cahaya dan demikianlah seterusnya. Bagaimana tidak bersyukur kalau seperti itu ? Bagaimana tak bahagia bila demikian adanya ? Wis pokoknya Gusti Allah itu tuop, otre tenan.

Ternyata tubuh juga perlu waktu khusus untuk didiamkan. Nyatanya pikiran sangat perlu diheningkan agar tak liar, tidak mundur ke saat yang lalu atau pun yang nanti, agar pula tak selalu menghakimi dan mempertentangkan segala hal menjadi dua kutub yang berlawanan. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa lebih enak mempunyai perasaan yang tenang, tidak tergesa-gesa, tidak ekstrem dan teralalu ngarep. Diam, diam dan diam.

Pada sujud saya disadarkan akan kerendahan dan kehambaan saya di hadapan ketinggiaan Allah sebagai Gusti saya. Pada sujud saya disuruh diam di waktu sekarang bukan yang tadi atau nanti, menikmati detik demi detik di tiap waktu sekarang. Pada sujud saya digerakkan agar hadir di hadapanNya untuk mengenalNya. Pada sujud saya disuruh menemukan makna keberserahan, pasrah dan ikhlas, serta mewakilkan segala urusan di luar jangkauan kemampuan saya pada Gusti Allah. Pada sujud saya disuruh mundur di belakangNya ~ Allahumma embuh, terserah Engkau Gusti… dan DIA akan mengambil alih semuanya.

Lalu adakah derajad yang lebih tinggi melebihi derajad seorang abdi di hadapan Gustinya, apalagi bila diperbandingkan dengan derajad “hamba yang menuhankan dirinya” di hadapan Tuhannya ? Adakah yang lebih melegakan selain menyerahkan segala persoalan kepadaNya ? Adakah yang lebih menentramkan selain merelakan segala dosa pada keadilanNya ? Adakah juga yang lebih membahagiakan selain mengenalNya, merasakan pengaturanNya yang sempurna dan menerima pemberianNya ? Adakah yang lebih kuat selaian menyadari ketakberdayaan diri di hadapanNya ? Adakah ilmu yang bisa mengatasi, melawan atau membatalkan kehendakNya yang sedang mewujud nyata ?

Semua itu ilmunya ada di sujud. Sujudnya hati dan atau sujudnya raga adalah hal luar biasa, terlebih dalam sholat.

Dalam sujud saya belajar berbahagia. Bahagia yang tanpa sebab. Belajar tak menilai apa pun, belajar saiki ~ sekarang, belajar sakmadya ~ sekedarnya, ngono yo ngono ning ojo ngono, belajar mênêng ~ diam, belajar hêning ~ sunyi, belajar mênêp ~ tenang, belajar rumongso ~ merasa dan ngrumangsani ~ merasakan.

Sujud adalah kebahagiaan. Yang dimampukan bersujud biasanya dibahagiakan juga dengan kebersujudannya, di atas kerendahan hamparan bumi di hadapan ketinggian Gusti.

Yang juga selalu saya ingat adalah wejangannya Ki Ageng Suryomentaram tentang ilmu bahagia, yaitu saiki, kéné, ngéné, aku gêlêm. Artinya adalah bahwa kita akan bahagia saat bisa menerima saat ini, di sini dan dalam kondisi seperti ini. Tak ada penyangkalan, tak ada gugatan, tak ada penolakan, tak ada penilaian, tak ada pertanyaan dan sebagainya, pokoknya menerima itu saja segala hal yang dihadapi saat ini (bukan saat tadi atau pun nanti) dan di sini (bukan di sana atau di situ). Saat sujud adalah sebuah kesadaran, maka pada sujud itu ada saiki, kéné, ngéné, aku gêlêm.

Bagaimana menurut Panjenengan ?

Semoga Panjenengan semua dimampukan untuk bisa bersujud baik sujud lahir maupun utamanya adalah sujudnya hati. Saya nunut.
Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

IG
@bagusherwindro

Facebook
https://web.facebook.com/masden.bagus

Fanspage
https://web.facebook.com/BAGUSherwindro

Telegram
@BAGUSherwindro

TelegramChannel
@denBAGUSotre

 
Support : den BAGUS | BAGUS Otre | BAGUS Waelah
Copyright © 2013. den Bagus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger