Terus terang, diri
saya ini masih sering bersandiwara terhadap Gusti Allah. KepadaNYA, saya masih
seolah-olah, masih seakan-akan dan masih kelihatannya, belum yang sebenarnya.
Kelihatannya wajah saya menghadap, tetapi sesungguhnya membelakangi. Nyadar, maka saya tidak ingin
memperparah dengan melakukannya secara berramai-ramai, apalagi kalau saya yang
menjadi sponsornya. Bisa gawat keliwat-liwat.
Demikianlah yang terjadi kemarin. Di suatu acara di kampung, di
mana semua warga berkumpul, kebetulan saya dimintai tolong dan didapuk untuk memimpin doa. Terpaksa saya
mengeluarkan jurus suara sapi ~ emooooohhhhhhhhhhhh. Ndak mau saya. Iya ya iya,
tidak ya tidak, sesederhana itu antara ya dan tidak, namun yang tidak sederhana
adalah apa yang mendasari ya atau tidak itu. Boleh berBEDA, namun jangan ASAL
BEDA.
Bagi saya, doa adalah hal yang sangat pribadi antara manusia
dengan Tuhannya. Doa merupakan sebuah sapaan kepada Tuhan dalam bahasa sunyi
dari kedalaman relung hati. Doa tak mesti bersuara, sebab itu pikiran merupakan
doa juga, demikian pula dengan perasaan, terlebih lagi prasangka, termasuk juga
simbol, ia doa juga.
Gawatnya di situ.
Dalam acara-acara seperti itu doa pasti diacarakan. Masalahnya,
berapa persen sih yang benar-benar langsung menundukkan hati memohon kepada
Ilahi ? Kalau doa diseremonialkan, apakah itu bukan sebuah keterpaksaan ?
Kelihatannya saja berdoa, entah kenyataannya. Ini bukan tentang orang lain,
tetapi tentang diri saya sendiri. Saya tidak berani menjamin bahwa dengan
seremoni doa itu, hati saya langsung tunduk dan menghadapNYA. Lha kalau diri saya sendiri saja seperti
itu, kok disuruh memimpin orang lain ? Ya emoh to, dari pada menambah panjangnya daftar
sandiwara saya ?
Menghadap namun membelakangi.