Home » » Sufi berajah .... ?

Sufi berajah .... ?

Written By BAGUS herwindro on Nov 23, 2009 | November 23, 2009

Tiba-tiba saja di suatu malam terdengar dering telpon di rumah Cak Zhudhrunh dan ketika diterima tiba-tiba seseorang yang berbicara di seberang sana langsung uluk salam dan menyerocos tanpa memberi kesempatan Cak Zhudhrunh untuk membalas salam itu.

Assalamu'alaikum Cak, aku moco kalimat iki kok malah bingung yo Cak. Di situ tertulis : ”Saya sih cukup bergantung dengan Allah saja, ngapain pake gitu-gituan...” . ,....karena seperti itu bisa merupakan ekspressi dari kesombongan dan riya’.

Iki maksud-e piye tho Cak koq bisa dikatakan kesombongan dan riya’, kalo dari kalimatnya kan sudah jelas hanya ...bergantung dengan Allah saja...

Sejenak Cak ZhudhrunH terdiam dan kemudian  :

Sik talah, ngomong cek bantere, tak jawab sik salammu : Wa’alaikum Salam. Wis entenono jawabanku, tak email saiki. Otre ? Nek during jelas telponno maneh. Assalamu’alaikum….


Kutipan lengkap kalimat itu dimulai dari :
Jika anda temui orang Sufi yang memakai rajah atau azimat, jangan langsung divonis, kenapa seorang Sufi masih memakai azimat ! Siapa tahu ia menggunakan itu agar dirinya tidak sombong. Atau memang ada perintah khusus dari Mursyidnya, karena sang Mursyid lebih tahu apa yang kelak dihadapi oleh para muridnya. Sebab  kesombongan bisa muncul di balik kata-kata, “Saya sih cukup bergantung dengan Allah saja, ngapain pakai gitu-gituan....”. Hati-hati dengan kalimat demikian, karena seperti itu bisa merupakan ekspresi dari kesombongan dan riya’.

Catatan  :   tentu saja rajah atau azimat yang dipakai sama sekali bebas dari unsur khadam jin, walau jin muslim sekali pun, yang itu memang sangat tergantung pada kesucian dan keikhlasan yang membuat rajah atau azimat  itu.

Kesombongan yang dimaksud adalah dalam konteks kalimat [Saya sih cukup bergantung dengan Allah saja, ngapain pakai gitu-gituan....] yang keluar sebagai ekspresi kontradiksi dari [yang dicontohkan yaitu] seorang sufi yang memakai rajah atau azimat. Sedangkan si sufi itu memakai rajah atau azimat dengan tujuan [mungkin] agar dirinya tidak sombong.
Sedangkan riya’ yang dimaksud adalah dalam konteks bahwa kalimat [Saya sih cukup bergantung dengan Allah saja, ngapain pakai gitu-gituan....] itu telah keluar dari lisan untuk disampaikan kepada orang lain.

Pembahasannya :
Sebagaimana diwejangkan oleh Syaikh Ibnu Athaillah dalam kitab Al-Hikam : "Keinginanmu untuk memasuki alam tajrid (meninggalkan urusan dunia, tidak terikat sebab-akibat) padahal Allah masih menempatkanmu pada alam asbab (masih terikat sebab-akibat), adalah termasuk syahwat yang tersembunyi. Sebaliknya, keinginanmu untuk masuk ke alam asbab padahal Allah telah menempatkanmu pada alam tajrid, adalah suatu kemerosotan dari himmah (tekad spiritual) yang luhur."
Di maqom asbab  seseorang masih memerlukan sarana yang secara akal sarana itu menjadi sebab dari akibat yang ingin atau akan dicapainya, meskipun dalam pandangan hati (hakikat) harus memandang tidak ada sebab kecuali Allah sedangkan semua yang muncul dalam realitas fisik merupakan akibat saja dari sebab kehendak Allah. Ibarat seseorang yang mau minum kopi, ya harus mempersiapkan sarana yang secara akal sarana itu menjadi sebab kopi siap diminum, yaitu merebus air, menyiapkan gelas sendok, menakar gula dan kopi dalam gelas, menuangkan air panas dalam gelas dan mengaduknya yang akhirnya menyebabkan kopi siap diminum. Atatu contoh lain, misalnya seseorang mau bepergian ke suatu kota, maka ia harus mempersiapkan sarana yang menjadi sebab sehingga berakibat ia berada di kota yang dituju yaitu salah satunya dengan menggunakan kendaraan BIS. Tidak bisa ia kemudian berkata bahwa terserah Allah saja, bergantung ke Allah saja, sehingga kalau Allah menghendaki maka ia pun pasti sampai di kota yang dituju. Tentu tidak bisa seperti itu, karena ia pasti tidak akan sampai di kota yang dituju jika tidak mengusahakannya.
KESOMBONGAN
Nah pada contoh di atas dimisalkan ada seorang SUFI yang walu pun ia sufi tetapi memakai rajah atau azimat yang mungkin agar si sufi itu terhindar dari kesombongan. Apa hubungan antara memakai rajah atau azimat dengan kesombongan ? Si SUFI menyadari bahwa ketika dia masih diposisikan oleh Allah pada maqom ASBAB maka dia harus menyempurnakan ikhtiarnya dalam hal apa pun dan menggantungkan keyakinan hatinya hanya pada Allah.
Memakai rajah atau azimat, merupakan salah satu cara dalam menyempurnakan ikhtiar, karena si SUFI pada contoh di atas dan juga kita pada umumnya tidak pernah mengetahui apa yang akan terjadi di depan kita, sedangkan rajah atau azimat itu salah satu fungsinya adalah menyerap Nur Allah dan memancarkan pada pemakainya sehingga insya Allah apa pun yang akan terjadi di depan tidak sampai jatuh pada kondisi faqir (titik kulminasi terendah / titik nadir kehidupan) baik faqir harta, faqir ilmu, faqir keselamatan dan yang lainnya, terutama jangan sampai faqir iman. Rahmat, pertolongan dan perlindungan Allah tidak datang begitu saja bagi mereka yang diposisikan Allah pada maqom ASBAB, melainkan harus ada penyebab yang secara akal mengakibatkan rahmat, pertolongan dan perlindungan Allah itu berlaku bagi kita dan penyebab itu salah satunya melalui rajah atau azimat. Keyakinan hati harus tetap digantungkan hanya pada Allah, sedangkan rajah atau azimat sebagai salah satu cara menyempurnakan ikhtiar di maqom ASBAB. Rajah atau azimat semestinya juga dipergunakan sebagai sarana pengingat untuk menjaga rasa butuh kita kepada Allah. Kita ini hamba karena itu kita sanagt butuh kepada Allah. Begitu kita ingat kalau memakai rajah atau azimat, begitu pula kita ingat akan rasa butuh kita kepada Allah dan begitu pula kesadaran kita mengatakan, “Oh iya... ya... aku butuh Allah, bukankah rajah atau azimat ini hakikat kekuatannya juga dari Allah.
Bagi seorang SUFI, memakai rajah atau azimat adalah sebuah pilihan. Hal itu bukan suatu keharusan, kecuali jika memang diperintahkan oleh Mursyid yang lebih mengetahui masa depan murid-muridnya. Sebagai sebuah pilihan, adalah sama artinya antara memakai dan tidak sehingga jangan sampai ada vonis bahwa kenapa seorang Sufi masih memakai azimat ? Jangan ada juga ekspresi yang keluar dalam bentuk ucapan, “Saya sih cukup bergantung dengan Allah saja, ngapain pakai gitu-gituan....”. Bergantung dengan Allah memiliki suatu konsekuensi baik secara syariat maupun hakikat. Orang yang benar-benar bergantung dengan Allah semestinya semakin menyadari kewajibannya sebagai hamba di hadapan Allah sehingga seluruh kewajiban syariatnya pasti dipenuhi. Namanya bergantung berarti ya tergantung pada yang digantungi. Apa pun yang diperintahkan yang digantungi ya pasti harus dilaksanakan. Sedangkan secara hakikat, orang yang benar-benar bergantung dengan Allah berarti qalbu, ruh dan sirnya sudah full Allah, tanpa jeda, tanpa sela, ALLAH terus. Lain halnya jika hanya merasa bergantung dengan Allah (lisannya saja tetapi hatinya belum tentu demikian). Sehingga merasa cukup bergantung dengan Allah saja, tanpa menelusuri lagi seberapa kuat level keyakinannya pada Allah, adalah sebuah kesombongan. Merasa cukup bergantung dengan Allah saja, tanpa mengetahui adab atau sopan santun kepada Allah, adalah sebuah kesombongan. Merasa cukup bergantung dengan Allah saja, tanpa menelusuri di maqom mana ia diposisikan oleh Allah, berarti juga sebuah kesombongan, karena menafi’kan atau mengacuhkan sebab-akibat dunia berarti merasa berada pada maqom TAJRID dan itu sebuah kebodohan sekaligus kesombongan.
Lebih sombong lagi bila ucapan itu [Saya sih cukup bergantung dengan Allah saja, ngapain pakai gitu-gituan....] keluar manakala sang Mursyid sudah memerintahkan. Sungguh hal itu suatu kesombongan yang luar biasa, karena apa yang diperintahkan seorang mursyid kamil mukammil tidaklah keluar dari hawa nafsu sang Mursyid itu melainkan sejatinya adalah pengejawantahan kehendak Allah sendiri. Allah sendiri yang menghendaki melalui Mursyid apa yang terbaik bagi hamba di hari-hari depannya.
RIYA’
Dalam Al Hikam, Syaikh Ibnu Athaillah menasihatkan : "Pendamlah dirimu dalam gundukan tanah, karena segala yang tumbuh tanpa dipendam, tumbuhnya tidak akan sempurna."
Sesuatu yang sudah kita yakini, yang sudah kita mengerti dan pahami selayaknya tidak kita obral keluar secara langsung terutama kepada orang lain karena untuk menjaga hati kita agar tidak muncul sifat riya’, kecuali bila kita diskusikan kepada sesama murid untuk saling berbagi dan mengisi, untuk saling belajar dan menasihati.
Saya sih cukup bergantung dengan Allah saja, ngapain pakai gitu-gituan....”. Kalau memang benar hati sudah yakin hanya bergantung dengan Allah saja, maka mengekspresikan keyakinan itu melalui kalimat tersebut di atas pada orang lain sama artinya tidak memendam biji keyakinan kita sehingga tumbuhnya biji itu tidak akan sempurna. Kenapa tidak sempurna ? Karena biji keyakinan dan kebergantungan itu bisa disambar atau dipatuk oleh burung “iblis” dan digantikan dengan rasa bangga, sombong yang berujung pada riya’.
Kesimpulannya :
  1. Jangan mudah memvonis sesuatu tanpa tahu duduk perkara yang sebenarnya.
  2. Apapun yang keluar dari indera kita harus selalu ditelusuri lagi suasana hati kita ketika itu agar tidak tergelincir pada sifat-sifat yang tercela.
WALLAHU’ALAM.
Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

IG
@bagusherwindro

Facebook
https://web.facebook.com/masden.bagus

Fanspage
https://web.facebook.com/BAGUSherwindro

Telegram
@BAGUSherwindro

TelegramChannel
@denBAGUSotre

 
Support : den BAGUS | BAGUS Otre | BAGUS Waelah
Copyright © 2013. den Bagus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger