+ Dik kamu dijemput siapa ?
- Dijemput YangMa [nenek]
+ Pulang ke mana
?
- Ke YangMa
+ Lha Papi gak sama kamu tah Dik ?
- Enggak, Papi di gang
lain
+ Kok enggak sama mama saja ?
- Mama jahat…
+ Lho gak boleh gitu, mama kan yang ngelahirin kamu. Kenapa kok jahat
?
- Iya… aku dimarahi
Mama
+ Kenapa dimarahi ?
- HPnya Mama kecebur
air
+ Tapi Mama kan tetap sayang,
kemarin waktu ulang tahun, mama kan yang ngerayain
?
- Iya…
Sebuah dialog dengan seorang anak
perempuan kecil di kisaran usia lima tahunan yang
selalu murung dan kelihatan lesu di sekolahnya. Dua bersaudara
perempuan semua, dia dan adiknya yang dipaksa berpisah karena perpisahan orang
tuanya. Papinya, “katanya” ada wanita lain dan telah menikah lagi dan dia
disuruh ikut papinya, namun pada kenyataannya, dalam keseharian dititipkan pada
neneknya. Sedangkan si adik ikut mamanya. Anak kok
dibagi ???
Sedih dan marah
sekali hati ini mengetahui kisah itu, konflik yang terjadi pada orang tua selalu
saja anak-anaknya yang menjadi korban. Anak kok dibagi ? Masih kecil-kecil dan tidak tahu apa-apa, namun aura marah dan benci
dari kedua orang tuanya mulai meresap dalam jiwa mereka. Sang ayah sibuk dengan keluarga barunya tanpa menghiraukan anak yang
dimintanya ikut dengan dirinya dengan menitipkannya kepada orang tuanya.
Sedangkan sang ibu yang harus mandiri yang mungkin karena tingkat tegangan
hidupnya yang tinggi, kadang melupakan kelembutan yang seharusnya dimiliki oleh
seorang ibu untuk anak-anaknya. Barang bisa dibeli lagi, namun jiwa yang luka
tak bisa begitu saja disembuhkan, apalagi menggoresnya saat masih belia usia.
Materi bisa
diberikan kepada anak, namun yang lebih mereka butuhkan adalah cinta yang tulus
dari kedua orangtuanya untuk mendasari mereka beranjak
dewasa. Kalau sejak belia usia sudah
terluka, mau jadi apa besarnya nanti ? Pasti hanya
akan menuai masalah demi masalah tanpa ada solusi yang
berarti, sebab bawah sadarnya penuh dengan luka, kekcewaan dan kemarahan yang
akan dibawanya bertahun-tahun ke depan. Harus ada bimbingan dan arahan untuk
merekonstruksi pemaknaan kembali atas apa yang mereka
alami, agar semua itu tidak membebani kehidupam masa depan
mereka.
---------------------
- Memang kalau belum waktunya ya
gak akan mati…
+ Memangnya kenapa Pak ?
- Lha saya ini sudah pernah 3 kali
dibacok orang, ini bekasnya
+ Sama siapa Pak
?
- Ya sama
sama-sama pedagangnya, gara-gara nyenggol dagangannya dia
+ Masak gitu saja marah ?
- Ya..
namanya cari uang susah, emosi pasti tinggi, dagangan
belum laku-laku mulai pagi ya begitu itu…
- Gara-gara uang seratus rupiah
bisa bunuh orang
+ O...
Sebuah dialog dengan seorang
pedagang keliling. Penjaja mainan anak-anak, mainan anak
rakyat kecil, bukan mainan anak rakyat elit.
Jamannya memang
semakin sulit, persaingan hidup begitu tingginya, beras mahal, makan sehari 3
kali saja berat memenuhinya. Itulah yang sering membuat orang stress, gampang marah, apalagi di
jalanan, mudah sekali orang melampiaskan amarahnya untuk hal-hal yang semestinya
bukan prinsip.
---------------------
- Si A
itu lho begini-begini….
+ Oh…
/ Si B kok gak ikut ?
+ Lha gak diajak ya gak
ikut
\ Si C itu sukanya
begitu…
+ Ya ndak apa-apa to ? Dulu waktu muda saya juga begitu… sekarang aja dah
tua
Dan sebagainya...
Dan sebagainya...
Sebuah dialog dengan tetangga
sekitar rumah, yang arahnya sering memancing membicarakan “kekurangan” orang
lain menurut persepsi mereka. Pada kurang kerjaan kali ya
???
Orang bilang
bahwa tetangga adalah saudara yang terdekat, namun demikian saya kira
masing-masing kita harus punya pilihan sejak awal yang tentu saja harus berdasar
tentang interaksi yang bagaimana yang kita terapkan pada tetangga-tetangga
kita. Masing-masing keluarga punya
privasi sendiri-sendiri dan itu tidak boleh dilanggar oleh orang lain karena itu termasuk bagian kehormatan keluarga. Kalau
toh ada tetangga yang dianggap “aneh” saya kira tidak ada perlunya
membicarakannya ke sana ke mari, cukuplah kita terima
sebagai sebuah kewajaran. Selama kita tidak dirugikan secara
langsung, selama tidak mengganggu ketertiban dan kenyaman masyarakat sekitar, ya
sudahlah. Toh kita sendiri pasti juga mempunyai kekurangan yang mungkin dipandang negatif oleh orang lain.
Bergaul atau bersosialisai dengan
tetangga memang menjadi sebuah keharusan, karena kita adalah makhluk sosial yang
tidak akan bisa hidup sendirian. Namun yang perlu
digarisbawahi adalah, apakah dalam interaksi itu ada nilai-nilai yang semakin
menguatkan kebaikan kita, ataukah kita malah terseret atau terdegradasi karenanya ? Kalau cuma sekedar omong kosong belaka apalah
gunanya ? Kalau Cuma sekedar gurauan tanpa hikmah
apalah gunanya ? Kalau cuma sekedar pelarian dari rasa
bosan menemani keluarga di rumah apalah artinya ? Kalau hanya
sekedar memakan bangkai saudaranya sendiri (bergunjing) apalah gunanya ? Kalau hanya mempermasalahkan sesuatu yang sebenarnya tidak prinsip apalah gunanya ?
Setiap orang dan
tentunya setiap keluarga pasti memiliki perbedaan latar belakang agama, budaya,
sosial, ekonomi, pendidikan, karakter dan sebagainya. Dalam membina lingkungan, semua itu tidak harus sama dan memang tidak boleh disamakan, namun harus
dimusyawarahkan penataannya bagaimana agar selamat dan saling menyelamatkan [parameter seorang muslim], selamat
fisiknya, selamat pula phsikisnya dan selamat pula akidahnya. Di samping itu juga
harus ada jaminan keamanan harta, martabat dan jiwa [parameter seorang mukmin]. Itu.
---------------------
posting terbaik yang saya baca hari ini :) izin share pak bagus :)
ReplyDelete@damonYa... monggo semoga ada manfaatnya.
ReplyDeletepak! ijin kulo copy paste nggih ..... :)
ReplyDelete@AnonymousInggih monggo... semua yang ada di sini sudah saya relakan, semoga ada manfaatnya
ReplyDeleteKeren
ReplyDelete