Satu hal yang pasti,
saya tidak pernah bisa merencanakan kapan saya akan tersenyum, kapan akan
menangis, kapan akan bergembira, kapan akan bersedih, kapan akan selamat, kapan
akan celaka, kapan akan terwujudnya rencana, kapan akan gagal dan kapan
akan-akan yang lain. Dalam jangka waktu satu jam pun, perubahan perasaan
demikian cepatnya berganti, apalagi perubahan-perubahan pikiran yang tentunya
lebih liar lagi.
Saya masih merasakan
perbedaan yang sangat pada perasaan dan pikiran saya dalam menanggapi berbagai
peristiwa yang saya alami dari detik ke detik berikutnya. Yang jelas itu tidak
membahagiakan. Bahagia itu perasaan dan kalau sampai tidak bahagia berarti ada
akhlaq yang keliru, itu artinya tidak ada keselarasan qalbu
dengan Gusti Allah, qalbu dalam kondisi yang tidak
lan waspädhä-an diri saya
sendiri, mempertanyakan tentang apa dan bagaimananya. ilmu titén untuk selalu mulat sariro hangarasa wani / berkaca diri
mengenai ke-
Maka ketidakbahagiaan
itu apa pun bentuknya entah berupa keluhan, ketidaknyamanan, penyesalan,
kekecewaan atau yang lainnya adalah berawal dari tidak adanya akhlak syukur.
Kalau syukur tidak ada, maka tidak ada pula sabar. Kalau syukur dan sabar tidak
ada, maka pastinya rela juga tidak akan ada. Qalbu dalam kondisi yang tidak titéni lagi, ternyata
mungkin bersumber dari tidak waspädhä
terhadap terhadap pikiran.
Tadi ~ masa
lalu
Sesungguhnya setiap
manusia tidak mempunyai masa lalu, yang ada hanya ingatan tentang masa lalu yang
terekam di pikirannya. Ini yang harus diwaspadai.
Mengingat perasaan
syukur di masa lalu adalah baik saat ingatan itu menyebabkan bertambahnya
kesyukuran saya, namun harus diwasapadai saat ingatan tentang sesuatu yang
menyebabkan rasa syukur itu kemudian menjadi pembanding dengan sesuatu di saat
sekarang yang mungkin intensitasnya lebih rendah, maka terhadap sesuatu itu bisa
jadi saya tidak bisa mensyukurinya.
Begitu juga misalnya
ingatan tentang sesuatu di masa lalu yang menimbulkan “luka”. Mengingatnya tanpa
kewaspadaan, bisa jadi malah menimbulkan penyesalan berkepanjangan apalagi jika
kemudian nafsu saya menikmatinya, akhirnya jadi lebay.
Demikian pun dengan
dosa. Dosa itu biasanya enak meski tidak menentramkan qalbu. Maka mengingat dosa
di masa yang lalu tanpa kewasapadaan, bisa jadi malah menyebabkan keinginan
untuk mengulang dosa yang sama, kecuali kalau bisa menyebabkan kehati-hatian
untuk tidak mengulang hal yang sama.
Jadi semua yang tadi
atau masa lalu adalah sebuah kepastian takdir yang memang harus saya jalani baik
yang “enak” maupun yang “tidak enak” maka tidak bisa tidak kecuali
mengakhlakinya dengan merelakannya.
Nanti ~ masa
depan
Sebagaimana dengan
masa lalu, sesungguhnya setiap orang juga tidak memiliki masa depannya sekarang,
yang ada cuma gambaran-gambaran tentang masa depan di pikirannya. Masa depan
selalu menjadi misteri dalam kehidupan, bahkan dalam jarak satu detik ke depan
pun saya tidak mempunyai kepastian tentangnya.
Memikirkan masa depan
tanpa kewaspadaan hanya akan memburukkan perasaan saat yang tercipta di pikiran
saya adalah hal-hal buruk yang penuh ketidakpastian. Tak ada akhlak yakin kepada
Gusti Allah, maka persangkaan diri saya yang tergambar pada perasaan saya pun
menjadi buruk, galau.
Jadi semua yang nanti
atau masa depan adalah sebuah kemungkinan yang semestinya harus saya akhlaki
dengan yakin akan jaminan Gusti Allah, meski saat ini belum tahu tentang apa dan
bagaimananya. Semestinya tidak usah menjadi fokus pikiran.
Sekarang ~ masa
kini
Rupanya memang saya
harus selalu
lan waspädhä bahwa hidup saya
adalah sekarang atau masa kini. Inilah yang harus saya pilih, mau saya apakan
atau bagaimanakan, agar kekurangan di masa lalu dapat saya perbaiki sekarang
sebagai landasan untuk masa depan yang lebih baik lagi.
Kesadaran waktu
menentukan kadar kenikmatan saat menikmati sesuatu. Rasa
nikmat itu jika dan hanya jika menikmati sesuatu sekarang. Kala
menikmati sesuatu sekarang namun pada kesadaran waktu tadi tentang sesuatu itu,
bisa jadi kadar kenikmatannya akan sangat jauh berkurang, karena kenikmatan
sekarang diperbandingkan dengan kenikmatan tadi. Begitu pula saat menikmati
sesuatu sekarang namun pada kesadaran waktu nanti tentang sesuatu itu, bisa jadi
kadar kenikmatannya akan sangat jauh berkurang juga karena kenikmatan sekarang
diperbandingkan dengan kenikmatan yang diharapkan nanti.
Tadi adalah
kepastian. Nanti adalah kemungkinan. Sekarang adalah
pilihan.
Maka untuk mencapai
BAHAGIA saya kira haruslah memadukan
antara waspädhänya pikiran untuk tetap
berada di sekarang atau saat ini. Dalam kata lain haruslah sadar untuk mensyukuri saat ini, di sini dan dalam
kondisi ini, bersabar dalam
menjalani proses yang terjadi saat ini, di sini dan dalam kondisi ini serta rela menerima saat ini, di sini dan
dalam kondisi ini.
Salah satu
pengejawantahan keSADARan adalah mengijinkan DIRI untuk selalu meRASAkan,
meNIKMATi dan berSUNGGUH-SUNGGUH di setiap detil dari segala aktivitas
keseharian dan itu biasanya akan melahirkan keRELAan, keberSERAHan, keBAHAGIAan
dan tentu saja rasa SYUKUR yang dalam. Semoga
DIsadarkaKAN.
BAHAGIA. Sederhana
semestinya. MAKNAI setiap detik yang kita lalui, temukan serta rasakan
pengaturan-NYA yang indah. Sederhana dan teramat sederhana, memang, hingga
banyak yang tak percaya, hingga bahagia dicari di luar sana, hingga nestapalah
yang tiba dan bahagia hanya seonggok fatamorgana.