Yang
saya maksudkan dengan silaturahmi adalah mekanisme perhubungan atau interaksi
antara sesuatu dengan sesuatu yang lainnya sesuai dengan kerangka yang telah
ditetapkanNya. Kira-kira begitu.
Setiap
hal pasti mempunyai silaturahminya sendiri-sendiri, seperti misalnya silaturahmi
antara makanan dan mulut, silaturahmi antara minyak dan air tatkala bercampur
dan sebagainya. Maka memahami bagaimana silaturahmi itu terjadi merupakan salah
satu cara untuk menyederhanakan kehidupan kita. Silaturahmi itu
mempersaudarakan, maka sangat memerlukan kerelaan untuk menerima bukan
penolakan, tanpa itu takkan terjadi silaturahmi.
Contoh
sederhana, pemain jathilan / kuda lumping / jaran kepang itu sanagt paham betul
bagaimana silaturahmi antara mulutnya dengan beling / kaca atau apa pun yang
dikunyahnya sehingga dia bisa selamat tanpa luka, tetapi bagi saya yang tidak
menguasai silaturahminya jangan sampai menirunya biasa gazwat akibatnya, ibarat penerbit bisa
dikatakan : isi di luar tanggung jawab percetakan, resiko saya sendiri
bila berani menirunya tanpa keahlian.
Namun
kalimat penerbit itu sering diselewengkan mereka yang kebablasan dalam
mengartikan silaturahmi. Anak-anak muda dan orang-orang tua yang masih anak-anak
yang mengalami cinta remaja biasanya akan kehilangan logikanya. Si cowok tanya
sama ceweknya, “Wajah imoet ini punya siapa sih Beib .. ?”. “Ya punyamulah…”,
jawab si cewek. Maka si cowok pun keterusan dengan menanyakan, kalau yang ini –
kalau yang ini dan seterusnya, maka kejadian deh… si cewek karena ketabrak si
cowok jadinya penyok ke depan. Maka
saat dituntut tanggung jawabnya, si cowok dengan entengnya menjawab, “Lho… isi kan di luar tanggung jawab
percetakan… !”.
Kembali
ke laptop…
Satu
hal yang diinginkan banyak orang termasuk juga di antaranya SAYA adalah hidup
tanpa masalah, seakan masalah itu sebaiknya jangan pernah ada, keluarga tenteram
damai tanpa masalah, kerjaan lancar jaya tanpa masalah, kehidupan sosial
kemasyarakatan harmonis tanpa masalah dan seterusnya. Tapi kenyataannya kan
tidak demikian. Semakin menjejak level kehidupan berikutnya, beban masalah itu
semakain bertambah. Daftar sekolah itu masalah, menikah itu masalah baru, punya
anak juga masalah baru lagi dan pasti selalu dan akan seperti
itu.
Masalah
itu pasti akan dan selalu menghampiri hidup kita, namun keSADARan kitalah yang
membuat masalah itu menjadi masalah bagi diri kita atau tidak. SERING kita
tergagap saat menyambut datangnya masalah, sebab gairah dalam diri kita untuk
menyelesaikannya tak sebanding dengan kemampuan dan pengalaman kita untuk bisa
antisipatif, sumeleh dan tenteram atas berbagai hal yang tidak mengenakkan
diri.
Jadi
kira-kira, sesuai judul tulisan ini, menurut pengalaman saya yang masih sedikit
ini, mungkin bisa saya katakana bahwa cara terbaik untuk menghindari masalah itu
adalah dengan bersilaturahim dengannya, masalah maksudnya, yaitu dengan kerelaan
diri kita menerima kedatangannya. Hal ini sangat erat kaitannya dengan perasaan
dan pikiran kita terhadap masalah.
Perasaan,
pikiran dan waktu
Ada
seorang kawan yang merasa masalahnya sangat banyak, selesai satu datang lagi
satunya. Selesai lagi, datang lagi, demikian seterusnya. Kembali lagi ke ilmu titén, mencoba niténi hal tersebut termasuk niténi diri saya sendiri dengan
memetakan proses yang terjadi.
Mungkin
sebelumnya bisa dibaca di posting #6
Tadi, sekarang dan nanti.
Sekarang.
Saat sedang menghadapi suatu permasalahan, karena tidak bisa rela menerima maka
perasaan pun menjadi tak nyaman dan ini terekam di pikiran. Karena keliaran
pikiran pula, walau berada di saat sekarang tetapi pikiran sudah
mengkhawatirkan tentang nanti yang belum ada gambaran bagaimana solusinya
akan membuat perasan semakin tidak nyaman dan ini pun terekam di
pikiran.
Waktu
terlalui, yang tadinya sekarang sudah menjadi tadi dan yang
tadinya nanti sudah menjadi sekarang, saat ini. Karena keliaran pikiran
pula perasaan yang tidak nyaman yang terjadi tadi masih terkam kuat
karena belum bisa merelakan dan sekali lagi karena keliaran pikiran menjadi
kekhawatiran di saat nanti. Takut ada masalah lagi. Inilah yang akan
menarik terjadinya masalah lagi. Sebab tak baiknya pikiran, perasaan pun
terserat menjadi tak baik, padahal perasaan itulah persangkaan kita pada Tuhan,
maka yang kita sangkakan itulah yang akan dibuktikan olehNya untuk terjadi dalam
kehidupan kita.
Kira-kira
seperti itu.
Sedikit
contoh nyata
Saya
mempunyai seorang kawan yang kebetulan karena paparan yang disampaikan oleh
salah satu agen asuransi, dia mengikuti programnya yaitu asuransi kebakaran
rumah. Maka sebagaimana biasa, dia cerita ke sana ke mari tentang asuransi yang
diikutinya dengan segala bumbu penyedapnya. Tanpa disadari olehnya, pikirannya
takut mengalami kebakaran, menolak hal itu terjadi dalam hidupnya dan itulah
terprogram dalam dirinya.
Apa
yang terjadi ? Tak sampai 2 bulan mengikuti program tersebut, rumahnya terbakar
sungguhan.
Semestinya
tak perlu bersilaturahmi dengan kebakaran, namun karena gambaran atau bayangan
tentang kebakaran diciptakannya dalam pikiran berarti dia bersilaturahmi dengan
kebakaran walau pun dia menolaknya. Maka
yang ditolak akan datang, begitulah rumusnya.
Nah
kalau saya, ndak punya uang itu sudah
biasa, jadi ndak sampai mikir tentang
asuransi dan sejenisnya itu, maka bahasa pengalaman saya ya seperti ini
:
Sebab
"pas-pasan"
dan tak ada yang dicadangkan untuk keperluan tertentu, maka tak punya prasangka
apa-apa dan harapannya selalu baik. Biasanya pas butuh, pas
ada.
Yang
mencadangkan untuk suatu keperluan yang dikhawatirkan terjadi, biasanya
cadangannya pasti terpakai untuk sesuatu yang dikhawatirkan
itu.
Menolak
dan menerima
Adakah bayi yang baru lahir telapak tangannya lepas tanpa genggaman ? Lalu adakah pula manusia di akhir kehidupannya telapak tangannya menggenggam tanpa lepas ?
Bayi
terlahir selalu dalam kondisi telapak tangan yang menggenggam dan manusia mati
selalu dengan telapak tangan yang lepas. Sebuah pelajaran bahwa dalam kehidupan
segala sesuatunya harus kita kondisikan untuk lepas dari diri kita bahkan ego
kita sendiri, bahkan amal kita, sehingga nantinya benar-benar bisa menghadap
Tuhan dengan tanpa embel-embel atau predikat apa pun, menghadapNya sebagai
hambaNya. Uabott yo …
?
Perasaan
maupun pikiran yang tidak baik atau negative memang harus segera dilepaskan
agar
tak merusak jalan kehidupan kita sendiri. Nah, langkah pertama melepaskan hal
itu adalah dengan menerimanya terlebih dahulu. Setelah itu barulah memaknainya
kembali hingga negativitas itu benar-benar terlepas dari diri kita.
Menerima
itu berarti tak beralibi, jujur mengakui dan menyadari masih ada negativitas itu
dalam diri kita, misalnya :
Takut.
Melepas takut adalah dengan menerima takut itu sendiri, mengakui dan menyadari
bahwa takut itu masih ada dalam diri kita. Tidak usah
diberani-beranikan.
Marah.
Melepas marah adalah dengan menerima kemarahan itu sendiri, mengakui dan
menyadari bahwa diri kita masih marah dan belum bisa memaafkan. Tidak usah
disabar-sabarkan.
Tidak
khusyuk dalam beribadah.
Terima, akui dan sadari bahwa memang belum bisa khusyuk. Tidak usah
dikhusyuk-khusyukkan.
Maka,
dalam
hal perasaan, menerima berarti
melepaskan yang akan membaikkan perasaan, sebaliknya, menolak berarti menggenggam yang akan
memburukkan perasaan.
Jadi
mungkin kunci memperingan masalah adalah dengan bersilaturahmi dengan masalah
itu, bukan berarti menantang, namun lebih kepada menyadari bahwa hidup takkan
pernah lepas dari masalah, maka menerima berarti menyiapkan hati berserah diri
padaNya dan selalau memaknai dengan berbaik sangka kepadaNya dengan menggunakan
rumus DI bukan ME, bahwa dengan masalah yang ada di hadapan kita berarti diri
kita sedang DI-latih, DI-dewasakan, DI-tempa, DI-perhatikan, DI-sertai,
DI-kuatkan dan DI-muliakan olehNya. Semoga DI-mampu-KAN.
Bismillah.
Terima kasih atas informasi yang telah di berikan.
ReplyDeleteSaya jadi sadar nih selama ini masih belum bisa khusyuk dalam beribadah.
ReplyDelete@OBAT HERBAL DARAH TINGGISama Kang...
ReplyDelete