Teringat hari Sabtu
bulan lalu tanggal 22 September 2012, saat memenuhi undangan kolega Almarhum
Ayah dalam rangka keberangkatannya menunaikan ibadah
Haji ke Tanah Suci Mekah. Di antara tetamu yang hadir, ada
seorang sepuh yang sudah berusia 81
tahun. Perawakannya kecil, kulitnya putih, rambutnya
juga sudah banyak yang berwarna putih keperakan, meski memakai kaca mata namun
penglihatannya masih jelas, intonasi suara juga masih tegas, serta
pendengarannya juga masih prima. Dalam perbincangan
dengan Beliau, Beliau menceritakan beberapa hal yang menarik bagiku karena pasti bertabur hikmah.
Tentu saja
dominasi cerita Beliau adalah tentang ibadah haji yang telah pernah
dilaksanakannya beberapa tahun yang lalu. Di antaranya
tentang makna sabar yang tidak hanya sebatas pada lisan namun yang terutama
harus pada hati, juga tentang kebersihan harta yang dipergunakan untuk membiayai
perjalan haji dan tentu juga tentang percepatan keseimbangan yang selalu terjadi
di tanah suci ~ begitu cepat menuai setelah menabur ~ yang baik atau pun juga
yang tak baik.
Pastinya ada juga cerita tentang
pertolongan yang entah siapa, bagai seorang pemuda, yang datang kepada Beliau
dan istri saat di kerumunan dan kemacetan sekian banyak orang di tanah suci,
seperti ada yang membimbing dan membuka jalan, hingga meski kelihatannya tak ada
sela tetapi kenyataannya bagai bebas hambatan. Mungkin terkait
juga dengan kesaksian beberapa tetangga yang pada saat Beliau melaksanakan
ibadah haji, selalu terdengar suara anak yang mengaji di rumah Beliau setiap
bakda Maghrib. Hal yang tak pernah terjadi sebelumnya
atau pun sesudahnya.
Dari kejadian
itu, ada satu cerita yang mungkin ada hubungannya dan mungkin pula tidak.
Cerita inilah yang paling berkesan bagiku, sejenak seperti
menelanjangi diriku dan memaksaku menahan diri agar tak tertunduk haru.
Tetapi sebagaimana biasanya, cerita ini tidak akan saya
bagikan kepada Panjenengan pada pargraf ini, namun tidak berlaku untuk paragraf
setelah ini.
Dulu saat
setelah menikah dan dikaruniai Gusti Allah seorang anak perempuan, Beliau ini
berkeinginan dengan sangat untuk memiliki seorang anak laki-laki. Maka kemudian Beliau ini bukan hanya berdoa namun juga bertirakat
untuk memastikan agar nanti anak keduanya
terlahir laki-laki. Maka benarlah sudah, apa
yang menjadi keinginannya tersebut dikabulkan Gusti Allah, anak kedua terlahir
laki-laki. Bahagia jelasnya, namun takdir berkata lain. Permohonannya untuk
mendapat anak laki-laki dikabulkan oleh Gusti Allah, namun hanya diberi jatah
ruang dan waktu di dunia ini hanya kurang lebih lima
belas menit, kemudian diminta kembali oleh Gusti Allah. Sedih memang, namun
Beliau tetap bersyukur bahwa seakan diingatkan oleh Gusti Allah tentang
kekeliruannya, memaksakan kehendaknya sendiri padahal apa yang diinginkan
belumlah tentu baik bagi dirinya, maka kalau pun toh dikabulkan pasti cobaannya
besar. Tidak ingin mengulang kekeliruan yang sama, maka
Beliau pun berserah diri kepada Gusti Allah, sumeleh, terserah Gusti Allah asal itu
yang terbaik dari sisiNya. Pada kehamilan istri Beliau
berikutnya, saat kelahiran ternyata dikarunia anak kembar ~ dampit ~ laki-laki dan
perempuan.
Wis ngono wae ceritaku.
Neng pancen Gusti Allah iku senengane ngono iku yo Mas ... Awake dewe njaluke mung siji neng leh maringi sak Polpole uwakeh ....
ReplyDeleteHe... he... he... leres...
Delete