Saat sang pecinta menemui yang dicinta
Saat ini engkau tlah menemui kekasih sejatimu
Kekasih yang selama ini kau persembahkan hidupmu untuknya
Bahkan dirimu sendiripun kecil - tak berarti bagimu
Kau sediakan dirimu untuk dicaci
Kau sediakan dirimu untuk dibenci
Kau sediakan dirimu untuk disalahpahami
Tapi semua itu takkan cukup berarti menutupi kebesaranmu
Jiwamu terlampau besar bahkan bila dibandingkan dengan kebesaran negeri ini sekalipun
Engkau telah melesat jauh ke depan, teramat jauh ke depan
Hingga jiwa-jiwa kerdil mereka hanya bisa memakimu
Teladanmu menjadi bagian dari keabadian
Keber-agama-an dalam kebangsaan
Keber-agama-an dalam keragaman
Kedalaman hakikat dalam pelaksanaan syariat
Sejuta kesaksian pasti tak kan muat
Sang sufi agung, entah.... siapa yang akan menggantikanmu
Satu lagi cahaya di negeri ini telah kembali ke Sang Maha Cahaya
Sugeng tindak GUS....
Al Fatihah.....
______________________________
GUS DURKU, BUNG KARNOKU… SELAMAT JALAN…
Oleh : Yahya Cholil Staquf
Ini kehilangan tak terperi. Tapi diam-diam aku merasakannya seperti formalitas saja. Ketuk palu atas sesuatu yang telah ditetapkan sebelumnya.
Kehilangan yang sesungguhnya telah terjadi dua belas tahun yang lalu, ketika suatu hari kamar mandi kantor PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), di Kramat Raya Jakarta, tak kunjung terbuka. Kamar mandi itu terkunci dari dalam dan Gus Dur ada didalamnya. Orang-orang menggedor-gedor pintu, tak ada sahutan. Ketika akhirnya pintu itu dijebol, orang mendapati Gus Dur tergeletak bersimbah darah muntahannya sendiri. Itulah strokenya yang pertama dan paling dahsyat, yang sungguh-sungguh merenggut kedigdayaan fisiknya.
Sebelum malapetaka itu, Gus Dur adalah sosok “pendekar” yang nyaris tak terkalahkan. Pada waktu itu, tak ada yang tak sepakat bahwa beliau adalah salah satu tumpuan harapan untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Tapi ketika akhirnya memperoleh kesempatan menakhodai bangsa ini, keruntuhan fisik telah membelenggu beliau sedemikian rupa sehingga gelombang pertempuran yang terlampau berat pun menggerusnya. Aku tak pernah berhenti percaya bahwa seandainya yang menjadi presiden waktu itu adalah Gus Dur sebelum sakit, pastilah hari ini Indonesia sudah punya wajah yang berbeda, wajah yang lebih cerah dan lebih bersinar harapannya.
Aku telah menjadi pengagum berat Gus Dur dan mendaulat diriku sendiri sebagai murid beliau sejak aku masih remaja. Tapi memang Gus Dur telampau besar untukku, sehingga aku tak pernah mampu menangkap secuil pemahaman yang berarti dari ilmunya, kecuali senantiasa terlongong-longong takjub oleh gagasan-gagasan dan tindakan-tindakannya.
Ketika datang kesempatan bagiku untuk benar-benar mendekat secara fisik dengan tokoh idolaku, yaitu saat aku ditunjuk sebagai salah seorang juru bicara presiden, saat itulah pengalaman-pengalaman besar kualami. Bukan karena aku melompat dari santri kendil menjadi pejabat negara. Bukan sorot kamera para wartawan, bukan pula ta’dhim pegawai-pegawai negeri. Tapi inspirasi-inspirasi yang berebutan menjubeli kepala dan dadaku dari penglihatanku atas langkah-langkah presidenku.
Sungguh, langkah-langkah Presiden Gus Dur waktu itu mengingatkanku kembali pada kitab DBR (Dibawah Bendera Revolusi) yang kukhatamkan sewaktu kelas satu SMP dulu. Mengingatkanku pada “Nawaksara”, mengingatkanku pada “Revolusi belum selesai!”
Orang-orang mengecam kegemarannya berkeliling dunia, mengunjungi negara-negara yang dalam pandangan umum dianggap kurang relevan dengan kepentingan Indonesia. Namun aku justru melihat daftar negara-negara yang beliau kunjungi itu identik dengan daftar undangan Konferensi Asia-Afrika. Brasil mengekspor sekian ratus ribu ton kedelai ke Amerika setiap tahunnya, sedangkan kita mengimpor lebih separuh jumlah itu, dari Amerika pula. Maka presidenku datang ke Rio De Janeiro ingin membeli langsung kedelai dari sumbernya tanpa makelar Amerika. Venezuela mengipor seratus persen belanja rempah-rempahnya dari Rotterdam, sedangkan kita mengekspor seratus –persen rempah-rempah kita kesana. Maka presidenku menawari Hugo Chavez membeli rempah-rempah langsung dari kita. Gus Dur mengusulkan kepada Sultan Hasanal Bolkiah untuk membangun Islamic Financial Center di Brunaei Darussalam, lalu melobi negara-negara Timur Tengah untuk mengalihkan duit mereka dari bank-bank di Singapura kesana…
Barangkali pikiranku melompat serampangan. Tapi sungguh yang terbetik dibenakku waktu itu adalah bahwa Gus Dur, presidenku, sedang menmpuh jalan menuju cakrawala yang dicita-citakan pendahulunya, Pemimpin Besarku, Bung Karno. Yaitu mengejar kemerdekaan yang bukan hanya label, tapi kemerdekaan hakiki bagi manusia-manusia Indonesia. Yaitu bahwa masalah-masalah bangsa ini hanya bisa dituntaskan apabila berbagai ketidakadilan dalam tata dunia yang mapan pun dapat diatasi. Yaitu bahwa dalam perjuangan semesta itu harus tergalang kerjasama diantara bangsa-bangsa tertindas menghadapi bangsa-bangsa penindas.
Hanya saja, Gus Dur mengikhtiarkan perjuangan itu dengan caranya sendiri. Bukan dengan agitasi politik, bukan dengan machtsforming, tapi dengan langkah-langkah taktis yang substansial, cara-cara yang selama karir politiknya sendiri memang menjadi andalannya. Yang bagi banyak orang terlihat sebagai kontroversi, bagiku adalah cara cerdik beliau menyiasati pertarungan melawan kekuatan-kekuatan besar, baik didalam negeri maupun diluar negeri, yang terlampau berat untuk ditabrak secara langsung dan terang-terangan. Gus Dur terhadap Bung Karno, bagiku layaknya Deng Xiao Ping terhadap Mao Tse Tung.
Tapi pahlawanku bertempur ditengah sakit, seperti Panglima Besar Soedirman di hutan-hutan gerilyanya. Maka nasib Diponegoro pun dicicipinya pula…
Banyak orang belakangan bertanya-tanya, mengapa orang tua yang sakit-sakitan itu tak mau berhenti saja, beristirahat menghemat umurnya, ketimbang ngotot seolah terus-menerus mencari-cari posisi ditengah silang-sengkarut dunia yang kian semrawut saja. Saksikanlah, wahai bangsaku, inilah orang yang terlalu mencintaimu, sehingga tak tahan walau sedetik pun meninggalkanmu. Inilah orang yang begitu yakin dan determined akan cita-citanya, sehingga rasa sakit macam apa pun tak akan bisa menghentikannya. Selama napas masih hilir-mudik di paru-parunya, selama detak masih berdenyut di jantungnya, selama hayat masih dikandung badannya.
Kini Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menyelimutkan kasih sayang paripurnanya untuk hambaNya yang mulia itu. Memperbolehkannya beristirahat dari dunia tempat ia mengais bekal akhiratnya. Semoga sesudah ini segera tercurah pula kasih sayang Allah untuk bangsa yang amat dicintainya ini, agar dapat beristirahat dari silang-sengkarut nestapa rakyatnya. Gus Durku, Bung Karnoku… Selamat jalan….
______________________________
Gus Dur
Manusia Biasa yang Luar Biasa
Oleh : Sukardi Rinakit
Beberapa sahabat mengirim pesan layanan pendek (SMS) kemarin malam (Rabu, 30 Desember 2009), Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.
Gus Dur telah meninggal. Kabar lebih lanjut menyusul”.
Siang hari sebelumnya, saya dan beberapa teman seperti Muslim Abdurrahman, Franky Sahilatua dan Rikard Bagun, baru saja membicarakan beliau. Dari obrolan kesehatan sampai politik. Juga kekhawatiran tentang siapa yang akan menjadi “kesadaran berjalan” yang berani seperti Gus Dur apabila beliau meninggal.
Setiap orang, meskipun sedikit sekali bersentuhan dengan Gus Dur, tentu mempunyai kenangan tersendiri. Saya pribadi, setiap kali bertemu, Gus Dur selalu berkomentar, “Kit, kamu itu pengamat politik atau pelaku?!” Lalu tawanya berderai.
Dari waktu ke waktu, begitu komentar Gus Dur setiap kali kami bertemu. Penulis biasanya menjawab pendek, “Mencoba mompa ban kempes, Gus.” Lalu beliau menjawab pelan, “Bane wis suwek” (bannya sudah sobek).
Selama ini sebagai analis politik, penulis memang mencoba memerankan diri sebagai “pemompa ban kempis”. Mak-sudnya, selalu membela pada kelompok kecil dan kekuatan politik yang lemah. Dengan demikian, yang kuat atau yang berkuasa selalu ingat bahwa ada kekuatan di luar lingkaran kekuasaan yang selalu mengawasi mereka. Dengan demikian, penguasa akan hati-hati dalam melakukan manuver politik dan membuat kebijakan.
Tapi bagi Gus Dur, ban yang coba saya pompa itu, umumnya sudah sobek. Jadi, tidak ada gunanya. Perilaku para politisi cenderung oportunistik. Tidak ada mimpi, apalagi ideologi. Dipompa seperti apa pun ya tidak akan keras. Makanya Gus Dur selalu bilang ke saya bahwa bane wis suwek (bannya sudah sobek).
Bagi saya, Gus Dur itu adalah orang biasa yang luar biasa. Sesuai namanya, Abdurrahman Addhakil, dia selalu menjadi sosok pendobrak (addhakil artinya pendobrak). Ketika menjadi Presiden, pelarangan terhadap apa pun yang berbau Tionghoa dicabut. Imlek jadi hari libur nasional, barongsai boleh dipertontonkan, dan lain-lain. Berkaitan dengan tentara, mereka didorong untuk tidak main bisnis dan politik.
Dalam hubungan antarnegara, Gus Dur berani melontarkan gagasan untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Suatu ide yang dianggap “gila” oleh sebagian orang. Dalam hal keagamaan dan masalah minoritas lain, siapapun tidak akan meragukan peran Gus Dur.
Ketika survei tabloid Monitor menjadi polemik pada tahun 1980-an karena dianggap merendahkan Nabi Muhammad SAW, Gus Dur dengan enteng berkomentar, “Ah, nabi itu tiap hari dijelek-jelekkan, tidak akan mengurangi kenabiannya. Pengikutnya juga tambah banyak saja. Jadi tidak masalah.” Komentar Gus Dur itu memupus semua polemik. Semua gelombang kemarahan dari kelompok-kelompok masyarakat reda begitu saja.
Ikon Demokrasi
Gus Dur memang luar biasa. Dia juga mempunyai sahabat-sahabat yang setia. Mantan Mensesneg, Bondan Gunawan, pernah bilang ke saya bahwa para sahabat terutama yang tergabung dalam Forum Demokrasi (Fordem) dulu bersepakat, mereka memilih Gus Dur sebagai figur utama, ikon demokrasi. Ia menjadi ujung tombak dan pengibar utama bendera demokrasi. Padahal ketika itu, kekuasaan Orde Baru begitu hegemonik. Hanya orang luar biasa yang berani melawan kekuasaan otoriter demikian. Salah satunya adalah Gus Dur.
Di sela-sela wawancara pada Juni 1999 itu, saya bertanya kepada Pak Harto, “Menurut Pak Harto, siapa pengganti Presiden Habibie nanti? Kemungkinan besar pidato Pak Habibie akan ditolak MPR.”
Pak Harto menjawab pendek, “Gus Dur.” Saya heran ketika itu. Karena waktu itu ada Megawati Soekarnoputri dan Amien Rais yang juga berkibar-kibar di ranah politik. Tapi sekali lagi, Pak Harto mengatakan, “Gus Dur.”
Sekitar seminggu kemudian ketika di Surabaya, saya ceritakan kisah tersebut kepada beliau. Lalu penulis bertanya, “Bagaimana Gus, yakin akan jadi Presiden?” Kali ini Gus Dur menjawab serius, “qaikul yakin! Gitu saja kok repot.” Betapa luar biasa Gus Dur.
Selamat jalan, “Sang Pendobrak”. Selamat berkumpul dengan jiwa-jiwa yang agung.
Penulis adalah Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate.
______________________________
"Gitu Aja Kok Repot"-nya Gus Dur
Oleh : Abdul Munir Mulkhan
Pernyataan yang sering dipakai Gus Dur untuk mengomentari persoalan, sikap seseorang, atau lembaga, ”Gitu aja kok repot”, mengesankan sikap permisif. Mungkin itu pula komentarnya terhadap ribuan pelayat dan penziarah yang ingin mendekap makamnya.
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, orang seperti Gus Dur tentu mulus melewati berbagai sensor malaikat di alam kubur. Boleh jadi seloroh penuh makna itu merupakan kunci suksesnya juga di alam pascaduniawi ini.
Menjelang malam tiba saat matahari melangkah ke pintu peraduannya hari Rabu, 30 Desember 2009, Kiai Haji Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Presiden ke-4 RI, berpulang ke haribaan Allah, meninggalkan kita semua dalam labirin kehidupan tanpa ujung. Namun, seloroh dan canda guraunya yang selalu membuat pendengarnya tertawa lepas tercerahkan sehingga tak pernah lupa lelucon segarnya, bukan hanya karena lucu, tetapi juga karena penuh makna, akan selalu menyertai kita pada hari- hari menyusuri lorong tersebut. Tampak samar, tetapi jelas secercah cahaya di ujung labirin yang disulut Gus Dur itu bagaikan Sang Guru di depan ruang kelas yang sedang mengajar tentang kemanusiaan dan kebangsaan.
Begitulah, kenyelenehan Gus Dur sering melahirkan beragam tafsir yang keliru atau sama-sama benar ketika kata dan kalimat yang beliau pakai menerobos pemaknaan konvensional. Orang sering itu sebut sebagai perilaku ”wali” yang nyulayani adat (unik) atau tampilan manusia bukan hanya di maqam (tahapan sufi) tertinggi, tetapi juga melampaui maqomat.
Gus Dur dengan penuh percaya diri mengaku sebagai memiliki darah China, Dayak, Pasundan, Batak, darah segala suku dan etnis yang terasa aneh dan tidak masuk akal bagi banyak orang. Namun, itulah cara Gus Dur berempati dengan segala ragam budaya dan etnisitas, juga religiusitas. Tokoh puncak NU ini dengan enteng menyatakan kekagumannya kepada tradisi organisasi Muhammadiyah, akan mengembangkan tradisi itu saat berhadapan dengan aktivis gerakan ini tanpa kehilangan ke-NU-annya.
Syekh Siti Jenar
Wafatnya Gus Dur menyentak kita semua meski sudah cukup lama beliau sakit. Suasana itu membawa penulis menerawang ke masa pertama bertemu di sebuah hotel di kawasan Jalan Taman Siswa, Yogyakarta, sebelum Gus Dur menjabat Ketua PB NU. Kenangan ini menuntun penulis ke masa-masa bercanda di sekeliling meja kerja Gus Dur di kantor PB NU bersama Ahmad Dhani, Holland Taylor (CEO LibForAll), dan beberapa wartawan.
Cengkerama sesaat setelah LibForAll Foundation memberi penghargaan kepada si Raja Dewa, Ahmad Dhani, tiba-tiba disela pernyataan seorang teman, ”Gus, inilah orang yang memopulerkan kembali Syekh Siti Jenar!” sambil menunjuk dan menyebut nama penulis. Gus Dur berkata, ”Mas Mulkhan!” begitu Gus Dur memanggilku, ”dari garis ayah, saya ini keturunan Syekh Siti Jenar lho!” Saya pun segera menimpali, ”Wau, kalau begitu Gus Dur sesat!” setengah menghardik walaupun jujur saya sedikit khawatir menunggu reaksinya. ”Biar saja, gitu aja kok repot,” kata Gus Dur seperti tak peduli yang membuat kami semua tertawa lepas. Inilah keunikan sikap Gus Dur yang sulit dicari padanannya di negeri ini.
Beberapa tahun kemudian, penulis bertemu kembali dengan Gus Dur dalam seminar tentang Pancasila di Universitas Parahyangan, Bandung. Tiba gilirannya, Gus Dur menjelaskan bahwa dirinya adalah keturunan raja-raja Pasundan. Ketika seorang ahli sejarah Pasundan meragukan dan meminta informasi tentang referensi kebenaran pernyataan Gus Dur tersebut, dengan enteng Gus Dur menjawab bahwa sumbernya ialah Ki Juru Kunci. Mendengar penjelasan tersebut, peserta seminar pun tertawa lepas. Lebih lanjut, Gus Dur menjelaskan bahwa dirinya merupakan keturunan Kiai Kasan Besari dari Tegalsasi Ponorogo, guru sang pujangga Ronggowarsito.
Tak mau kalah dengan Gus Dur, penulis segera berkata, ”Jelek-jelek Gus, saya ini adalah cucu buyut Kiai Kasan Besari.” Mendengar itu, Gus Dur hanya berdehem kecil. Penulis melanjutkan, ”Jika Gus Dur bertanya apa buktinya, buktinya adalah Ki Juru Kunci.” Spontan Gus Dur berkata, ”Wah, yen ngono awake dewe iki sih sedulur, sih sedulur! (Wah, kalau begitu kita ini masih saudara/ keluarga!).”
Beberapa minggu kemudian muncul tulisan Gus Dur di sebuah harian ibu kota tentang Islam kebangsaan dan kemanusiaan. Dari Kiai Kasan Besari itu, urai Gus Dur dalam artikel itu, lahir generasi Islam kebangsaan dan kemanusiaan melalui dua alur, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Dari alur NU lahir beberapa ulama besar yang menurunkan tokoh seperti Gus Dur sendiri. Sementara dari alur Muhammadiyah, menurut Gus Dur, menurunkan elite gerakan seperti Kahar Muzakkir, Syafii Ma’arif, dan penulis sendiri. Begitulah gaya Gus Dur menjelaskan nilai-nilai Pancasila dan Islam yang rumit menjadi sebuah kisah yang yang mudah dicerna, diingat, dan dipahami oleh semua kalangan.
Nasionalisme Islam yang humanis, toleran, dan pluralis, menurut Gus Dur, bisa dilacak dari kisah sejarah dan legenda tentang Kiai Kasan Besari tersebut. Itulah barangkali salah satu warisan paling berharga Gus Dur yang perlu dicermati dan dikembangkan.
”Selamat jalan, Gus!” Semoga kelak kita dipertemukan dalam perjamuan Tuhan di kampung surgawi. ”Gitu aja kok repot!”
Abdul Munir Mulkhan Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; Mantan Wakil Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Anggota Komnas HAM
______________________________
Gus Dur, Kiai Semua Orang
Selamat jalan Gus. Saya tidak akan membela sampean, karena kalau sampean saya bela, itu berarti bukan sampean, kiai yang membela semua orang.
GUS Dur saya jumpai di pelataran Bandara Juanda, Surabaya, suatu hari di musim kemarau sekitar 15 tahunan lalu. Dia sendirian, menunggu taksi atau mungkin jemputan. Saya mendekatinya, menyebutkan nama, dan mencium tangannya. “Rusdi siapa?” kata Gus Dur.
“Rusdi Situbondo Gus, Zachrawi Musa,” saya menyebutkan nama seorang tokoh NU di Situbondo, yang pernah lama menjadi sekretaris pribadi almarhum KH As’ad Syamsul Arifin. Nama terakhir adalah pendiri Ponpes Assyafi'iyah Salafiah, Sukorejo, Stibubondo dan salah satu kiai yang disegani Gus Dur, meski keduanya pernah berbeda pendapat soal ucapan assalamualaikum.
Saya bertanya ke Gus Dur, hendak ke mana dan dijawabnya mau ke Jombang. “Ini anak-anak kok tidak ada yang menjemput,” katanya. Saya lalu menawarkan padanya untuk mencegat taksi yang mau mengantarkannya ke Jombang dan Gus Dur setuju. Ketika sudah berada dalam taksi, Gus Dur menyempatkan diri bertanya sekali lagi nama saya dan saya menyerahkan kartu nama. Waktu itu saya adalah reporter majalah bulanan perbankan. “Terima kasih ya,” katanya.
Setahun atau dua tahun setelah pertemuan di Juanda itu, saya kembali bertemu dengan Gus Dur. Kali ini memang sengaja untuk tujuan wawancara. Ketika saya mengenalkan nama saya, Gus Dur langsung mengingat saya. “Rusdi yang di Juanda?” Saya mengiyakan, dan Gus Dur menjawab pertanyaan saya sambil tidur-tiduran. Dia memakai celana pendek, kaus garis-garis merah, berkerah.
Semula saya menyangka Gus Dur tak paham soal perbankan. Namun dugaan saya salah. Dia fasih menjelaskan seluk-beluk perbankan sefasih pengetahuannya tentang bola. Dia menjelaskan pola hidup bankir, bankir hitam dan bankir putih, dan sebagainya. Tentu saja dengan guyonan khasnya. “Mestinya para bankir itu lulusan pesantren, agar mereka selalu ingat dengan kiainya. Lah ini para bankir kiainya siapa?”
Saya tertawa. Waktu itu Soeharto masih berkuasa dan perbankan di bawah kontrol Dewan Moneter selain tentu saja di bawah Bank Indonesia.
Setelah itu saya tak pernah bertemu dengan Gus Dur kecuali hanya mengikuti kabarnya dari berita media: Gus Dur yang menentang Soeharto, Gus Dur yang membela kaum minoritas, Gus Dur yang dekat dengan beberapa tokoh Israel dan sebagainya. Suatu hari, misalnya, saya mendengar Gus Dur membuat pernyataan yang niscaya ditentang oleh arus besar orang Islam di Indonesia.
Waktu itu Israel menyerang Palestina dan beberapa ormas Islam berteriak, dan atas nama Tuhan mengutuk negara Yahudi itu. Membela Allah hukumnya wajib, kata mereka. Saat-saat seperti itulah, biasanya Gus Dur muncul dengan pernyataan yang oleh orang lain dianggap kontroversial. Salah satunya adalah pernyataannya bahwa Tuhan tidak perlu dibela. Banyak orang Islam menentang ucapan Gus Dur itu, tapi mantan Ketua PBNU itu, bergeming.
Gus Dur yang oleh beberapa kalangan Islam dianggap sebagai sufi, beralasan, kalau Tuhan dibela, maka Tuhan bukan Tuhan. Lalu Gus Dur dianggap tak pernah membela orang Islam, meski menurut saya, pendapat seperti itu terlalu berlebihan.
Gus Dur adalah salah satu tokoh Islam yang dimiliki oleh banyak orang, termasuk mereka yang nonmuslim. Justru karena dia tahu Islam itu rahmat untuk seluruh alam, dia karena itu selalu menunjukkan Islam adalah agama yang ramah bahkan kepada mereka yang dianggap selalu memusuhi orang Islam. Dia ingin merangkul semua.
Suatu hari setahun lalu, saya bersama beberapa reporter koran ini menemuinya di kantornya PBNU. Dia bercerita soal pendirian dan pembangunan Gedung NU dan kenapa dia bertahan berkantor di sana. “Saya yang bikin gedung ini. Kalau mau bayari, saya pergi. Enggak berani. Sini bayar empat miliar dan saya akan pergi,” katanya.
Kemarin sore saya bertemu dengan Muslim Abdurrahman, dan saya menanyakan perkembangan kesehatan Gus Dur. “Alhamdulillah mas, sudah baikan,” kata Muslim. Sekitar dua jam setelah itu, saya mendengar kabar, Gus Dur meninggal dunia. Saya mengontak mas Muslim dan janji bertemu di RSCM meski kami tidak pernah bertemu. Ratusan pelayat menyesaki di sana.
Selamat jalan Gus. Saya tidak akan membela sampean Gus, karena kalau sampean saya bela, itu berarti bukan sampean, kiai yang membela semua orang.
Tulisan ini dimuat Koran Jakarta, 31 Desember 2009. Di koran itu, di paragraf awal tulisan ini, saya menulis "...suatu hari di musim kemarau sekitar 12 tahun lalu" mestinya "15 tahunan lalu."
http://mazagung.wordpress.com/2008/07/24/gus-dur-disiapkan-sekoci-di-ppp/
______________________________
Warisan Gus Dur
Oleh : Jarot Doso
TATKALA saya masih bekerja sebagai wartawan Harian Umum Republika, pernah sekali saya berkesempatan mengadakan wawancara khusus dengan Gus Dur. Temanya ihwal kaitan Islam dan demokrasi, tema yang tengah hangat saat itu, sekaligus sangat menarik buat saya sendiri.
Kebetulan waktu itu saya membawahi desk politik dan agama, dan jika tak salah ingat, saya tengah meliput acara dialog lintas agama mengenai sumbangan agama bagi proses demokratisasi di Indonesia. Di sela acara inilah saya berhasil mencuri kesempatan mewawancarai Gus Dur.
Dalam wawancara itu, Gus Dur alias KH Abdurrahman Wahid antara lain mengatakan bahwa Islam sangat erat kaitannya dengan demokrasi, sebab impuls atau getaran hati (ajaran) Islam sejatinya adalah impuls demokrasi. Walaupun tidak saya tulis dalam format tanya jawab, namun hasil wawancara ini kemudian dimuat Republika dalam sebuah artikel tunggal yang berisi rangkuman hasil wawancara saya dengan Gus Dur.
Sebagai seorang reporter baru harian yang memposisikan diri sebagai koran Islam ini, sikap saya biasa-biasa saja ketika berhasil mewawancarai dan menuliskan pemikiran Gus Dur itu. Akan tetapi, ternyata, sebagian senior-senior saya menyatakan keheranannya, bagaimana saya yang dari Republika bisa meminta waktu khusus kepada Gus Dur untuk sebuah wawancara.
Walhasil, dari kasus ini saya malah menjadi tahu bahwa hubungan Gus Dur dengan Republika (dalam posisinya sebagai koran milik ICMI kala itu tentunya) tidak begitu sreg (bagus). Ini tentu sebagai dampak sampingan dari sikap Gus Dur yang menolak bergabung dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang dianggapnya bersifat sektarian dan menjadi sarana rezim Orde Baru untuk mengkooptasi para cendekiawan Muslim.
Untunglah, meski saya dibesarkan di sekolah menengah Muhammadiyah, namun sejak kuliah saya sudah akrab dengan gagasan-gagasan Gus Dur yang ketika itu acap dimuat jurnal ilmu-ilmu sosial Prisma dan Ulumul Qur'an. Malah sewaktu mahsiswa ini saya terhitung rajin ke sana kemari memakai kaos oblong bergambar wajah Gus Dur bertulisan "Gus Dur the Next Leader" di bawahnya.
Interaksi saya yang cukup intens dengan ide-ide Gus Dur itulah yang membuat saya sangat apresiatif atas Gus Dur dan terbebas dari prasangka negatif atau prejudice kepadanya, kendati saya kemudian bekerja di sebuah media cetak yang pada masa Orba kerap diasumsikan berseberangan dengan sikap politik Gus Dur.
Egaliter, Pluralis, Demokratis
Terlepas dari sejumlah sikap kontroversialnya terkait dengan politik praktis atau konflik internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sejauh pembacaan saya, ada sejumlah teladan bagi Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya, yang telah diwariskan oleh Gus Dur atau Presiden RI ke-4 ini.
Yang pertama ialah sikap egaliternya yang sangat menjunjung tinggi kesetaraan terhadap berbagai elemen masyarakat yang berbeda latar belakang suku, ras, agama, gender, maupun keyakinan politiknya. Inilah salah satu warisan penting dari jejak kehidupan Gus Dur yang secara konsisten diperjuangkan Gus Dur sejak dulu hingga sekarang.
Teladan sikap egaliter tersebut jika berhasil kita transformasikan menjadi kesadaran dan etika publik akan menjadi sumbangan besar bagi tegaknya prinsip kesamaan semua orang di depan hukum dan pemerintahan (equality before the law), yang merupakan salah satu prasyarat bagi eksisnya tatanan sosial dan politik demokratis.
Sejalan dengan sikapnya yang amat menjunjung tinggi egalitarianisme tadi, teladan Gus Dur yang kedua ialah sikapnya yang selalu positif atas ide-ide yang menghormati keragaman atau pluralitas. Seperti sikap egaliter yang dipandang Gus Dur merupakan nilai dasar ajaran Islam, sikap menghormati keragaman pun bagi Gus Dur dipandang menjadi salah satu nilai penting ajaran agama yang dipeluknya ini.
Seperti halnya cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid (Cak Nur), Gus Dur pun menilai pluralisme sejalan dengan kehendak Allah (sunatullah) yang sengaja menciptakan manusia dengan latar belakang yang berbeda-beda, baik dari segi suku, etnis, agama, pilihan-pilihan politik dan ideologi, maupun kebangsaannya. Pun keduanya melihat pluralisme sebagai prasyarat lain bagi terlaksananya demokratisasi di bumi pertiwi.
Yang membedakan Gus Dur dan Cak Nur saya kira hanya dalam sikapnya terhadap ICMI seperti saya sebut tadi. Cak Nur memandang ICMI sebagai salah satu sarana untuk mengembangkan potensi umat, dalam konteks menciptakan hubungan yang lebih akomodasionis dan harmonis antara umat Islam Indonesia dengan negara, untuk akhirnya menuju keseimbangan baru dalam kehidupan berbangsa yang lebih adil dan demokratis.
Walaupun begitu, menurut saya, perbedaan pilihan sikap Cak Nur dan Gus Dur terhadap ICMI tadi akhirnya justru bersinergi. Sebab pilihan Gus Dur untuk berada di luar ICMI, dan sebaliknya malah memperlihatkan sikap semakin akrab dengan kelompok-kelompok minoritas dan nonmuslim, pada gilirannya --selain berhasil menepis kekhawatiran kelompok minoritas atas isu "dominasi" mayoritas Muslim-- justru memperlihatkan sebuah kedewasaan bersikap kyai atau golongan santri dalam ranah politik dan bernegara. Sebuah sikap yang mengayomi.
Sementara pilihan Cak Nur bergabung dengan ICMI sangat besar jasanya dalam mengikis trauma marginalisasi umat Islam dari pentas politik yang puluhan tahun telah dipraktekkan oleh rezim Orde Baru. Di samping tentu berhasil pula mengikis "ideologi perlawanan" gerakan-gerakan Islam terhadap ide negara-bangsa (nation-state). Sinergi perbedaan sikap Cak Nur dan Gus Dur ini akhirnya malah menghasilkan pendewasaan umat Islam (santri) dalam berpolitik, sehingga menghasilkan situasi yang sangat kondusif bagi agenda demokratisasi bangsa.
Warisan ketiga Gus Dur ialah sikapnya yang selalu rajin mengaksentuasikan bahwa ajaran Islam sejalan atau kompatibel dengan demokrasi. Dalam konteks ini, tidak ada perbedaan antara Gus Dur dan Cak Nur. Bahkan Amien Rais pun sependapat dengan kedua sikap cendekiawan Muslim yang ditokohkan oleh publik menjadi guru bangsa tersebut. Gus Dur dan Cak Nur sama-sama sering pula mengemukakan dalil-dalil naqli (wahyu) yang mendukung pendapatnya bahwa ajaran Islam sejalan dengan demokrasi.
Khusus bagi internal kalangan Nahdliyyin (warga NU), ketiga warisan penting Gus Dur di atas menurut saya telah berhasil mengantarkan transformasi sikap yang luar biasa. Boleh dikata sebelum era Gus Dur, warga NU acap dikenal dengan sikapnya yang barangkali lebih puritan, konservatif, kolot, tradisional, eksklusif, atau terbelakang.
Namun pada masa atau setelah mengalami era pencerahan oleh kepemimpinan Gus Dur di PB NU, NU (bersama Muhammadiyah) merangsek ke depan menjadi salah satu lokomotif demokrasi yang penting; menjadi tulang punggung kekuatan masyarakat sipil (civil society) yang sangat maju, progresif, dan inklusif. NU dan Muhammadiyah, beserta kelompok-kelompok agama di luar Islam lainnya, juga mengalami proses saling mendekat, dan kerap bersama-sama terlibat proyek mempromosikan sikap egaliter, pluralis, dan demokratis.
Tiga warisan di atas tadi yang menurut saya menjadi sebagian alasan mengapa Gus Dur, bersama-sama dengan Cak Nur (dan disusul oleh mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Buya Sjafi'i Maarif dan rohaniwan Katolik Frans Magniz-Suseno) sangat layak dianugerahi gelar guru bangsa oleh publik.
Dan menurut saya, gelar guru bangsa ini --seperti halnya gelar kyai-- sudah tepat diberikan oleh masyarakat luas, dan bukan oleh otoritas negara atau pemerintah. Sebab jika pemerintah yang memberikannya, dikhawatirkan gelar guru bangsa justru bakal potensial mengalami politisasi yang tidak sehat dan penuh dengan kepentingan sesaat.
Terlepas dari berbagai kekurangannya sebagai manusia, tentunya jika kita runut lebih jauh, masih akan lebih banyak lagi nilai-nilai positif yang pernah ditorehkan oleh Gus Dur sepanjang hidupnya. Adalah menjadi tugas kita semua sebagai anak bangsa, tidak hanya warga Nahdlatul Ulama, untuk terus menemukannya kembali dan mengaktualisasikannya demi kemaslahatan bangsa dan seluruh umat manusia.
Memang itulah salah satu letak kelebihan para guru bangsa: jasad dan jiwa mereka boleh saja pergi untuk pulang kembali menghadap Ilahi, namun gagasan-gagasan briliannya insya Allah akan senantiasa dirujuk kembali dan menjadi pelajaran berharga bagi kita yang ditinggalkannya.
Innalillahi wa innailaihi rojiun. Selamat jalan Guru Bangsa...
[ jarot doso]