Dalam keseharian,
kalau saya amati selalu ada saja yang namanya perpindahan. perputaran, proses,
siklus, rotasi, revolusi, orbitasi dan seterusnya dan sebagainya dan itu semua
adalah hijrah. Tak ada yang tak hijrah, semua hijrah, hanya saja ke mana
hijrahnya itulah yang menjadi pilihan dari setiap
pelakunya.
Jalan apa pun yang
dilalui dan jalan mana pun yang dipilih, meski secara kasat mata terlihat ragam
perbedaan, namun sesungguhnya mempunyai satu ujung saja yaitu berakhir pada
Gusti Allah. Tentunya awalnya pun dari ujung yang itu juga. Pasti demikian,
sebab kalau tak demikian berarti ada Tuhan tandingan selain Gusti
Allah.
Entah dengan
Panjenengan, namun kalau bagi saya, sering jalan yang harus saya lalui itu
terlihat dan terasa begitu berat medannya, begitu rumit kelokannya dan begitu
curam tanjakan serta turunannya, serta pastinya saya tak tahu ada apa di hadapan
saya pada jalan yang saya lalui. Namun saat eling bahwa ujung jalan itu pasti satu,
tak ada lain selain tawakallah bekal yang harus saya bawa sejak di awal
perjalanan, belajar dan berusaha memposisikan hati untuk pasrah dengan tetap
menjaga kewaspadaan untuk tetap menggerakkan energi hidup agar tak ikut-ikutan
pasrah.
Namun tawakal saja
belumlah cukup, demikian wejangan dari salah seorang Guru Mulia. Kalau hendak menyertakan Gusti Allah dalam
kehidupan kita agar mewakili dan mencukupkan hati kita, maka tawakal harus
beriring dengan taqwa. Sebab selalu ada jalan keluar yang tak
disangka-sangka dari mana arah datangnya bagi mereka yang
bertaqwa.
Taqwa adalah
pandangan Gusti Allah, dalam arti kalau saya mau begini atau mau begitu maka
saya harus segera eling kira-kira
Gusti Allah itu ridho atau tidak ? Namun kalau masalah ridhonya Gusti Allah,
kira-kira rasanya kok ketinggian alias kemelipen atawa kendakiken, minimal
kira-kira Gusti Allah itu murang-muring atau tidak ya kalau saya
begini atau begitu ?
Maka taqwa itu kira-kira bisa diterjemahkan
dalam laku nyata dengan menghijrahkan
semua menuju ujung jalan yang satu itu, yaitu Gusti Allah. Yang di bumi
dilangitkan dan yang materi diruhanikan. Bukan malah
sebaliknya.
Melangitkan yang di
bumi
Kalau yang dari
langit turun ke bumi itu namanya agama, syariat peribadahan, baik secara
vertikal yang mengatur tata cara ritual yang langsung kepada Gusti Allah maupun
secara horizontal yang mengatur tata cara berinteraksi dengan sesama
makhluk.
Bagi saya pribadi,
beragama adalah juga masalah rasa, bukan hanya masalah logika saja. Ajaran agama
memang sangat bisa dilogikakan dan dibuktikan keilmiahannya misalnya, namun
Dzatnya Gusti Allah itu sendiri sangat tidak mungkin dilogikakan, sebab yang
namanya Tuhan itu pasti tak terbatas, maka bagaimana mungkin akal apalagi
pikiran yang terbatas bisa menterjemahkan yang tak terbatas itu ? Hanya rasa
yang bisa “ngeh” tentang Gusti Allah meski tetap saja dalam keterbatasannya itu
sendiri. Rasa itu letaknya di hati dan rasa inilah yang utama menurut saya,
sebab tanpa rasa maka manusia tak ubahnya seperti robot yang hanya bergerak
secara mekanis sesuai kecerdasan yang ditanamkan di dalamnya, tak lebih dari
itu.
Sebagaimana Gusti
Allah sendiri yang Maha Indah dan Maha Lembut, maka manusia pun dibekali oleh
keindahan dan kelembutan dalam hatinya, sehingga rasa yang terletak di dalam
hati pun sebenarnya akan sangat mudah disentuh oleh keindahan dan
kelembutan.
Masalahnya adalah
bahwa tak semua manusia mempunyai kepekaan rasa, salah satu sebabnya mungkin
karena memang tak pernah memperhatikan rasanya, melulu hanya berfokus pada
rasionalitas akalnya saja atau bahkan menuruti menggebunya syahwat saja. Maka
rasa sebenarnya merupakan penengah atau pengendali dari rasionalitas akal dan
tarikan syahwat, sehingga ada falsafah luhur yang mengatakan : ojo rumongso biso, nanging bisoho
ngrumangsani – jangan merasa bisa namun bisakanlah
merasakan.
Dari keindahan rasa
dan kelembutan rasa dalam hati manusia inilah yang akhirnya mewujud dalam sebuah
ekspresi seni. Seni merupakan lingkup kecil yang menjadi salah satu unsur dari
budaya [bumi] sebagai bentuk kreativitas manusia dan ini bukanlah agama
[langit], maka melangitkan yang ada di bumi berarti bagaimana kreativitas
manusia dalam seni dan budayanya ini bisa menggugah kesadaran untuk lebih bisa
merasakan Gusti Allah [manjingke
iman] yang berarti seni dalam lingkup yang kecil yang tertampung dalam
lingkup besar budaya haruslah bisa menghaluskan rasa serta mematangkan jiwa.
Yang demikian itu, menurut saya berciri pada proses yang tidak instan bahkan
kelihatannya rumit karena memerlukan pengendapan [sebagai laku] sehingga dalam berkesenian pelaku
dan penikmatnya seakan mengalami kelambatan waktu [dengan efek mempercepat mencahaya].
Mungkin Panjenengan
bisa mengamati sendiri, di antaranya pada seni batik, kaligrafi, puisi,
pergelaran wayang kulit pakem dan lainnya, juga pada berbagai tradisi seperti
ruwatan, neloni, mitoni, tudun lemah, midodareni dan lainnya. Semua hal itu
sarat dengan berbagai tahapan dan sarat pula dengan kedalaman makna, tentu saja
bagi yang paham atau membuka diri untuk mau memahaminya. Di situlah letak kata
kunci bertasbih semua yang ada di langit dan di bumi, serta manusia [kholifah]
sebagi pusat orbitasinya dalam kerangka bertasbih pada Gusti Allah. Di situ ada
password untuk saling berinteraksi di
antara sesama makhluk dalam memayu
hayuning bawono, membawa rahmat bagi semesta alam yang pada ujungnya tiada
lain adalah mengabdi padaNya.
Monggo Panjenengan
dalami sendiri, sebab tak semua hal yang bersifat substansial bisa disampaikan
secara tekstual.
Meruhanikan materi
Kalau melangitkan
yang di bumi lebih pada menggerakan rasa untuk “ngeh” terhadap Gusti Allah
melalui peristiwa-peristiwa bumi sebagai sarananya, maka meruhanikan materi,
bagi saya berarti menggunakan rasa itu sebagai dasar atau pijakan untuk
mentransformasikan materi menjadi frekuensi cahaya. Pada dasarnya adalah
sama, yaitu menebar rahmat bagi semesta alam, mengabdi padaNya, bukan mengabdi
pada diri sendiri. Sederhananya adalah bagaimana menyerap rahmat untuk
ditebarkan lagi menjadi berkat bagi sesama dalam kata lain sebanyak mungkin
melayani orang lain sesuai kapasitas diri kita masing-masing dan sesuai apa yang
dititipkan kepada kita dalam kerangka pengabdian
kepadaNya.
Ini sebenarnya kan
masalah memindahkan materi agar tidak hanya melekat pada diri sendiri.
Sebagaimana air yang tersimpan di tandon masjid, tentunya air itu akan selalu
mengalir untuk dipakai berwudhu sehingga realitanya meski tandon itu
mengeluarkan isinya terus menerus tetapi secara terus menerus pula tandon itu
akan terisi kembali.
Jadi, meruhanikan
materi itu intinya adalah berbagi. Cateten yo rek… intine iku dadi uwong ojok
medit, dadio uwong sing loman marang liyan. Jangan berhitung, ingat saja
tandon wudhu, sebab inilah jalan taqwa, materi ditransformasikan menjadi
frekuensi, mencahaya, energi pun ditransformasikan menjadi frekuensi, mencahaya.
Cahaya itulah yang akan mengabadi dalam keabadianNya.
Beli nasi untuk makan
perut sendiri pun diniati berbagi rejeki dengan penjual nasinya. Dicurhati teman
tentang permasalahannya, diniati berbagi cahaya agar menjadi solusi baginya.
Pokoknya segala anugerahNya kita gerakkan untuk melayani sebanyak-banyaknya
orang. Jadi kalau misalnya kita diberi keberlimpahan rejeki oleh Gusti Allah,
belum tentu itu untuk diri sendiri, bisa jadi maksudnya Gusti Allah itu agar
kita berbagi menjadi saluran pertolonganNya. Tidak usah berhitung, sebab tiap
kesempatan berbuat BAIK ~ "tetulung", merupakan anugerah AGUNG dariNYA sebagai
LAKU pengejawantah WELAS~ASIH~NYA, menebar RAHMAT agar semoga menjadi
BERKAT.
Kira-kira
begitu.