Namanya anak-anak,
pasti banyak berontaknya terhadap sesuatu yang oleh para orang tua (termasuk
saya) diangap sebagai sebuah kebaikan dan kebenaran.
Misalnya begini, saat
anak-anak terlihat enggan belajar, tidak fokus, lebih menikmati baca buku kkpk
dibandingkan materi pelajarannya, lebih suka nonton televisi atau lebih asyik
ngegame, atau yang lainnya, maka pasti saya ngomel bahkan kalau perlu marah.
Salah satu kalimat
yang keluar, misalnya : “Ayah itu marah karena ayah sayang sama adik. Toh kalau
adik baik, adik pinter, itu semua kan juga buat adik sendiri nantinya, bukan
buat ayah !!!”
Jreng….. Nah, pada
kalimat itu biasanya dalam benak saya saya mengatakan pada diri sendiri :
“Ngapusi…. ngapusi… (bohong)”.
Kalau berani jujur
dan kalau mau jujur pada diri sendiri, saya pasti mengakui bahwa apa yang saya
katakan tersebut sangat termotivasi oleh pamrih pribadi demi diri saya sendiri,
bukan semata-mata demi anak saya meskipun mengatasnamakan sayang saya terhadap anak.
Atas nama
sayang : Ayah itu marah karena ayah
sayang sama adik. Kenyataannya :
Ayah sayang pada diri ayah sendiri. Sebab
: Toh kalau adik baik, adik pinter, itu semua kan juga buat adik sendiri
nantinya, bukan buat ayah. Aslinya :
Kalau adik baik, adik pinter, itu semua sebenarnya buat ayah. Karena : Kalau adik gak pinter, gak
baik, maka nanti tidak akan mempunyai kemandirian dan itu berarti ayah juga yang repot nantinya, ayah juga
mungkin akan malu, malu pada saudara dan tetangga.
Marah saya
kelihatannya baik, demi kebaikan, namun nyatanya di sana tersembunyi nafsu
saya, nafsu yang melekat pada predikat yang saya sandang. Sebagai seorang ayah,
godaan saya adalah nafsu keayahan. Saya bernafsu untuk mendapat pembenaran dari
anak saya atas apa pun yang saya sampaikan dan bukannya mengharap apa yang saya
sampaikan dibenarkan oleh Gusti Allah. Saya bernafsu untuk melepas tanggung
jawab sebagai ayah sesegera mungkin. Saya bernafsu untuk bisa menbanggakan anak
saya di depan orang lain, tanpa mau melihat diri sendiri, sudahkah anak saya
bangga terhadap saya ? Lha kalau jadi ayah saja seperti ini, bagaimana pula
beratnya godaan nafsu saat melekat predikat ustadz, kyai, guru, pimpinan,
ketua, pejabat dan predikat lain yang bersifat superior ? Benarlah bahwa kalau
nafsu di balik keburukan atau kemaksiyatan itu lebih tampak nyata bila dibandingkan
dengan nafsu di balik kebaikan atau ketaatan yang sangat samar.
He…
he… he… itulah masih sangat berpamrih, saya belum bisa menghindarkan diri dari
pamrih pribadi, belum bisa berlaku sebagaimana leluhur-leluhur dahulu
mengajarkan untuk sêpi ing pamrih
atau kalau dalam bahasa agama adalah ikhlas dalam segala hal yang saya lakukan,
arahnya dari bawah ke atas yaitu persembahan dari abdi kepada Gustinya. Karena
saya tidak mempunyai saham apa pun dalam kehidupan saya, karena seluruh potensi
kehidupan dalam diri saya adalah semata karunianya Gusti Allah, maka Dialah
pemegang saham utama dalam kehidupan saya. Maka pula, semestinya semua itu saya
kembalikan kepadaNya dengan menyicil
pengabdian kepadaNya biar habis pada saat kembali padaNya, yaitu melakukan apa
pun dengan motivasi atau pamrih hanya untuk mempersembahkan padaNya. Menulis ya
untuk menulis, bekerja ya untuk bekerja, berumah tangga ya untuk berumah tangga,
dakwah ya dakwah, sedekah ya sedekah, berdoa ya berdoa, memimpin ya memimpin itu
saja, sêpi ing pamrih, bukan untuk
mencari keuntungan atau golék bati. Manusia
pada umumnya seperti saya, biasanya selalu ada pamrih materi yang berwujud
kemudahan, kenyamanan dan kenikmatan. Perhitungannya selalu untung rugi, bahkan
meski tidak untuk itu belum tentu rugi, nafsu biasanya selalu mengatakan hal
itu rugi. Lha selama ini saya kan seperti itu, hanya selalu golék bati. Kalau Panjenengan ternyata juga,
berarti saya punya teman he…. he… he… Tapi saya yakin kalau Panjenengan tidak
(tidak beda :P).
Jadi ingat kalau
hanya Gusti Allah saja yang sama sekali tak berpamrih. Kalau Dia menyuruh kita
sholat, memerintahkan kita bersabar dan sebagainya, apakah untuk Dia ? Tentunya
tidak bukan ? PerintahNya adalah wujud cintanya untuk keselamatan diri kita
sendiri. Seluruh dunia tak ada yang taat pun, ya bukan masalah bagi Dia.
Para leluhur dulu
mengajarkan laku sêpi ing pamrih ramé ing gawé. Sêpi
ing pamrih itu wilayah hati, terletak di niat dan waktunya di awal
perjalanan / aktivitas / laku / gawé. Sêpi ing pamrih merupakan pondasi bagi ramé ing gawé. Kalau sêpi ing
pamrih saja saya belum mampu melakukannya dengan baik, maka bagaimana bisa
saya berlaku ramé ing gawé ? Kalau
saya pikir-pikir, selama saya belum mempunyai keberanian dan kerelaan untuk
mengeliminir atau menyepikan pamrih atau nafsu keayahan saya, maka akan sulit
bagi saya untuk mengemban gawé atau
amanah dariNya untuk mendidik anak-anak saya secara ramé atau optimal.
Kalau saya selalu
berkeinginan untuk dibenarkan oleh anak saya (meski seandainya saya salah) dan
bukan mengharapkan dibenarkan oleh Gusti Allah, maka saya tidak akan optimal
dalam mendidik anak, karena saya akan bersikap otoriter. Saya tidak akan
menyediakan ruang yang luas bagi mereka untuk berdialog, berkomunikasi untuk
sama-sama belajar mencari kebenaran dan kebaikan. Saya mungkin juga tidak akan
memberi mereka kesempatan untuk mencari misi hidupnya sebagaimana yang
dititahkan olehNya, melainkan harus menjadi seperti maunya saya. Pastinya saya
akan lupa kalau tugas saya adalah menanam biji, memupuk, menyirami dan
merawatnya, bukan menentukan hasilnya dan bukan pula memanen buahnya.
Bersyukurlah kalau
Panjenengan telah DImampuKan olehNya untuk bisa sêpi ing pamrih dalam arti mendasari segala sesuatu dengan
keikhlasan, lillahi ta’ala, dariNya, bersamaNya dan menuju padaNya, sebab pada
tahap berikutnya insya Allah pasti DImampuKan olehNya pula untuk ramé ing gawé.
Ramé
ing gawé
itu wilayah akal~pikiran, letaknya di tindakan, waktunya adalah selama
menjalani perjalanan / aktivitas / laku
/ gawé. Ramé ing gawé itu kesadaran menanam, kesadaran untuk berorientasi
proses bukan berorientasi hasil, kesadaran mengoptimalkan amanah dan kesadaran
mengutamakan yang dituntut bukan yang dijanjikan. Ramé ing gawé itu kemampuan menemukan kebahagian saat menanam,
saat berproses dan itu tentunya hal itu adalah saat menjalankan perintahNya,
sebab yang diperintah adalah menanamnya, prosesnya atau amalnya.
Iya ya… bisa saya ya
cuma berusaha mendidik anak sebaik mungkin, mengarahkannya untuk menemukan
sendiri misi hidupnya, menyediakan ruang komunikasi dua arah antara dia dan
saya untuk bersama-sama mencari ilmu, sebisa mungkin memfasilitasi kebutuhannya
dan seterusnya. Mau jadi apa nantinya, sama sekali di luar kuasa saya. Mau
bagaimana nanti manfaat yang keluar dari dirinya juga bukan kuasa saya. Kalau
ada kesadaran itu, maka semestinya saya harus bisa menerima apa pun yang
terwujud pada diri anak saya nantinya.
Dalam hal-hal lain
pun di setiap apa pun saya kira demikian juga. Dalam sebuah laku apa pun itu
selalau ada tahapan input – proses –
output – outcome.
Sebagai petani,
menabur benih merupakan sebuah input
yang kemudian harus diteruskan menjadi sebuah proses pemupukan, pengairan penyiangan
dan seterusnya. Tetapi sebaik apa pun benih yang ditaburkan, sesempurna apa pun
proses tanam yang dikerjakan, seorang petani sama sekali tak mempunyai
kemampuan untuk menumbuhkan benih itu menjadi sebuah tumbuhan yang sempurna
hingga pada akhirnya mengeluarkan buahnya. Tumbuh atau tidak tumbuhnya benih,
berbuah atau tak berbuahnya tumbuhan dari benih yang ditabur adalah merupakan output. Sedangkan outcomenya
adalah dampak secara luas dari adanya output
tersebut. Sederhanaya, misalnya kalau panen padinya berhasil, maka dalam proses
akhir outputnya adalah beras, maka outcomenya adalah kebutuhan pangan
masyarakat terpenuhi.
Petani hanya bisa mengoptimalkan
ikhtiarnya pada input dan prosesnya. Manusia di beri kebebasan di wilayah
akal~pikiran untuk ikhtiyarnya. Meskipun kekuatan ikhtiyar itu sendiri juga
dari Gusti Allah, namun jarang di antara kita yang menyadarinya, bahwa ikhtiyar
kita pun hakikinya adalah Gusti Allah juga yang menggerakkan atau yang bekerja
di dalamnya atau sebagai pelakunya. Dalam proses tumbuhnya benih itulah
kerjanya Gusti Allah lebih terlihat. Benih akan tumbuh dengan sendirinya tanpa
campur tangan manusia. Berarti ada daya yang bekerja pada benih itu untuk
tumbuh, sedangkan benih itu sendiri tidak mempunyai pihan untuk tumbuh atau
untuk tidak tumbuh. Berarti pula, Gusti Allah-lah yang sedang bekerja pada
benih itu meski tentu saja melalaui mekanisme sunatullahnya dan itulah af’alnya
Allah.
Maka ramé ing gawé berada pada tahapan input dan proses, sebab memang itulah
wilayah manusia, wilayah yang dituntut oleh Gusti Allah, wilayah pikirannya
yang harus optimal. Sedangkan bagaimana outputnya,
serta bagaimana pula outcomenya
merupakan wilayahnya Gusti Allah, wilayah yang dijamin, wilayah hatinya manusia
untuk rela menerima sebagai ketentuan dariNya, nêrimo ing pandum, arahnya dari atas ke bawah, dari Gusti untuk
abdinya dan kewajiban abdi adalah rela menerima karuniaNya apa pun itu baik
dalam suka ataupun duka, dalam sehat ataupun sakit, dalam lapang ataupun sempit,
dalam enak ataupun tak enak dan seterusnya.
----------
Kemarin rasanya “sesuatu”
banget saat tahu tema Haul di Pondok PETA (26 Oktober 2014) adalah sêpi ing pamrih ramé ing gawé nêrimo ing pandum.
Sebuah tuntunan
akhlaq dan adab terhadap Tuhan dan sesama makhlukNya yang disampaikan dalam sebuah
idiom kearifan lokal yang tentu saja menjadi sebuah peringatan untuk mawas diri
atau mulat sarira hangrasa wani sudahkah
saya berlaku demikian itu serta tentunya juga menjadi sebuah tuntunan untuk
kembali meniatkan yang demikian itu dalam laku keseharian saya.
Suka tulisanmu, mas...
ReplyDelete