Jadi AYAH

Written By BAGUS herwindro on Oct 29, 2014 | October 29, 2014

Dalam sebuah struktur masyarakat, saya secara pribadi masuk di dalam wilayah keluarga. Kebetulan selain sebagai seorang suami, saya juga sebagai ayah dalam lingkup keluarga saya. Sebagai seorang ayah, tentunya banyak hal yang saya harapkan pada diri anak-anak saya dan di sinilah awal masalah saya. Garis bawah pada diri saya sendiri, bukan pada anak-anak saya, sebab di sinilah kejujuran saya selalu diuji. Diuji oleh siapa ? Tentunya oleh diri saya sendiri.

Namanya anak-anak, pasti banyak berontaknya terhadap sesuatu yang oleh para orang tua (termasuk saya) diangap sebagai sebuah kebaikan dan kebenaran.

Misalnya begini, saat anak-anak terlihat enggan belajar, tidak fokus, lebih menikmati baca buku kkpk dibandingkan materi pelajarannya, lebih suka nonton televisi atau lebih asyik ngegame, atau yang lainnya, maka pasti saya ngomel bahkan kalau perlu marah.

Salah satu kalimat yang keluar, misalnya : “Ayah itu marah karena ayah sayang sama adik. Toh kalau adik baik, adik pinter, itu semua kan juga buat adik sendiri nantinya, bukan buat ayah !!!”

Jreng….. Nah, pada kalimat itu biasanya dalam benak saya saya mengatakan pada diri sendiri : “Ngapusi…. ngapusi… (bohong)”.

Kalau berani jujur dan kalau mau jujur pada diri sendiri, saya pasti mengakui bahwa apa yang saya katakan tersebut sangat termotivasi oleh pamrih pribadi demi diri saya sendiri, bukan semata-mata demi anak saya meskipun mengatasnamakan sayang saya terhadap anak.

Atas nama sayang : Ayah itu marah karena ayah sayang sama adik. Kenyataannya : Ayah sayang pada diri ayah sendiri. Sebab : Toh kalau adik baik, adik pinter, itu semua kan juga buat adik sendiri nantinya, bukan buat ayah. Aslinya : Kalau adik baik, adik pinter, itu semua sebenarnya buat ayah. Karena : Kalau adik gak pinter, gak baik, maka nanti tidak akan mempunyai kemandirian dan itu berarti ayah juga yang repot nantinya, ayah juga mungkin akan malu, malu pada saudara dan tetangga.

Marah saya kelihatannya baik, demi kebaikan, namun nyatanya di sana tersembunyi nafsu saya, nafsu yang melekat pada predikat yang saya sandang. Sebagai seorang ayah, godaan saya adalah nafsu keayahan. Saya bernafsu untuk mendapat pembenaran dari anak saya atas apa pun yang saya sampaikan dan bukannya mengharap apa yang saya sampaikan dibenarkan oleh Gusti Allah. Saya bernafsu untuk melepas tanggung jawab sebagai ayah sesegera mungkin. Saya bernafsu untuk bisa menbanggakan anak saya di depan orang lain, tanpa mau melihat diri sendiri, sudahkah anak saya bangga terhadap saya ? Lha kalau jadi ayah saja seperti ini, bagaimana pula beratnya godaan nafsu saat melekat predikat ustadz, kyai, guru, pimpinan, ketua, pejabat dan predikat lain yang bersifat superior ? Benarlah bahwa kalau nafsu di balik keburukan atau kemaksiyatan itu lebih tampak nyata bila dibandingkan dengan nafsu di balik kebaikan atau ketaatan yang sangat samar.

He… he… he… itulah masih sangat berpamrih, saya belum bisa menghindarkan diri dari pamrih pribadi, belum bisa berlaku sebagaimana leluhur-leluhur dahulu mengajarkan untuk sêpi ing pamrih atau kalau dalam bahasa agama adalah ikhlas dalam segala hal yang saya lakukan, arahnya dari bawah ke atas yaitu persembahan dari abdi kepada Gustinya. Karena saya tidak mempunyai saham apa pun dalam kehidupan saya, karena seluruh potensi kehidupan dalam diri saya adalah semata karunianya Gusti Allah, maka Dialah pemegang saham utama dalam kehidupan saya. Maka pula, semestinya semua itu saya kembalikan kepadaNya dengan menyicil pengabdian kepadaNya biar habis pada saat kembali padaNya, yaitu melakukan apa pun dengan motivasi atau pamrih hanya untuk mempersembahkan padaNya. Menulis ya untuk menulis, bekerja ya untuk bekerja, berumah tangga ya untuk berumah tangga, dakwah ya dakwah, sedekah ya sedekah, berdoa ya berdoa, memimpin ya memimpin itu saja, sêpi ing pamrih, bukan untuk mencari keuntungan atau golék bati. Manusia pada umumnya seperti saya, biasanya selalu ada pamrih materi yang berwujud kemudahan, kenyamanan dan kenikmatan. Perhitungannya selalu untung rugi, bahkan meski tidak untuk itu belum tentu rugi, nafsu biasanya selalu mengatakan hal itu rugi. Lha selama ini saya kan seperti itu, hanya selalu golék bati. Kalau Panjenengan ternyata juga, berarti saya punya teman he…. he… he… Tapi saya yakin kalau Panjenengan tidak (tidak beda :P).

Jadi ingat kalau hanya Gusti Allah saja yang sama sekali tak berpamrih. Kalau Dia menyuruh kita sholat, memerintahkan kita bersabar dan sebagainya, apakah untuk Dia ? Tentunya tidak bukan ? PerintahNya adalah wujud cintanya untuk keselamatan diri kita sendiri. Seluruh dunia tak ada yang taat pun, ya bukan masalah bagi Dia.

Para leluhur dulu mengajarkan laku sêpi ing pamrih ramé ing gawé.  Sêpi ing pamrih itu wilayah hati, terletak di niat dan waktunya di awal perjalanan / aktivitas / laku / gawé. Sêpi ing pamrih merupakan pondasi bagi ramé ing gawé. Kalau sêpi ing pamrih saja saya belum mampu melakukannya dengan baik, maka bagaimana bisa saya berlaku ramé ing gawé ? Kalau saya pikir-pikir, selama saya belum mempunyai keberanian dan kerelaan untuk mengeliminir atau menyepikan pamrih atau nafsu keayahan saya, maka akan sulit bagi saya untuk mengemban gawé atau amanah dariNya untuk mendidik anak-anak saya secara ramé atau optimal.

Kalau saya selalu berkeinginan untuk dibenarkan oleh anak saya (meski seandainya saya salah) dan bukan mengharapkan dibenarkan oleh Gusti Allah, maka saya tidak akan optimal dalam mendidik anak, karena saya akan bersikap otoriter. Saya tidak akan menyediakan ruang yang luas bagi mereka untuk berdialog, berkomunikasi untuk sama-sama belajar mencari kebenaran dan kebaikan. Saya mungkin juga tidak akan memberi mereka kesempatan untuk mencari misi hidupnya sebagaimana yang dititahkan olehNya, melainkan harus menjadi seperti maunya saya. Pastinya saya akan lupa kalau tugas saya adalah menanam biji, memupuk, menyirami dan merawatnya, bukan menentukan hasilnya dan bukan pula memanen buahnya.

Bersyukurlah kalau Panjenengan telah DImampuKan olehNya untuk bisa sêpi ing pamrih dalam arti mendasari segala sesuatu dengan keikhlasan, lillahi ta’ala, dariNya, bersamaNya dan menuju padaNya, sebab pada tahap berikutnya insya Allah pasti DImampuKan olehNya pula untuk ramé ing gawé.

Ramé ing gawé itu wilayah akal~pikiran, letaknya di tindakan, waktunya adalah selama menjalani perjalanan / aktivitas / laku / gawé. Ramé ing gawé itu kesadaran menanam, kesadaran untuk berorientasi proses bukan berorientasi hasil, kesadaran mengoptimalkan amanah dan kesadaran mengutamakan yang dituntut bukan yang dijanjikan. Ramé ing gawé itu kemampuan menemukan kebahagian saat menanam, saat berproses dan itu tentunya hal itu adalah saat menjalankan perintahNya, sebab yang diperintah adalah menanamnya, prosesnya atau amalnya.

Iya ya… bisa saya ya cuma berusaha mendidik anak sebaik mungkin, mengarahkannya untuk menemukan sendiri misi hidupnya, menyediakan ruang komunikasi dua arah antara dia dan saya untuk bersama-sama mencari ilmu, sebisa mungkin memfasilitasi kebutuhannya dan seterusnya. Mau jadi apa nantinya, sama sekali di luar kuasa saya. Mau bagaimana nanti manfaat yang keluar dari dirinya juga bukan kuasa saya. Kalau ada kesadaran itu, maka semestinya saya harus bisa menerima apa pun yang terwujud pada diri anak saya nantinya.

Dalam hal-hal lain pun di setiap apa pun saya kira demikian juga. Dalam sebuah laku apa pun itu selalau ada tahapan input – proses – output – outcome.

Sebagai petani, menabur benih merupakan sebuah input yang kemudian harus diteruskan menjadi sebuah proses pemupukan, pengairan penyiangan dan seterusnya. Tetapi sebaik apa pun benih yang ditaburkan, sesempurna apa pun proses tanam yang dikerjakan, seorang petani sama sekali tak mempunyai kemampuan untuk menumbuhkan benih itu menjadi sebuah tumbuhan yang sempurna hingga pada akhirnya mengeluarkan buahnya. Tumbuh atau tidak tumbuhnya benih, berbuah atau tak berbuahnya tumbuhan dari benih yang ditabur adalah merupakan output.  Sedangkan outcomenya adalah dampak secara luas dari adanya output tersebut. Sederhanaya, misalnya kalau panen padinya berhasil, maka dalam proses akhir outputnya adalah beras, maka outcomenya adalah kebutuhan pangan masyarakat terpenuhi.

Petani hanya bisa mengoptimalkan ikhtiarnya pada input dan prosesnya. Manusia di beri kebebasan di wilayah akal~pikiran untuk ikhtiyarnya. Meskipun kekuatan ikhtiyar itu sendiri juga dari Gusti Allah, namun jarang di antara kita yang menyadarinya, bahwa ikhtiyar kita pun hakikinya adalah Gusti Allah juga yang menggerakkan atau yang bekerja di dalamnya atau sebagai pelakunya. Dalam proses tumbuhnya benih itulah kerjanya Gusti Allah lebih terlihat. Benih akan tumbuh dengan sendirinya tanpa campur tangan manusia. Berarti ada daya yang bekerja pada benih itu untuk tumbuh, sedangkan benih itu sendiri tidak mempunyai pihan untuk tumbuh atau untuk tidak tumbuh. Berarti pula, Gusti Allah-lah yang sedang bekerja pada benih itu meski tentu saja melalaui mekanisme sunatullahnya dan itulah af’alnya Allah.

Maka ramé ing gawé berada pada tahapan input dan proses, sebab memang itulah wilayah manusia, wilayah yang dituntut oleh Gusti Allah, wilayah pikirannya yang harus optimal. Sedangkan bagaimana outputnya, serta bagaimana pula outcomenya merupakan wilayahnya Gusti Allah, wilayah yang dijamin, wilayah hatinya manusia untuk rela menerima sebagai ketentuan dariNya, nêrimo ing pandum, arahnya dari atas ke bawah, dari Gusti untuk abdinya dan kewajiban abdi adalah rela menerima karuniaNya apa pun itu baik dalam suka ataupun duka, dalam sehat ataupun sakit, dalam lapang ataupun sempit, dalam enak ataupun tak enak dan seterusnya.

----------

Kemarin rasanya “sesuatu” banget saat tahu tema Haul di Pondok PETA (26 Oktober 2014) adalah sêpi ing pamrih ramé ing gawé nêrimo ing pandum.

Sebuah tuntunan akhlaq dan adab terhadap Tuhan dan sesama makhlukNya yang disampaikan dalam sebuah idiom kearifan lokal yang tentu saja menjadi sebuah peringatan untuk mawas diri atau mulat sarira hangrasa wani sudahkah saya berlaku demikian itu serta tentunya juga menjadi sebuah tuntunan untuk kembali meniatkan yang demikian itu dalam laku keseharian saya.
Share this article :
Comments
1 Comments

1 komentar:

IG
@bagusherwindro

Facebook
https://web.facebook.com/masden.bagus

Fanspage
https://web.facebook.com/BAGUSherwindro

Telegram
@BAGUSherwindro

TelegramChannel
@denBAGUSotre

 
Support : den BAGUS | BAGUS Otre | BAGUS Waelah
Copyright © 2013. den Bagus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger