Ternyata saya manusia. Berbeda dengan malaikat yang pasti
taat dan berbeda pula dengan iblis yang pasti
anti cahaya sebagaimana perannya. Sebagai manusia, saya juga harus titén tentang kemanusiaan saya, bahwa manusia itu merupakan makhluk yang tidak pasti, karena Gusti Allah memberi kebebasan untuk memilih. Kadang saya baik, kadang pula tidak baik. Kadang taat, kadang juga maksiat. Kadang sadar, kadang lalai juga. Maka saat jauh dari taat atau apalagi bila terasa nikmat saat bermaksiat, harus niténi kalau saat itu adalah saat-saat Gusti Allah tak mau melihat padaku dan pastinya sedang menghina diriku.
Namun demikian, kalau
niténi
sesuai kitab suci [QS 95: 4], manusia itu merupakan makhluk Tuhan yang terbaik, masterpiece ciptaan Gusti Allah. Manusia adalah makhluk yang diciptakan Gusti Allah dengan sebaik-baik bentuk, sebaik-baik ciptaan, sebaik-baik kemulian, sebaik-baik potensi, sebaik-baik kemungkinan dan sebaik-baik lainnya. Manusia dipilih dan mengambil pilihan sebagai kholifahnya Gusti Allah di muka bumi.
Sebagai kholifah, berarti manusia menjadi nucleus dari semesta, yang berarti pula bahwa seluruh makhluk lain dalam arti semesta ciptaan-Nya berkiblat atau mengorbit pada lintasan yang manusia menjadi pusatnya. Sebab itulah manusia harus mengorbit pada nucleus jiwanya sendiri, manusia harus thawaf mengelilingi “rumahnya” Gusti Allah dalam dirinya dengan berdzikir secara terus menerus kapan pun dan di mana pun, agar semesta tetap terjaga lintasan orbitnya dengan tetap thawaf mengelilingi manusia. Jadi kunci
pengikat keterjagaan harmonisasi alam semesta itu terletak pada dzikirnya manusia kepada Gusti Allah.
Kenapa kok
dzikir
? Karena dengan dzikir itulah manusia menjaga kesadarannya untuk tetap terhubung kepada Gusti Allah, sehingga kekholifahan yang dilimpahkan oleh Gusti Allah dijalani dalam rangka mengabdi kepadaNYA dengan benar-benar berusaha memproduksi kebaikan sebagai rahmat untuk seluruh alam, namun sebaliknya, saat dzikir lepas dari kesadaran diri, maka kekholifannya cenderung manipulatif dan destruktif, menyerap segala hal untuk dirinya sendiri yang tentu saja akibatnya adalah merusak, merusak dan merusak tatanan alam yang ada.
[QS 45:13] Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir.
Maka dalam batas-batas tertentu, manusia sangat berpengaruh dan dapat mempengaruhi alam semesta, terutama bumi yang ditinggalinya. Mengapa
dalam batas-batas tertentu ?
Sebab meskipun Gusti Allah telah menginformasikan bahwa semua yang ada di langit dam di bumi ditundukkan bagi manusia, tetaplah bukan ketertundukan mutlak dalam arti bahwa manusia tidak bisa mengatur atau menggerakkan alam semesta dengan semau-maunya, tetapi apa yang terjadi dalam diri manusia yaitu apa yang terjadi pada perasaannya, pikiran dan tindakannya sangat berpengaruh terhadap keseimbangan atau pun harmoninya alam semesta. Ini yang harus diperhatikan, sebab manusia memang sangat berpotensi untuk merusak sebagaimana dipertanyakan oleh malaikat saat Gusti Allah menetapkan manusia menjadi kholifah di bumi-Nya [QS 2:30].
Tindakan nyata manusia dalam realitas fisik sudah jelas akan terlihat apakah akan menjaga keseimbangan alam ataukah mengganggunya, apakah menjaga ketersedian sumber daya alam ataukah malah menghabiskannya dan seterusnya. Namun yang tidak terlihat secara langsung sebelum tindakan nyata dalam realitas fisik itulah yang harus diwaspadai, yaitu perasaan dan pikirannya.
Manusia sebagai sebaik-baik ciptaan memang sangat luar biasa, dalam arti bisa luar biasa baiknya atau sebaliknya luar biasa jeleknya. Manusia tak akan
mencapai derajad Ahsanu Taqwiim, selama tidak memuliakan akhlaqnya dan tak akan mulia akhlaqnya jika tak pernah éling / ingat / sadar / taqwa akan Tuhannya. Manusia yang
berusaha selalu éling / ingat / sadar / taqwa pada Gusti Allah, biasanya mempunyai hati yang tenang. Dengan ketenangan hati itulah biasanya muncul buahnya berupa akhlaq yang mulia : akhlaq kepada Tuhan, akhlaq kepada sesama manusia dan akhlaq kepada sesama makhluk ciptaan Tuhan. Dari akhlaq yang mulia itulah akan terpancar getaran perasan yang baik yang pastinya, akan mempengaruhi pikiran untuk ikut baik juga yang pada akhirnya terwujud dalam tindakan nyata yang baik pula.
Dalam realitas fisik, apa yang terjadi di dalamnya tidak hanya karena tindakan secara fisik saja, melainkan juga karena dipangaruhi oleh pancaran getaran perasaan dan pikiran manusia. Itulah yang pada paragraf sebelumnya saya sebutkan bahwa dalam batas-batas tertentu, manusia sangat berpengaruh dan dapat mempengaruhi alam semesta, terutama bumi yang ditinggalinya.
Hal ini tidak lepas dari kesadaran manusia untuk memilih berada di zona Force ataukah zona Power. Tentang kedua hal tersebut di baca di catatan saya yang berjudul : Benang
MERAH di
http://denmasbagus.blogspot.com/2012/02/benang-merah.html
Saya ingin mengajak
Panjenengan membuktikan
sendiri bahwa perasaan dan pikiran Panjenengan bisa mempengaruhi alam secara nyata, bisa dilihat mata kepala. Tetapi nantilah pada tulisan berikutnya. Penasaran
? Tetaplah penasaran…
hehehehe…
Masih berlanjut.
tp mbah...manusia jg hrs menyadari bhw dia adalah makhluk yg "a'jazu taqwiim"...
ReplyDelete@ochimHo'o bener
ReplyDelete