Bumi dan langitKU tidak bisa menampungKU,
namun hati hambaKU yang beriman bisa menampungKU, begitu firman Allah dalam
hadits qudsiy yang saya tahu.
Itulah kehebatan manusia, sebaik-baik
ciptaannya Gusti Allah. Secara fisik, manusia sangatlah kecil ukurannya
bila dibandingkan keseluruhan alam semesta, namun secara metafisik, alam semesta
adalah bagian kecil dari diri manusia, di mana Gusti Allah tak akan tertampung
di alam semesta ciptaannya, namun justru bisa tertampung di hati manusia. Alam semesta (bumi dan langit) merupakan bagian dari manusia yang
menjadi kholifahnya Gusti Allah.
Dari ilmu titén yang
merasakan hubungan antara Tuhan, manusia dan alam semesta itulah orang Jawa
mengungkapkannya dalam bahasa yang sederhana namun penuh kedalaman makna dengan
istilah : Jagad
Cilik [dunia/semesta kecil] dan Jagad
Gêdhé [dunia/semesta besar] atau dalam bahasa lain disebut sebagai mikrokosmos [keberaturan kecil] dan makrokosmos [keberaturan besar].
Secara umum manusia diistilahkan sebagai jagad cilik, namun menurut saya manusia
juga bisa diistilahkan sebagai jagad
gêdhé tergantung dari posisi mana manusia itu sedang berada. Pada posisi di alam lahir yaitu alam yang tampak atau kasat mata,
manusia merupakan jagad cilik dan
alam semesta merupakan jagad
gêdhé. Namun pada alam batin adalah sebaliknya, manusia adalah jagad gêdhé dan alam semesta adalah
jagad cilik, tentu saja ini berlaku untuk manusia yang sudah dalam tahap jumbuhing kawulo lan Gusti atau wushul atau bersatunya penyaksian
terhadap Gusti Allah, sehingga dunia atau semesta menjadi kecil baginya sebab
yang sejatinya besar hanyalah Gusti Allah, ke mana pun dia menghadap yang tampak
hanyalah “wajah”nya Gusti Allah [QS 2:115].
Dalam salah satu pupuh
gambuh digambarkan : jembaring samudragung, tanpa tepi anglangut
kadalu, suprandene makasih gung manungsa iki, alas jurang kali gunung, neng
raganira wus katon [luasnya samudra raya, tiada bertepi sejauh mata
memandang, tetapi masih besar manusia ini, hutan jurang sungai gunung, di dalam
diri manusia sudah kelihatan ~Serat Cipto Waskitho~].
Pakubuwono IV menegaskan dalam salah satu baris tembangnya : tana
prabedanipun, jagad katon lan jagadireku [tak ada bedanya, dunia yang
terlihat mata dan dunia yang berada dalam dirimu].
Nah berhubung saya sendiri juga belum memahami apa sih sejatinya wushul itu, maka dalam tulisan ini yang
dimaksud dengan jagad cilik adalah
manusia.
Nafas
Kehidupan
Para sesepuh dahulu mengajarkan bahwa
penghubung antara jagad cilik dan jagad gêdhé adalah nafas sebab nafaslah
penanda adanya kehidupan dalam diri manusia. Sebab itu,
menyadari nafas adalah hal yang sangat penting. Menyadari nafas berarti menyadari kehidupan dan menyadari kehidupan
berarti menyadari yang memberi hidup. Maka bernafas tak
sekedar bernafas saja, melainkan harusnya tiada tarikan atau pun hembusan nafas
yang terlewat dari iringan dzikir kepadaNYA. Dengan
dzikir yang éling / ingat / sadar / taqwa, hati menjadi tenang walau itu bukan
tujuan. Dengan hati yang tenang biasanya kemuliaan
akhlaq mulai mengejawantah, perasaan
pun menjadi nyaman dan pikiranpun menjadi terang.
Seseorang yang hatinya tenang, perasaannya
nyaman dan pikiranya terang, bisa ditandai dari nafasnya. Nafasnya biasanya dalam dengan ritme yang teratur lambat.
Coba bandingkan misalnya dengan orang yang sedang dikuasai amarah, maka akan terlihat sekali perbedaannya, sebab orang yang sedang
dicengkeram amarah biasanya nafasnya pendek dengan ritme yang cepat. Apa yang terjadi di dalam diri manusia atau di jagad ciliknya itu akan dipancarkan ke
jagad gêdhé dan direspon dengan
memperkuat getarannya untuk kemudian dipancarkan lagi ke segala arah termasuk di
kembalikan lagi ke jagad cilik yang
menjadi sumber pancarannya.
Kalau jagad cilik
terkendali pancaran getarannya, maka jagad gêdhé pun akan demikian adanya sebab jagad gêdhé hanyalah merespon atau
meresonansi getaran yang ada di dalam jagad cilik. Jagad gêdhénya manusia itu adalah semua
yang ada di luar manusia, jadi bisa manusia lain, bisa juga udara atau air atau
yang lainnya, bisa juga rejekinya, kesehatannya dan seterusnya.
Jadi bagi seseorang yang belum terampil mengendalikan dirinya,
perasaanya atau pun pikirannya tetapi ingin berbenah diri menjadi lebih baik,
bertambah baik dan semakin baik, salah satu metodenya adalah dengan
mendisiplinkan diri untuk menyadari nafasnya namun bukan untuk mengingat nafas
itu sendiri melainkan dalam rangka merasakan kehadiran Gusti Allah, menyadarinya
dan mengingatnya setiap waktu sejumlah bilangan nafasnya.
Persangkaan
Setahu saya dalam sebuah Hadits Qudsiy, Gusti Allah berfirman :
”AKU tergantung prasangka hamba-KU terhadap-KU, dan aku bersamanya jika ia
mengingat-KU, jika ia mengingat-KU di dalam hatinya maka aku mengingatnya di
dalam hati-KU, dan jika ia mengingat-KU dalam suatu kelompok maka AKU
mengingatnya dalam kelompok yang lebih baik dari mereka, dan jika ia mendekat
sejengkal maka AKU mendekat padanya sehasta, jika ia mendekat sehasta maka AKU
mendekat padanya sedepa, dan jika ia mendekat pada-KU dengan berjalan maka AKU
mendekat padanya dengan berlari.”
Wow… itu merupakan suatu informasi yang luar biasa membahagiakan
sekaligus mengerikan. Membahagiakan, sebab setiap kondisi kebaikan kita akan direspon Gusti Allah dengan lebih baik dan lebih cepat
juga, mengerikan, sebab saya kira berlaku untuk hal yang sebaliknya. Apa yang
diinformasikan oleh Gusti Allah dalam hadits qudsiy tersebut, menurut pemahaman
saya, Di-bekerja-Kan Gusti Allah dalam sebuah mekanisme otomatis yang
diistilahkan oleh orang Jawa sebagai jagad cilik dan jagad gêdhé yang beberapa di antaranya
sudah saya tuliskan di paragraf sebelumnya.
Kata kuncinya adalah prasangka, ingat, hati
dan kelompok. Apa yang diberikan Gusti Allah
kepada makhlukNya pasti melebihi dari apa yang telah dipersembahkan oleh
makhlukNya.
.:: Ingat Gusti Allah bukan hanya dalam
pengertian misalnya ketika kita ditanya, “Namamu siapa ?”, kemudian kita
menjawabnya, “Fulan.”. Kita menjawab dengan menyebutkan nama kita karena kita memang ingat tentang nama kita. Itu
namanya mengingat [recall memory]
karena ada suatu sebab, bukan berkekalan dalam kesadaran setiap saat bahwa nama kita Fulan. Ingat Allah lebih pada konteks ingatnya
orang yang sedang jatuh cinta, jadi berkekalan kesadaran akan yang dicintai. Ingat Gusti Allah itu letaknya di hati,
sebab hatilah yang sejatinya rumah Allah yang dimampukan menampungNYA, maka saat
seorang manusia ingat kepada Gusti Allah, berarti Gusti Allah sedang “menempati”
rumahNYA atau dalam bahsa lain, Gusti Allah sedang mengingatnya juga. Inilah
mekanisme otomatisnya, bahwa saat jagad
cilik berselaras dengan Tuhannya, jagad gêdhé merespon dengan mendukung
secara total upayanya, sehingga seakan-akan kehidupannya diliputi banyak
kemudahan, bukan karena soalnya yang kemudian dimudahkan tetapi karena
kemampuannya dilebihkan melampaui soal yang disediakan untuknya.
.:: Hati dan akhlaq
Hati yang éling / ingat / sadar / taqwa / berselaras dengan
Gusti Allah akan melahirkan ekspresi kemuliaan akhlaq.
Misalnya akhlaq syukur, bisakah keluar dari hati yang lalai
? Tentu saja tidak. Jadi, semakin éling / ingat
/ sadar / taqwa hatinya maka akan semakin mulia
akhlaqnya, semakin sabar, semakin syukur, semakin ridho, semakin tawadhu dan
seterusnya. Saat jagad cilik mulia
ekspresinya, maka jagad gêdhé akan merespon dengan “tunduk” padanya dalam batas-batas
tertentu.
.:: Pikiran, perasaan dan
persangkaan
Apa perbedaan antara pikiran dan perasaan
? Kalau saya disuruh menjawab, saya akan jawab
tidak tahu karena memang tipis bedanya antara pikiran dan perasaan. Jawabannya pun saya kira merupakan jawaban yang subyektif, sebab
masing-masing orang pasti mempunyai argumentasinya sendiri-sendiri. Inilah pentingnya ilmu titén, bahwa setiap orang harus
menggunakan rahsanya untuk niténi dirinya sendiri agar ilmunya
tidak sekedar tahu tentang obyek ilmunya tetapi kalau bisa juga merasakan obyek
ilmunya atau bahkan seakan-akan menjadi obyek ilmu itu sendiri.
Untuk memahami perbedaannya, menurut saya kira-kira seperti
ini : urutkan mulai dari sumbernya.
Hatinya ingat sama Gusti Allah sehingga
tenang. Salah satu buahnya adalah munculnya akhlaq
syukur. Saat syukurnya keluar, biasanya seseorang akan bahagia. Nah, bahagia itu di perasaan atau di pikiran ? Saya kira di perasaan.
Saat perasaan bahagia, bagaimana kondisi pikiran ?
Kondisi pikiran saat perasaan bahagia saya kira salah satunya
adalah jernih.
Contoh sebaliknya, saat hati lalai dari Gusti Allah, bisakah
tenang ? Saya kira tidak bisa.
Hati yang kacau tidak akan mungkin berbuah akhlaq yang
mulia, yang muncul malah akhlaq tercela, seperti misalnya kufur. Saat kufur,
bisakah perasaan bahagia ? Saya kira
tidak bisa, bisanya galau. Dalam kondisi perasaan galau, pikiran pun
akan kacau.
Jadi, menurut saya, kualitas pikiran itu
tergantung dari kualitas perasaan dan tidak untuk sebaliknya. Baiknya
perasaan akan membaikkan pikiran, namun tidak untuk
sebaliknya. Perasaan adalah persangkaan kita pada Gusti Allah yang akan dibuktikan kepada kita olehNYA. Mekanisme otomatisnya
adalah bahwa saat jagad cilik
memancarkan getaran perasaan yang baik, maka jagad gêdhé akan merespon dengan melipatgandakan getaran perasaan itu
menyebarkannya ke segala penjuru dan mengembalikan lagi kepada jagad cilik, berlaku juga sebaliknya.
Baik yang kita rasakan, baik pula yang akan kita
terima. Buruk yang kita rasakan, buruk pula yang akan
kita terima.
.:: Kelompok itu saling menguatkan
antar anggota kelompoknya. Kalau baik, akan saling
menguatkan kebaikannya, demikian juga kalau buruk akan semakin mengutkan pula
keburukannya. Kalau mengingat Gusti Allah dalam kelompok, maka Gusti Allah pun
akan mengingat dalam kelompok yang lebih baik. Baiknya
jagad cilik yang satu bertemu dengan
baiknya jagad cilik yang lain
mempunyai pancaran getaran kebaikan yang lebih kuat dan akan direspon jagad gêdhé akan merespon dengan
melipatgandakan getaran kebaikan itu menyebarkannya ke segala penjuru dan
mengembalikan lagi kepada masing-masing jagad cilik. Lha kalau sekarang yang buruk
berkelompok seperti misalnya korupsi berjamaah dengan dibuatkan aturan yang
legal ??? Apa jadinya ???
Contoh
kasus
~ Jagad gêdhé ->
rejeki. Seorang pimpinan perusahaan mengatakan kepada seluruh
anak buahnya pada akhir tahun, bahwa perusahaan belum bisa membagikan bonus
karena mengalami kerugian. Kenyataannya sebenarnya
perusahaan untung. [Hatinya lalai, akhlaqnya kufur, merasa kekurangan
jika membagi bonus kepada anak buahnya, pikiran pun memutuskan membuat
pernyataan kerugian] Getaran perasaan kekurangan dan pikiran
merugi memancar ke jagad gêdhé,
direspon, diperkuat dan dikembalikan lagi. Akibatnya
pada tahun-tahun berikutnya perusahaan benar-benar merugi hinga pada titik yang
ekstrem.
~ Jagad gêdhé ->
peralatan elektronik. Ada seorang menjadi pelanggan dari sebuah layanan jasa digital printing dating dengan perasaan
galau dan pikiran kacau, karena tergesa-gesa oleh suatu keadaan yang sebenarnya
salahnya sendiri yang tidak mau prepare. Bawaanya marah melulu,
ingin cepat dan didahulukan. Bukannya malah cepat
selesai malah lambat, sebab pancaran getaran perasaan dan pikirannya begitu
buruk sehingga mempengaruhi peralatan elektronik yang melayaninya.
Tiba-tiba saja koneksi intranetnya terputus, komputernya hang, printernya ngadat dan sebagainya.
~ Jagad gêdhé ->
manusia lain. Seseorang yang ringan tangan, mengabdikan
dirinya untuk melayani orang laian sebatas kemampuan dan kewenangannya.
Ternyata, di manapun dia berada, saat mengalami kesulitan
pasti ada saja yang memberikan perotolongan, bahkan dari orang yang tidak
dikenal sekalipun.
~ Silahkan Panjenengan amati sendiri
berbagai peristiwa di sekitar Panjenengan yang merupakan mekanisme otomatis jagad cilik dan jagad gêdhé.
UJI COBA
Sebagaimana pada catatan sebelumnya :
#3 Ahsanu Taqwiim di http://denmasbagus.blogspot.com/2012/06/3-ahsanu-taqwiim.html saya ingin mengajak Panjenengan membuktikan sendiri bahwa
perasaan dan pikiran Panjenengan bisa mempengaruhi alam secara nyata, bisa
dilihat mata kepala.
.:: Uji Coba Pertama
Lihat ke langit, lihatlah awan yang berarak di sana. Pilih salah satu gumpalan
awan. Tenangkan hati dengan menyadari keluar masuknya
nafas beberapa saat. Tenangkan pula perasaan, pandang
awan tersebut, kemudian niatkan dan bayangkan saja di pikiran bahwa awan
tersebut terbelah-terpisah atau bisa juga Panjenengan niatkan dan bayangkan awan
tersebut berlubang. Pandangi terus dengan tenang,
pasrah dan tidak usah memaksakan harus terjadi.
Insya Allah, awan tersebut akan
terbelah atau berlubang sesuai yang Panjenengan niatkan. Semakin tenang, semakin
pasrah dan tidak memaksakan harus terjadi, maka akan
semakin cepat terjadinya.
.:: Uji Coba Kedua
Ambil HP Panjenengan, pilih salah satu nama dan nomer yang
tersimpan di HP tersebut yang mempunyai kedekatan emosional dengan Panjenengan,
nama yang Panjengan pilih juga harus punya nomor Panjenengan di HPnya dan yang
harus terpenuhi adalah bahwa orang itu masih hidup he… he… he… Tenangkan hati dengan menyadari keluar masuknya nafas beberapa
saat. Tenangkan pula perasaan, bayangkan seseorang
tersebut di pikiran beberapa saat dan niatkan agar seseorang tersebut
menghubungi Panjenengan melalui SMS atau pun telepon. Setelah itu,
pasrah, lupakan dan jangan memaksa untuk terjadi, lalu lihatlah apa yang akan terjadi. Beberapa kawan yang saya ajak
melakukan uji coba tersebut ada yang kurang dari lima
belas menit langsung disms, ada yang empat jam kemudian, ada yang berselang
beberapa jam di hari yang sama dan ada juga yang baru keesokan harinya.
He… he… he… sebenarnya masih banyak uji coba
lain, tapi tidak usahlah saya sampaikan, nanti Panjenengan malah asyik
bermain-main dengan itu malah lupa dengan esensinya dan lagi bisa-bisa
Panjenengan nanti malah jadi “dukun”.
-----------
Dari kedua uji coba sederhana itu, saya ingin menunjukkan bahwa
sebenarnya meski kita tidak menyadarinya, selalu ada interaksi dan juga koneksi
antara jagad cilik (diri kita : hati,
perasaan, pikiran dan tindakan) dan jagad
gêdhé (semua yang ada di luar diri kita). Jagad gêdhé hanya meresonansi apa yang terjadi pada jagad cilik. Maka mengapa kita enggan
memilih menjaga hati, perasaan, pikiran dan tindakan kita untuk hal yang
baik-baik saja ? Hal yang buruk tidak hanya merusak
keharmonisan alam semesta, bumi dan langit yang kita tempati, namun yang paling
dekat sesungguhnya hati, perasaam, pikiran dan tindakan yang tidak terjaga hanya
akan merusak kehidupan kita sendiri.
[QS 10:44] Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia
sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat
zalim kepada diri mereka sendiri.
Dari beberapa hal yang telah saya sampaikan pada catatan ini
maupun catatan sebelumnya, menurut saya kira-kira kita semua dapat niténi bahwa saat alam mulai menggeliat
dengan berbagai bentuknya berarti akumulasi pancaran getaran hati, perasaan,
pikiran dan tindakan manusia yang lalai kepada Gusti Allah sudah sedemikian
parah sehingga jagad gêdhé bereaksi
untuk menyeimbangkan kembali dirinya agar harmonis. Namun saat suatu kaum di
suatu wilayah sudah sedemikian “kacau”nya tetapi alam belum juga menggeliat,
dapat dititéni juga bahwa biasanya di
wilayah itu masih ada manusia-manusia utama yang menjadi kekasihnya Gusti Allah,
hatinya tak berjarak dari Tuhannya, sehingga alam masih setia mengorbit padanya.
Saat ketentuan Gusti Allah sudah sampai saatnya, maka biasanya manusia-manusia
utama kekasihnya Gusti Allah tersebut akan meninggalkan
kaum di wilayah itu dan jadinya alam pun mulai menunjukkan geliatnya.
Akhirnya, setiap diri kita memang seharusnya selalu éling lan
waspädä [ingat/sadar/taqwa dan waspada]. Apa maksud
dari éling lan waspädä itu, jangan ke
mana-mana, tetaplah waspada hahahahahahaha…….
Nanti saya lanjutkan lagi.
Top markotop mbah mbagus... Tetep n terus mbah...salam knl.
ReplyDelete@ochimhe... he... he... alhamdulillah... ora melu nduwe. Salam kenal juga.
ReplyDeleteas kum wb. Mt pagi mbah...smg sht wl aft sll.
ReplyDeleteMbah mbagus...tolong sy d ajak khusushiy dong...? Apa bs ya?
@ochimAamiin, matur tengkyu doanya. Bisa. Kontak saya aja.
ReplyDeletemet sore. Mbah mbagus...
ReplyDeleteKontakx brp no.x mbah...ini no.ku mbah 03133563699
Bacaan yg bermanfaat _salam kenal jg mas bagus
ReplyDeleteAlhamdulillah... matur nuwun
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete