LAPAR

Written By BAGUS herwindro on Jan 6, 2016 | January 06, 2016

Saya itu sering kali diserang rasa lapar dan beberapa kali di antaranya saya merasakan kondisi tubuh yang seakan demikian lemasnya tak bertenaga, sehingga saat itu satu yang ada di pikiran saya adalah bahwa saya harus segera makan tentu saja sama minumnya. Pernah seperti itu ?

Kalau pernah berarti sama.

Beberapa kali mengalami itu dan beberapa kali itu sebagaimana biasa menjadi obyek pengamatan saya dengan ilmu titên saya. Begitu ceritanya.

--------------------

Namun sebelum itu, karena ada hubungannya dengan makanan, Panjenengan saya beri satu tips ngerjain syetan. Begini, mohon maaf kalau apa yang saya sampaikan benar he… he… he… Katanya kalau kita makan sama minum gak baca basmalah, maka syetannya ikut makan sehingga makanannya jadi gak berkah. Jadi kata kuncinya adalah basamalah. Maka cara ngerjain syetan adalah Panjenengan cari saja makanan yang ada lalapan lomboknya, misalnya ote-ote atau tahu isi dengan lalapan Lombok yang level pedasnya 7. Saat mau makan gak usah baca basmalah, jadi makan aja itu ote-ote atau tahu isi sama lomboknya yang super pededas itu. Karena gak baca basmalah, syetannya kan ikut makan tuh. Nah ini… saat Panjenengan sudah kepedasan, ambil minum tapi jangan lupa baca basmalah dulu, jadi syetannya kan gak bisa ikut minum, biar kapok sudah terlanjur pedas tapi dia gak bisa minum. Bagaimana tipsnya… otre kan ?

--------------------

Kembali ke awal….

Saat badan terasa demikian lemasnya tak bertenaga dan kemudian saya langsung makan, maka tak perlu menunggu selesai makan, badan saya langsung terasa menguat lagi menjadi bertenaga. Beberapa kali mengalami hal itu, beberapa kali pula saya merasa tertipu oleh badan dan pikiran saya sendiri.

Mana mungkin makanan bisa terproses demikian cepatnya menjadi energi yang menguatkan tubuh, sedangkan makanan itu sendiri pun belum selesai terkunyah ?

Tertipu.

Saat merasa lapar dan tidak saya penuhi dengan langsung makan, pikiran merespon dengan mengkondisikan tubuh terasa lemah. Sesaat setelah saya memasukkan makanan ke dalam mulut, mengunyah dan menelannya, meskipun belum terproses sempurna, pikiran meresponnya dengan tubuh yang terasa menguat kembali. Lha ini kan penipuan dan saya tertipu oleh pikiran saya sendiri dan oleh bagian diri saya sendiri yang memerlukan pemuasan.

Jadi meskipun saya tidak makan pun mestinya tubuh saya tidak boleh lemas, kecuali kalau memang sudah berhari-hari tidak makan. Berarti ada sesuatu yang salah dalam pikiran saya.

Saya jadi ingat kalau Kanjeng Nabi Muhammad itu lebih menyukai berlapar-lapar ria daripada kenyang, hingga dalam keseharian pun Beliau mengikatkan kain melingkari perut Beliau dengan mengisinya dengan kerikil-kerikil untuk membantunya menahan lapar. Beliau sangat menikmatinya dan tak pernah mengatakannya pada para sahabat Beliau karena Beliau tidak mau menjadi pemimpin yang membebani ummatnya. Beliau menikmati laparnya sebagai hadiah dari Gusti Allah dengan harapan agar ummatnya jangan sampai ada yang kelaparan baik di dunia maupun di akhirat kelak. Beliau menikmati lapar setiap hari, bahkan tak pernah ada makanan tersisa di rumahnya, selalu habis dibagikan kepada siapa pun. Bahkan sering Beliau berpuasa karena memang tidak ada makanan di rumahnya. Dalam keaadaan lapar, apakah Beliau berhenti beraktivitas ? Tentunya tidak. Aktivitas Beliau tetap padat seharian baik secara vertical maupun horizontal.

Heemmmm….

Masya Allah… saya atau Panjenengan bagaimana ?

Apalagi saat ini, saat kuliner sudah digayahidupkan, saat makan tak hanya dalam kadar cukup namun juga harus berasa enak, penyajiannya harus menarik, pelayanannya harus prima, suasananya harus nyaman, tempatnya harus bergengsi dan tak lupa harus kuat sinyal wifinya. Sekali duduk tak cukup hanya dengan tujuh atau lima belas ribu rupiah saja, namun sudah mencapai lima puluh atau dua ratus ribu lebih. Itu sekali, padahal kadang sehari lebih dari sekali. Berapa rupiah kalau sebulan ? Saya sendiri pun kalau meeting urusan kantor selalu dari cafe ke cafe. Begitu pun kalau teman-teman lama ngajak ketemuan.

Di sisi lain, di sudut-sudut kota yang kumuh, di pelosok-pelosok pedesaan dan di pojok-pojok terdalam dari sejarah negeri ini, masih banyak yang bahkan untuk makan nasi 3 kali sehari saja sudah merupakan kemewahan yang luar biasa. Di sanalah Kanjeng Nabi, Rasul Agung, Muhammad SAW, menemani mereka semua dan sangat merasakan beban yang mereka sangga.

Lalu nikmat Tuhan yang mana lagi yang saya dustakan saat saya tak harus kesulitan masalah makan ?

Beliau mengajarkan makan ketika lapar, berhenti makan saat belum kenyang. Berarti ya hanya sekedar mengganjal perut, asal tak lapar saja. Berarti juga Beliau mengajarkan bahwa makan itu memenuhi kebutuhan perut bukan memenuhi keinginan mulut. Dengan berlapar-lapar ria saja Beliau tetap padat beraktivitas, dengan sebutir kurma saja energinya tak pernah pupus dan bahkan dalam keadaan berpuasa pun Beliau sanggup berada di garis depan medan pertempuran yang panas dan ganas.

Kalau saya rasa-rasakan, jareku, kata kuncinya adalah pada kesadaran kehambaan dan berkahnya anugerah yang terletak pada kualitasnya dan bukan pada kuantitasnya. Kalau saya meski makan satu piring, sehari 3 kali, masih saja ngantukan, masih saja lekas lelah dan sering kehabisan energy, bisa jadi karena lemahnya kesadaran saya dan juga minimnya keberkahan pada makanan yang saya makan.

Mungkin begini… mungkin lho ya belum tentu salah, he… he… he…

Selalu kembali lagi pada proses karena yang dituntut olehNya adalah prosesnya dan melaksanakan yang dituntut olehNya adalah hakikat kehambaan kita di hadapanNya. Menjaga amanah badan atau tubuh sebagai kendaraan kita hidup di dunia adalah yang dituntut olehNya, salah satunya ya makan itu tadi sebagai sarana memberikan asupan unsur-unsur yang dibutuhkan tubuh.

Pertama, berarti proses makannya diniati melaksanakan perintahNya karena kita hambaNya untuk mencukupi kebutuhan tubuh dan bukan untuk memenuhi keinginan nafsu. Kalau ini dapat disadari, berarti kita terhubung denganNya dan selalu dengan BISMILLAH.

Kedua, makanannya adalah anugerahNya, rejekiNya atau nikmatNya yang berarti haruslah dijaga halal dan thoyib. Selain itu juga harus disyukuri, bukan pada wujud nikmatnya tetapi syukurnya adalah pada yang member nikmat tersebut yaitu Gusti Allah. Sebab syukur itu adalah sarana memperbesar wadah nikmat itu sendiri, baik dari segi kuantitas yang bertambah maupun dari segi kualitasnya yaitu benar-benar optimal keluar manfaat yang bisa kita rasakan pada nikmat itu.

Saya kira dua hal itu yang harus saya perhatikan lagi. Ini masih dalam hal makan saja, namun saya kira prinsip itu pun berlaku juga pada semua aspek dan skala kehidupan. Nyatanya masih banyak yang masih harus saya perbaiki dalam diri ini, termasuk di antara adalah pola didik dan pola bahasa yang saya sampaikan ke anak-anak saya agar saya tidak mengulang pola yang kurang tepat dari oaring tua saya dalam mendidik saya dahulu.

Contohnya adalah :
  • Ayo makan yang banyak biar kuat. (Sugestinya adalah kalau gak makan banyak jadinya lemes)
  • Makan yang teratur biar sehat. (Sugestinya adalah kalau makan gak teratur jadi sakit)
  • Sarapan dulu biar gak masuk angin. (Sugestinya adalah kalau gak sarapan akan masuk angin)
  • Dan sebagainya.

Tidakkah lebih baik :
Ayo makan secukupnya, dirasakan sendiri perutnya.

Dan saat dimampukan menikmati beragam kuliner yang mengasyikkan, #semoga Gusti Allah tak melalaikan hati saya padaNya dan memampukan saya untuk lebih meledakkan rasa syukur kepadaNya, pada DIA yang member nikmat dan bukan pada wujud nikmatnya#.

Bagaimana menurut Panjenengan ?
Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

IG
@bagusherwindro

Facebook
https://web.facebook.com/masden.bagus

Fanspage
https://web.facebook.com/BAGUSherwindro

Telegram
@BAGUSherwindro

TelegramChannel
@denBAGUSotre

 
Support : den BAGUS | BAGUS Otre | BAGUS Waelah
Copyright © 2013. den Bagus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger