Manusia, termasuk saya,
biasanya banyak yang gagal untuk merumuskan, memahami dan memilih apa yang
menjadi kebutuhannya yang sejati. Dia biasanya hanya akan terlempar dan
berputar-putar sesaat-sesaat dari satu keinginan ke keinginan yang lain yang
pastinya tak pernah ada batasan puasnya. Mengapa demikian ? Kemungkinan karena
manusia gagal dalam menyimpulkan hidupnya sehingga tak memiliki tujuan, kalau
pun toh ada, maka tujuan itu bukan tujuan akhir, hanya sesaat saja dan kembali
lagi tujuan itu untuk mencapai keinginannya yang
berikutnya.
Siniasi pada jaman
ini memang terlampau sulit untuk diatasi. Akal terlalu berat untuk bertahan dari
serbuan sihir kapitalisme sehingga mengenali dirinya sendiri saja sulit,
akibatnya kebanyakan manusia menjalani hidupnya tidak dengan kesadaran yang utuh
namun telah dikendalikan oleh kesadaran semu yang seolah baik, yang diam-diam
telah tertanam dalam dirinya. Moderen itu begini begini. Cantik itu kalau
begini-begini. Sukses itu begini begitu. Demikian setrusnya, hinga kalau tak
seperti itu akan menjadi sebuah masalah besar dalam diri dan kehidupannya. Maka
seorang perempuan yang berkulit gelap, berambut keriting dan berhidung pesek
bisa jadi akan merasa tidak nyaman dengan dirinya sendiri sepanjang hidupnya,
sebab kebenaran semu yang diyakini adalah bahwa kalau cantik itu kulitnya putih,
berambut lurus dan berhidung mancung, demikian contoh sederhananya. Itu masih
aspek fisik, belum yang lain yang tentunya akan terjadi kelatahan-kelatahan yang
sama atau bahkan lebih parah lagi. Bahkan dari aspek spiritual pun bisa jadi hal
yang demikian itu terjadi. Misalnya, kalau dekat Tuhan itu pakaiannya harus
begini, harus aktif melakukan peribadahan di tempat ibadah, omongannya harus
selalu penuh ayat dari kitab suci, harus tampak di banyak kegiatan soial yang
diikuti dan seterusnya tanpa pernah pernah menelusuri dalam dirinya sudah
muliakah akhlaknya terhadap sesamanya dalam makna yang hakiki dan sudah pulakah
hatinya beretika pada Tuhannya ?
Semoga Panjenengan
dan saya dimasukan ke dalam golongan manusia-manusia yang selesai hidupnya karena
dimampukan menyimpulkan dan memilih
tujuan akhir yang hendak Panjenengan dan saya capai, sehingga paham apa yang
kita butuhkan dan bagaimana cara memenuhinya, sehingga pula tidak terus
terombang-ambing dalam samudera keinginan yang tiada bertepi. Bila masing-masing
kita demikian, insya Allah sembuh Negara ini.
Lho lalu apa
hubungannya dengan hujan sebagaimana saya tuliskan untuk judal tulisan ini ?
Sementara ini hubungannya baik-baik saja.
Begini saudara…
kemarin malam hujan sudah benar-benar mengguyur Surabaya setelah beberapa bulan
dimesrai oleh panasnya suhu udara yang wow.
Panas dan hujan sebenatnya hal yang biasa dan merupakan sebuah kewajaran,
yang menjadikannya tak biasa adalah saat panas dan hujan itu bersentuhan dengan
keinginan manusia dan bukan kebutuhannya.
Bagi daerah yang
sulit air atau daerah pertanian, hujan merupakan sebuah kebutuhan. Pun demikian
dengan panas yang memang dibutuhkan oleh petani garam misalnya. Namun, saat di perkotaan, panas dan hujan tidak menjadi
penentu atau bukan merupakan sebuah kebutuhan yang langsung termanfaatkan, maka
panas dan hujan akan saling berbenturan dalam keinginan setiap orang berkait
dengan kenyamanan yang dirasakan oleh masing-masing orang tersebut. Yang
merasakan gerah akan menginginkan hujan, tetapi yang kerjanya di jalanan akan
lebih memilih panas, lebih banyak junga yang menginginkan hujan atau panas bisa
diatur sekehendaknya. Hujan ya hujan tapi malam saja kalau waktunya orang tidur,
kalau waktunya orang beraktivitas keluar rumah ya lebih baik panas. Ini yang
repot dan mungkin ini merupakan salah satu contoh tentang hikmah pengkabulan doa
bahwa wujud, kapan dan di mananya pengkabulan itu Tuhan yang menetukan. Coba
saja kalau setiap keinginan ditindaklanjuti dengan doa dan seketikan itu
langsung wujud pengkabulannya sesuai yang diinginkan, bisa kacau tatanan alam
ini, mungkin satu kampung bisa jadi tawuran gara-gara satu orang ingin hujan
kemudian berdoa, tetangganya ingin panas kemudian berdoa juga, sedangkan
tetangganya yang lain lagi ingin hujan juga dan berdoa juga, demikian yang lain.
Apa jadinya jika saat itu juga serentak doanya bersamaan mewujud sesuai yang
diinginkan, kacau.
Tiba-tiba saja
ingatan saya melayang ke tahun 1995 lalu. Saat itu kakak perempuan saya menikah
dan itu merupakan mantu pertama bagi kedua orang tua saya, jadilah pernikahan
itu diselenggarakan dengan prosesi pernikahan adat jawa yang lengkap mulai
prosesi siraman hingga berakhir pada resepsi. Nah itu dia, penetapan tanggal
pernikahan jatuh pada bulan Nopember, yang saat itu musim penghujan atau pun
kemarau masih relatif sesuai dengan yang diterangkan di buku-buku SD dulu. Jadi
pada bulan Nopember bertepatan dengan musim penghujan, karena hal itulah
kemudian timbul keinginan agar pada rangkaian prosesi pernikahan, hujan tidak
dulu turun. Kebetulan saya yang ketiban
sampur untuk melakukan hal itu.
He… he… he…
jelek-jelek begini saya dulu itu jelek :P. Setelah sehari sebelumnya
menggores-gores langit dengan hijaiyah, alhamdulillah hujan tetap turun dengan
derasnya, hanya saja hujan tersebut mereda dan berhenti setiap menjelang suatu
proses akan berlangsung dan sampai selesainya prosesi krang lebih satu jam
sebelum dan setelah prosesi. Begitu terus sampai pada tahap prosesi yang
terakhir yaitu resepsi pernikahan. Alhamdulillah, acara tetap berlangsung
lancar, hujan pun tetap turun dengan lancer. Kalau di Indonesia hal-hal macam
begitu itu banyak dan bukan sesuatu yang luar biasa. Yang luar biasa itu justru
pada mereka pemilik acara [sohibul hajat], apalagi acaranya
menyangkut ummat bukan cuma sekedar acara keluarga biasa, yang tetap berbahagia
karena kerelaannya tak terusik keluhan bahkan penyesalan meski hujan turun
dengan derasanya saat acaranya berlangsung. Itu yang selalu saya usahakan untuk
menirunya, relanya itu lho.
Menurut keterbatasan
pengamatan saya, banyak fenomena kurangnya etika berkait dengan masalah “pawang
hujan”.
Pertama, yang terpikir hanya
bagaimana agar tidak turun hujan itu saja, berarti bagaimana caranya menolak
hujan. Ini pasti menimbulkan ketidakseimbangan alam yang pada nantinya hanya
akan menambah masalah. Di suatu lokasi hujan ditahan selama sekian hari, di
lokasi lainnya lagi demikian juga begitu seterusnya. Biasanya hujan yang
semestinya sudah membasahi bumi itu akan terakumulasi, maka saat batas waktunya
usai, hujan pun akan turun dengan lebih deras dan lama.
Kedua, kalau metodenya
adalah memindahkan atau menggeser, biasanya juga tidak pernah memikirkan akan
dipindahkan atau digeser kemana hujan itu agar tidak merugikan siapa pun atau
apa pun. Maka kalau di suatu posisi tempat digesernya hujan itu juga sedang ada
acara yang menggunakan metode yang sama juga untuk menggeser hujan, yang terjadi
adalah kuat-kuatan tenaga saja karena pasti akan
berbenturan.
Maka apakah tidak
sebaiknya belajar berendah hati dengan tidak memaksakan kemenangan pada
kepentingan pribadi ? Kalau memang perlu sekali terang atau sebaliknya perlu
sekali hujan, ya monggo menggunakan metodenya masing-masing, tetapi saya kira
akan lebih baik dan lebih luar biasa kalau didasari dengan kerelaan menyerahkan
dan memohon yang terbaik pada Tuhan. Hujan atau pun terang, terang atau pun
hujan, bukan masalah. Yang utama usahanya, bukan hasil usahanya.
Bagaimana menurut
Panjenengan ?
sebagai bentuk hablum minan naas(حبل من الناس),adlah menghargai orang lain termasuk profesinya, yaaaa.....termasuk pawang hujan, itu termasuk profesi jg kan....
ReplyDeleteUntuuu...ng aku bkn pawang hujan....tapi pawang kopi he...3x, biar bs menahan sedikit dinginx hujan.......