Alhamdulillah, alhamdulillah dan alhamdulillah…
Malam Rabu kemarin, tanggal 5 Juni 2012, saya
berkesempatan menghadiri undangan TurBa Thoriqoh Syadziliyyah Pondok PETA
Tulungagung yang bertempat di Mushola Abi Hasan, Jl. Karangan II/38 Wiyung
Surabaya. Purbo
waseso thoriqoh, demikian kemarin diistilahkan berada di tangan Kyai DIAN
yang menjadi sayap kanan Mursyid, untuk menata dan membenahi semua murid
Syadziliyyah PETA. Sepengetahuan saya, dalam bahasa
Jawa, kalau utusan sudah diberi purbo
waseso berarti utusan itu mempunyai wewenang mutlak dalam tugasnya
sebagaimana yang mengutusnya. Atas seijin Mursyid pula Beliau membentuk
sebuah tim yang membantu secara penuh tugas-tugasnya.
Namun nama-nama beliau-beliau yang di Tim Turba itu, saya tidak hapal dan tidak
akan saya sebutkan dari pada salah. Yang jelas beliau-beliau itu hebat-hebat semua, putra kyai / tokoh
sepuh Syadziliyyah PETA. Yang saya hapal cuma satu,
Kang Wasik. [Tulisan ini juga
seijin Kang Wasik] Secara teknis, penataannya apa
saja, saya kira masing-masing ketua kelompok atau pun imam khususiyah yang
nantinya akan menyampaikan kepada jamaah semua.
Acara diawali dengan pendataan tiap-tiap
kelompok khususiyah yang ada. Setelahnya, acara
tersebut dibuka dan diawali oleh Kang Wasik tentang maksud dan tujuan Turba
tersebut. Sebagaimana yang sudah sering disampaikan
oleh Kang Wasik, yang kali ini disampaikan lagi sebagai bentuk pengingat dan
penegasan adalah tentang robithoh,
yaitu menyambungkan ruhani murid kepada Mursyidnya. Kunci berthoriqoh ada di robithoh ini, maka siapa tidak paham
tentang robithoh berarti tidak paham pula tentang thoriqohnya. Di
Syadziliyyah PETA sebagimana yang sering didawuhkan oleh Mursyid, robithoh hanya
ada 2 macam, yaitu yang pertama adalah robithoh di dalam
dzikir, dimana saat tawasul – fatihah, tidak boleh membayangkan wajah Mursyid.
Robithoh yang kedua adalah mengingat-ingat apa yang pernah didawuhkan oleh Mursyid,
mengingat-ingat itu sendiri dalam arti luas juga termasuk didalamnya adalah
melaksanakan dawuh itu sendiri. Sehingga kalau robithoh ini tidak dilakukan, berarti putuslah hubungannya dengan
Mursyid. Kang Wasik, juga menyampaikan sebagimana dawuh gurunya, bahwa semestinya kita ini
harus sangat bersyukur mempunyai Mursyid orang Jawa, yang welas asihnya begitu
luar biasa, hingga bagaimana pun muridnya tetap dinanti, ditanya apa maunya dan diberi kesempatan. Coba kalau bukan orang
Jawa, bisa jadi lain. Di sana, bahkan murid itu halal
darahnya bagi seorang Mursyid, kalau murid tidak ada manfaatnya baik di dunia
atau pun di akhirat ya lebih baik dibuang saja, dibunuh. Dawuhnya Yai juga, tanda seseorang itu
thoriqohnya jalan atau tidak bisa dilihat dari akhlaknya. Semakin baik
berthoriqohnya, maka akhlaknya pun akan semakin baik
pula. Bila tidak demikian, berarti thoriqohnya tidak jalan,
bisa jadi karena sambungannya putus, sehingga ilmunya Mursyid tidak bisa
diterima.
.:: Saya jadi ingat kisah Nabi Khidir
dan Nabi Musa, saat Nabi Khidir membunuh seorang anak kecil yang kemudian
diprotes oleh Nabi Musa yang berpegang pada kaidah syariat. Mungkin seperti itu. ::.
Setelah pembukaan yang intinya sebagaimana di
atas, acara dilanjutkan oleh Tim TURBA (kalau tidak salah Kyai Subkhan) dengan
menyampaikan beberapa dawuh YAI yang sangat erat berkaitan dengan
dilaksanakannya TURBA tersebut.
YAI sudah menunggu selama tujuh tahun, namun
rupanya kok masih belum ada perbaikan yang berarti dari para murid dalam
menyambungkan ruhaninya kepada Mursyid. YAI itu tahu
persis dan menerima semua Al-Fatihah yang dikirimkan oleh para muridnya.
Semuanya itu ditampung oleh YAI dan kemudian diangkat ke
langit menghadap Gusti Allah. Oleh Gusti Allah, semua itu diganti dengan
limpahan NUR yang luar biasa. Namun saat NUR itu oleh YAI
dikembalikan kepada semua murid yang telah mengirimkan Fatihah, ternyata
limpahan NUR itu banyak yang tidak sampai, sebab murid putus hubungan ruhaninya
dengan Mursyid. Hal itulah yang membuat YAI sangat
berprihatin. Sebab rasa cinta dan welas asih YAI yang
begitu besar itulah, maka YAI masih memberi kesempatan kepada semua murid, untuk
menyambungkan kembali ruhaninya kepada Beliau. Hakikinya, manakala sambungan itu putus, maka terputus pula dengan
mursyid-mursyid sebelumnya, berarti pada akhirnya putus juga sambungannya dengan
Kanjeng Nabi Muhammad dan berarti pula putus juga sambungannya menuju kepada
Gusti Allah.
.:: MENYERAMKAN, semoga saya dan
Panjenengan termasuk yang segera menghubungkan dan terhubung, menyambungkan dan
tersambung kepada MURSYID. Saya jadi ingat, sepengetahuan saya
bahwa dalam thoriqot itu tidak hanya dijanjikan, namun bahkan murid itu dijamin
oleh Mursyidnya. Lha kalau
muridnya sendiri yang memutuskan hubungan, ya tentu saja tidak akan menerima jaminan itu. Seperti yang
disampaikan, bisa kita lihat bahwa Mursyid tidak pernah memutuskan hubungan itu,
muridnya selalau dibimbing, dipandu dan didoakan, sebab cinta dan kasih
sayangnya yang begitu besar kepada para muridnya. Murid
itu sendirilah yang sadar atau tidak, tahu atau tidak telah memutuskan hubungan
itu. Saya jadi ingat juga, bahwa Kanjeng Nabi Muhammad
itu tahu persis dan menerima shalawat dari ummatnya, sekaligus membalas shalawat
itu kepada ummatnya juga. Pewaris ruhani Beliau,
Kanjeng Nabi Muhammad pasti juga seperti itu juga. Mursyid yang kamil
mukammil, pasti tahu persis kondisi semua muridnya, tahu persis siapa yang
menghadiahkan Fatihah kepadanya, mampu mengangkatnya di hadapan Gusti Allah dan
mengembalikannya lagi dengan limpahan cahaya dari gusti Allah. ::.
Ada seorang muslim dan mukmin yang taat pada masanya Nabi Isa a.s. Kemudian Nabi Isa mengabarkan tentang akan turunnya Nabi setelah Beliau yaitu Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Nah pada saat Kanjeng Nabi Muhammad sudah diangkat oleh Allah menjadi Nabi dan Rasul, kemudian si muslim dan mukmin taat tadi tidak mau mengikuti syariat Islam yang dibawa Kanjeng Nabi Muhammad, apakah masih bisa dia disebut seorang muslim dan mukmin ? Tentu saja tidak, sebab dia telah mengingkari apa yang telah digariskan oleh Gusti Allah.
Mursyid dan penggantinya, dalam arti Mursyid berikutnya demikian juga adanya. Tidak usah diperbandingkan, sebab merupakan penerus dan tentu saja membawa risalahnya sendiri sesuai kewenangannya.
YAI juga dawuh kalau santrinya itu banyak yang ngerasani bahwa YAI itu ke mana saja, sedang ngapain, kok ditemui sulit sekali, kenapa kok tidak ada baiatan dan sebagainya. Nah... berbagai pertanyaan itu dibalik oleh YAI, "Lha kamu sendiri lagi ngapain ?".
.:: Sebuah pertanyaan yang telak bagi yang SADAR. Kalau YAI begitu tidak usah ditanya sedang apa dan ada di mana. Sebab PASTI dan JELAS sedang bersama Gusti Allah dan ada di hadapannya Gusti Allah. He... he... he... yang sama sekali tidak jelas itu kan kita sendiri. Kira-kira begitu. ::.
Beberapa pertanyaan sederhana dari YAI
disampaikan oleh Tim TURBA. Pertanyaannya sederhana,
namun untuk menjawabnya saya kira perlu kejujuran dari laku thoriqoh saya dan
Panjenengan selama ini.
Sesungguhnya di PETA itu diajari apa
?
Sudah berapa lama ?
Hasilnya apa ?
Thoriqoh itu apa ?
YAI itu setiap hari rutin treadmill, dawuhnya, setahun saja umpamanya, ototnya pasti terbentuk / dempal dan perutnya six pack. Thoriqoh semestinya ya sama, harus ada hasilnya, tidak hanya kelak di akhirat naum
juga di dunia ini bisa dirasakan hasilnya.
Kembali ke pertanyaan tersebut di atas,
silahkan dijawab sendiri, namun ada beberapa contoh jawaban yang
terlontar. Kalau hasil thoriqoh itu bisa terbang, bukankah di luar sana
banyak juga yang bisa terbang tanpa berthoriqoh ? Bisa
nyuwuk ?
Dukun-dukun itu juga bisa nyuwuk tanpa berthoriqoh. Berarti bukan itu hasilnya. Ada yang
menjawab, hasilnya adalah hati bisa tenang. Dijawab oleh YAI, “Itu kan
kamu ? Lha istrimu ?”.
.:: Rasanya pertanyaan itu harus terus
kita lanjutkan sediri, lha anakmu, tetanggamu, ummatmu, bosmu, karyawanmu dan
seterusnya. Dari pertanyaan lanjutan itu, menurut saya,
berarti bahwa berthoriqoh itu tidak hanya untuk membaikkan diri kita sendiri
tetapi harus berpengaruh juga secara nyata kepada orang-orang terdekat kita dan
terus melebar ke lingkup yang lebih luas dan semakin luas. Salah satu
tanda thoriqoh seseorang itu jalan adalah akhlaknya yang semakin baik dan
berarti, menurut saya, pada level yang lebih dalam lagi, kebaikan akhlak itu
mampu mempengaruhi orang lain untuk lebih baik juga akhlaknya. ::.
Kemudian disampaikan bahwa semestinya
berthoriqoh itu mampu membuat hatinya semakin cerdas, akalnya semakin cerdas,
akhlaknya semakin baik hingga ke maqom Ihsan, semakin sabar, semakin syukur,
semakin tawadhu’ dan seterusnya sebagaimana yang dicontohkan oleh
YAI.
Kanjeng Nabi Muhammad itu mestinya tahu, bahwa perang Uhud akan menerima kekalahan. Namun karena
Ihsannya itulah tetap dijalani, waktunya kalah ya kalah, begitu saja.
Coba kalau kita yang perang, kemudian diberitahu Gusti Allah bahwa akan menerima
kekalahan, apa yang akan kita lakukan ? Tetap maju
perang atau malah mundur ? Kalau Kanjeng Nabi, tetap
maju perang meskipun tahu kalau akan kalah, sebab
ridhonya Gusti Allah ada di kekalahan yang harus dijalani itu. Lha kalau kita
? Jangankan perang, tidak punya uang saja tidak bisa
sabar, terus mengeluh, setiap orang diberitahu kalau sedang tidak punya
uang. Makanya belajar sabar. Sabar itu ngêmpêt
(menahan).
Kembali lagi ke pertanyaan di atas, thariqoh itu apa ? Thoriqoh itu jalan. Jelan ke
mana ? Jalan menuju Allah.
Siapa yang tahu jalan itu ? Tentu
saja Mursyid. Maka singkat kata, thoriqoh itu manut/taat pada Mursyid. Semua dawuh Mursyid
jangan disanggah, jangan dibantah dan jangan pula dipertentangkan dengan
kitab. Semua dawuh Mursyid mutlak menjadi
hukum.
Syaikh Abil Hasan asy-Syadzili itu sejak masih
kecil sudah menjadi wali, ahli fiqih, ilmunya tinggi, namun Beliau tetap mecari
dan membutuhkan Mursyid untuk membimbingnya. Maka saat
pertama mau sowan kepada Mursyidnya, yaitu Syaikh Abdus Salam al-Masyis, semua
keilmuannya ditanggalkan dan kewaliannya diletakkan.
Dikisahkan pula dalam TURBA kemarin, kisah
salah seorang Kyai besar [tidak saya sebutkan namanya] yang tergerak mencari
Mursyid saat membaca Q.S. Al Kahfi 17. Kyai ini menacri
petunjuk ke seorang Kyai juga di Kediri dan ditunjukkan untuk meminta baiat
kepada Syaikh Mustaqim di Tulungagung. Namun saat sowan
ke Syaikh Mustaqim, Beliau mengatakan bahwa tidak bisa mengajarkan yang diminta,
tetapi kalau mengajar silat bisa. Kyai itu kemudian
diminta menemui seorang kyai salah satu murid Syaikh Mustaqim yang dikenal
bodoh, mantan dukun santet. Kyai besar ini sambil nggerundel di hatinya mengatakan masa
kyai pinter kok disuruh menemui kyai bodoh. Namun demi mendapatkan mursyid tetap dijalani juga. Yang
membuat terkejut, saat bertemu kyai yang ditunjukkan oleh Syaikh Mustaqim, kyai
murid Syaikh Mustaqim itu langsung mengawali pembicaraan dengan kalimat, “Ada
apa kyai pinter kok menemui kyai bodho ?” Maka kemudian dijelaskanlah bahwa sesungguhnya Syaikh Mustaqim
itulah gurunya, lalu kenapa Kyai besar tadi tidak diterima oleh Syaikh Mustaqim
disebabkan bahwa saat itu masih membawa ilmunya, masih membawa
kekyaiannya. Tapi akhirnya Kyai besar tersebut berbaiat
kepada Syaikh Mustaqim setelah menanggalkan kekyaiannya dan
keilmuannya.
Jadi jangan sampai merasa wah jadi ketua
kelompok, merasa wah jadi imam khususiyah, merasa wah karena menjadi tokoh dan
jamaahnya banyak. Karena baru merasa itu saja bisa
menyebabkan berkaratnya hati yang akhirnya bisa menyebabkan putusnya sambungan
kepada YAI. Sebab thoriqoh itu miliknya YAI, bukan
milik ketua kelompok, bukan milik imam khususiyah dan juga bukan milik tokoh
tertentu.
Ayat Qur’an itu tidak pernah dan jangan pernah dibatalkan, namun
diserap sesuai kadar ilmu masing-masing. Maka saat suatu ayat itu diserap oleh ahli fiqih, bisa jadi dalil
syariat. Di sisi yang lain, ayat yang sama bisa
jadi mejadi suwuk bila diserap
seorang ahli ilmu hikmah. Begitu juga kalau yang menyerap orang lain sesuai
dengan kadar keilmuannya sendiri.
Dawuhnya YAI jangan pernah dibatalkan,
jangan disanggah, jangan dimentahkan dan jangan dipertentangkan dengan
kitab. Dawuhnya YAI menjadi hukum yang mutlak
bagi semua muridnya.
Zakat itu sederhana, cuma memindahkan sebagian harta ke tempat
lain, tanpa berwudhu tetap sah, tanpa meutup aurat pun sah, jadi ini
kelihatannya urusan duniawi, namun karena yang membawa risalah zakat itu adalah
Kanjeng Nabi Muhammad yang diutus oleh Gusti Allah, maka zakat itu bukan hanya
urusan duniawi namun juga ukhrowi. Meski sederhana dalam
pelaksanaannya, zakat tetap ada prosedur hitungannya dan itu harus
dilaksanakan.
Sultan Agung 78 itu dawuh dari YAI, mutlak menjadi hukum
yang harus dilaksanakan, bukan semata urusan duniawi. Sebab
ada juga tokoh yang mengatakan SA78 itu urusan duniawi, tidak penting, yang
penting adalah thoriqohnya yang harus dijalani. Itu
keliru dan bisa menyebabkan putusnya hubungan dengan Mursyid. Kalau ada ketua kelompok / imam khususiyah / tokoh yang membatalkan
dawuhnya YAI berarti memutus hubungan
dengan Mursyid dan kalau sebab itu ada jamaahnya yang mengikuti berarti ikut
terputus juga hubungannya kepada Mursyid. Jamaah yang
seperti itu ibarat naik di dalam gerbong kereta, dimana di dalamnya masih bisa
merasakan fasilitas yang ada dalam gerbong dan seakan-akan berjalan bersama
gerbongnya Mursyid, namun kenyataannya tidak. Gerbongnya terputus dan tertinggal dari rangkaian gerbong Mursyid
yang terus melaju.
YAI itu ibarat samudera [cahaya, ilmu,
barokah, dll] yang kemudian mengalirkan airnya ke telaga-telaga ketua kelompok
dan imam khususiyah yang kemudian mengalirkannya lagi ke persawahan para
jamaah. Manakala telaga-telaga itu menutup aliran air dari samudera, maka
bukan hanya telaga itu sendiri yang akan menjadi
kering, namun juga persawahan yang menginduk kepadanya. Jadi kalau mencari
sumber air, jangan berhenti hanya sampai di telaga saja, nanti dapatnya ya hanya
sebatas yang ada di telaga itu saja yang nantinya pasti akan kering.
Inilah saat terbaik untuk kembali menyambung
kembali hubungan ruhaniah dengan Mursyid, senyampang Mursyid masih menunggu dan
memberi kesempatan dengan memerintahkan menata kembali baik wirid thoriqohnya
maupun wirid SA78-nya. Bagi yang akan atau yang
sudah berbaiat, diperiksa kembali pondasinya, dikuatkan dulu dan diriyadohi.
Nanti setelah kurang lebih satu tahun baru boleh berbaiat,
yang diibaratkan seperti bangunannya, baru nanti dipagari dengan hizb-hizb yang
ada. Demikian juga dengan wirid SA78-nya, dijalani dan
ditaati prosedurnya sebagaimana yang telah ditetapkan.
.:: Mengingat kembali dawuhnya Mursyid
sebagaimana yang pernah dan sering disampaikan oleh Kang Wasik, bahwa orang
thoriqoh itu harus : 1. Bekerja, 2. Bermasyarakat dan 3. Ber-khususiyah. Berkaitan dengan terputusnya hubungan
ruhaniah murid dengan Mursyidnya karena tidak melakukan robithoh sebagaimana
disampaikan pada awal acara TURBA tersebut, saya jadi ingat apa yang pernah
disampaikan Kang Wasik saat khususiyah tanggal 7 Agustus 2011 yang lalu, bahwa
dulu Bu Nyai pernah bertanya kepada almarhum Syaikh Abdul Jalil tentang
bagaimana bila seorang murid tidak menjalani thoriqohnya ? Syaikh Abdul Jalil
pun menerangkan bahwa bila ada murid yang tidak menjalankan thoriqohnya itu
biasanya kalau diberi sakit oleh Allah akan sulit
sembuhnya dan bila diberikan musibah oleh Allah akan sangat sulit pula
hilangnya. Itu namanya KUALAT dan Kang Wasi’ pun pernah dipesan oleh almarhum
Yai Wahid Zuhdi bahwa kalau ada seorang murid yang KUALAT terhadap Mursyidnya,
jangan pernah ditolong, jangan pernah dibantu, sebab yang menolong biasanya juga
akan ikut terkena imbasnya, yaitu juga ikut kualat itu
sendiri. YAI tidak pernah mencari murid. Meneguhkan komitmen adalah sebuah pilihan bagi kita. ::.
Semoga
ada manfaatnya. BISMILLAH.