Home » , , , » Hijrah

Hijrah

Written By BAGUS herwindro on Nov 15, 2013 | November 15, 2013

Dalam keseharian, kalau saya amati selalu ada saja yang namanya perpindahan. perputaran, proses, siklus, rotasi, revolusi, orbitasi dan seterusnya dan sebagainya dan itu semua adalah hijrah. Tak ada yang tak hijrah, semua hijrah, hanya saja ke mana hijrahnya itulah yang menjadi pilihan dari setiap pelakunya.

Jalan apa pun yang dilalui dan jalan mana pun yang dipilih, meski secara kasat mata terlihat ragam perbedaan, namun sesungguhnya mempunyai satu ujung saja yaitu berakhir pada Gusti Allah. Tentunya awalnya pun dari ujung yang itu juga. Pasti demikian, sebab kalau tak demikian berarti ada Tuhan tandingan selain Gusti Allah.

Entah dengan Panjenengan, namun kalau bagi saya, sering jalan yang harus saya lalui itu terlihat dan terasa begitu berat medannya, begitu rumit kelokannya dan begitu curam tanjakan serta turunannya, serta pastinya saya tak tahu ada apa di hadapan saya pada jalan yang saya lalui. Namun saat eling bahwa ujung jalan itu pasti satu, tak ada lain selain tawakallah bekal yang harus saya bawa sejak di awal perjalanan, belajar dan berusaha memposisikan hati untuk pasrah dengan tetap menjaga kewaspadaan untuk tetap menggerakkan energi hidup agar tak ikut-ikutan pasrah.

Namun tawakal saja belumlah cukup, demikian wejangan dari salah seorang Guru Mulia. Kalau hendak menyertakan Gusti Allah dalam kehidupan kita agar mewakili dan mencukupkan hati kita, maka tawakal harus beriring dengan taqwa. Sebab selalu ada jalan keluar yang tak disangka-sangka dari mana arah datangnya bagi mereka yang bertaqwa.

Taqwa adalah pandangan Gusti Allah, dalam arti kalau saya mau begini atau mau begitu maka saya harus segera eling kira-kira Gusti Allah itu ridho atau tidak ? Namun kalau masalah ridhonya Gusti Allah, kira-kira rasanya kok ketinggian alias kemelipen atawa kendakiken, minimal kira-kira Gusti Allah itu murang-muring atau tidak ya kalau saya begini atau begitu ?

Maka taqwa itu kira-kira bisa diterjemahkan dalam laku nyata dengan menghijrahkan semua menuju ujung jalan yang satu itu, yaitu Gusti Allah. Yang di bumi dilangitkan dan yang materi diruhanikan. Bukan malah sebaliknya.

Melangitkan yang di bumi

Kalau yang dari langit turun ke bumi itu namanya agama, syariat peribadahan, baik secara vertikal yang mengatur tata cara ritual yang langsung kepada Gusti Allah maupun secara horizontal yang mengatur tata cara berinteraksi dengan sesama makhluk.

Bagi saya pribadi, beragama adalah juga masalah rasa, bukan hanya masalah logika saja. Ajaran agama memang sangat bisa dilogikakan dan dibuktikan keilmiahannya misalnya, namun Dzatnya Gusti Allah itu sendiri sangat tidak mungkin dilogikakan, sebab yang namanya Tuhan itu pasti tak terbatas, maka bagaimana mungkin akal apalagi pikiran yang terbatas bisa menterjemahkan yang tak terbatas itu ? Hanya rasa yang bisa “ngeh” tentang Gusti Allah meski tetap saja dalam keterbatasannya itu sendiri. Rasa itu letaknya di hati dan rasa inilah yang utama menurut saya, sebab tanpa rasa maka manusia tak ubahnya seperti robot yang hanya bergerak secara mekanis sesuai kecerdasan yang ditanamkan di dalamnya, tak lebih dari itu.

Sebagaimana Gusti Allah sendiri yang Maha Indah dan Maha Lembut, maka manusia pun dibekali oleh keindahan dan kelembutan dalam hatinya, sehingga rasa yang terletak di dalam hati pun sebenarnya akan sangat mudah disentuh oleh keindahan dan kelembutan.

Masalahnya adalah bahwa tak semua manusia mempunyai kepekaan rasa, salah satu sebabnya mungkin karena memang tak pernah memperhatikan rasanya, melulu hanya berfokus pada rasionalitas akalnya saja atau bahkan menuruti menggebunya syahwat saja. Maka rasa sebenarnya merupakan penengah atau pengendali dari rasionalitas akal dan tarikan syahwat, sehingga ada falsafah luhur yang mengatakan : ojo rumongso biso, nanging bisoho ngrumangsani – jangan merasa bisa namun bisakanlah merasakan.

Dari keindahan rasa dan kelembutan rasa dalam hati manusia inilah yang akhirnya mewujud dalam sebuah ekspresi seni. Seni merupakan lingkup kecil yang menjadi salah satu unsur dari budaya [bumi] sebagai bentuk kreativitas manusia dan ini bukanlah agama [langit], maka melangitkan yang ada di bumi berarti bagaimana kreativitas manusia dalam seni dan budayanya ini bisa menggugah kesadaran untuk lebih bisa merasakan Gusti Allah [manjingke iman] yang berarti seni dalam lingkup yang kecil yang tertampung dalam lingkup besar budaya haruslah bisa menghaluskan rasa serta mematangkan jiwa. Yang demikian itu, menurut saya berciri pada proses yang tidak instan bahkan kelihatannya rumit karena memerlukan pengendapan [sebagai laku] sehingga dalam berkesenian pelaku dan penikmatnya seakan mengalami kelambatan waktu [dengan efek mempercepat mencahaya].

Mungkin Panjenengan bisa mengamati sendiri, di antaranya pada seni batik, kaligrafi, puisi, pergelaran wayang kulit pakem dan lainnya, juga pada berbagai tradisi seperti ruwatan, neloni, mitoni, tudun lemah, midodareni dan lainnya. Semua hal itu sarat dengan berbagai tahapan dan sarat pula dengan kedalaman makna, tentu saja bagi yang paham atau membuka diri untuk mau memahaminya. Di situlah letak kata kunci bertasbih semua yang ada di langit dan di bumi, serta manusia [kholifah] sebagi pusat orbitasinya dalam kerangka bertasbih pada Gusti Allah. Di situ ada password untuk saling berinteraksi di antara sesama makhluk dalam memayu hayuning bawono, membawa rahmat bagi semesta alam yang pada ujungnya tiada lain adalah mengabdi padaNya.

Monggo Panjenengan dalami sendiri, sebab tak semua hal yang bersifat substansial bisa disampaikan secara tekstual.


Meruhanikan materi

Kalau melangitkan yang di bumi lebih pada menggerakan rasa untuk “ngeh” terhadap Gusti Allah melalui peristiwa-peristiwa bumi sebagai sarananya, maka meruhanikan materi, bagi saya berarti menggunakan rasa itu sebagai dasar atau pijakan  untuk  mentransformasikan materi menjadi frekuensi cahaya. Pada dasarnya adalah sama, yaitu menebar rahmat bagi semesta alam, mengabdi padaNya, bukan mengabdi pada diri sendiri. Sederhananya adalah bagaimana menyerap rahmat untuk ditebarkan lagi menjadi berkat bagi sesama dalam kata lain sebanyak mungkin melayani orang lain sesuai kapasitas diri kita masing-masing dan sesuai apa yang dititipkan kepada kita dalam kerangka pengabdian kepadaNya.

Ini sebenarnya kan masalah memindahkan materi agar tidak hanya melekat pada diri sendiri. Sebagaimana air yang tersimpan di tandon masjid, tentunya air itu akan selalu mengalir untuk dipakai berwudhu sehingga realitanya meski tandon itu mengeluarkan isinya terus menerus tetapi secara terus menerus pula tandon itu akan terisi kembali.

Jadi, meruhanikan materi itu intinya adalah berbagi. Cateten yo rek… intine iku dadi uwong ojok medit, dadio uwong sing loman marang liyan. Jangan berhitung, ingat saja tandon wudhu, sebab inilah jalan taqwa, materi ditransformasikan menjadi frekuensi, mencahaya, energi pun ditransformasikan menjadi frekuensi, mencahaya. Cahaya itulah yang akan mengabadi dalam keabadianNya.

Beli nasi untuk makan perut sendiri pun diniati berbagi rejeki dengan penjual nasinya. Dicurhati teman tentang permasalahannya, diniati berbagi cahaya agar menjadi solusi baginya. Pokoknya segala anugerahNya kita gerakkan untuk melayani sebanyak-banyaknya orang. Jadi kalau misalnya kita diberi keberlimpahan rejeki oleh Gusti Allah, belum tentu itu untuk diri sendiri, bisa jadi maksudnya Gusti Allah itu agar kita berbagi menjadi saluran pertolonganNya. Tidak usah berhitung, sebab tiap kesempatan berbuat BAIK ~ "tetulung", merupakan anugerah AGUNG dariNYA sebagai LAKU pengejawantah WELAS~ASIH~NYA, menebar RAHMAT agar semoga menjadi BERKAT.


Kira-kira begitu.

Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

IG
@bagusherwindro

Facebook
https://web.facebook.com/masden.bagus

Fanspage
https://web.facebook.com/BAGUSherwindro

Telegram
@BAGUSherwindro

TelegramChannel
@denBAGUSotre

 
Support : den BAGUS | BAGUS Otre | BAGUS Waelah
Copyright © 2013. den Bagus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger