Tiga puluh satu hari yang
lalu dari hari ini, enam belas Oktober dua ribu empat belas, di saat jam
menunjukkan pukul setengah sebelas pagi kurang tiga menit* (itungen dewe tanggal piro), masuk sebuah
pesan singkat di hape saya dari seoarang sahabat. Dia mengabarkan sedang berada
di Singapura untuk mengontrolkan anaknya yang mempunyai gangguan di matanya.
Telah beberapa kali menjalani operasi. Anaknya perempuan di kisaran usia
sekolah menengah pertama.
Nah pagi itu, ternyata dari hasil kontrol diketahui
kalau kalau retinanya lepas dan harus dioperasi lagi dengan kemungkinan
penglihatannya sudah tidak bisa diharapkan kesembuhannya. Hal itulah yang bikin
panik dan stress sahabat saya tersebut, suaminya dan tentu saja si anak itu
sendiri. Ora maido, pasti kalut
sekali kondisinya.
Lha aku yo bingung tho ? Mau bilang apa ? Sebab
pada kondisi-kondisi lritis semacam itu, mungkin termasuk saya sendiri, pasti
mengharapkan terjadinya sebuah keajaiban yang membalikkan keadaan. Saya hanya
bilang padanya agar semoga masih bisa menjadi lebih baik, saya katakan juga bahwa
agar diikuti saja prosesnya sambil berserah dan terus berdoa agar tak sempat
putus asa. Tentu saja ada beberapa pesan khusus. Setelah itu ya kembali ke
aktivitas saya biasanya dan telah lupa masalah yang itu tadi.
Menjelang sore, lima
jam tujuh menit** sejak pesan singkat yang pertama tersebut masuk, dia
mengabarkan lagi dengan penuh kelegaan bahwa operasi tidak jadi dilakukan,
karena hasil pemeriksaan akhir sebelum operasi menyatkan retinanya normal dan
tidak terlepas. Alhamdulillah ikut berbahagia. Dia dan anaknya, sesuai
ceritanya merasakan telah terjadi keajaiban.
Kalau sahabat saya
yang satu tadi merasakan keajaiban, maka ada satu sahabat saya yang lain lagi
di hari yang sama sedang menunggu keajaiban.
Satu jam empat puluh
delapan menit*** kemudian, seorang sahabat yang lain mengirimkan pesan
singkatnya. Suaminya sedang koma dan dirawat di IRD, sebab ada perdarahan di
batang otaknya. Byuh, duh Gusti nyuwun
ngapuro. Apalagi yang bisa saya katakana untuk menghiburnya. Kecuali pesan
yang sama yang saya sampaikan pada sahabat-sahabat saya lainnya, dijalani
prosesnya, terus berdo’a agar tidak sempat putus asa, dzikir terus dan
pasrahkan pada Gusti Allah, semoga diberi yang terbaik.
Besoknya kami terus
bertukar kabar tentang kondisi suaminya. Malamnya, 23:42, dia berkirim pesan: Mas, akhirnya Allah lebih saya sama suamiku…
Dhuar…. sungguh miris hati
saya merasakannya, lemas, bagaimana tidak, seorang ibu rumah tangga dengan anak
pertama masih kelas 3 SD, anak kedua kalau tidak salah masih di TK dan anak
ketiga masih di dalam kandungannya yang berusia 5 bulanan, entah bagaimana
perasaannya menghadapi hal itu. Saya sendiri saja, seolah kalau pada posisinya
mungkin gelap mata saya seakan dunia kiamat. Duh Gusti paringono kuat. Saat itu, tak bisa berbuat apa-apa
kecuali hanya menguatkan dirinya dengan beberpa kalimat yang semoga sedikit
melapangkan sesak dadanya.
Sedikit tenteram
perasaan saya mebaca kalimatnya kalau
Allah lebih sayang suaminya. Paling tidak dengan kesadaran itu, saya yakin
dia akan bisa melalui walaupun tentu saja bukan hal yang mudah. Malam itu tidur
pun tak nyenyak, kepikiran terus. Tapi kalau saya piker-pikir, dia pasti
kuat,bukankah Gusti Allah itu tidak akan membebani hambanya sesuatu yang tidak
mungkin ditanggungnya ? Berarti kalau di mengalami hal seperti itu, maka insya
Allah, Allah pun telah membekalinya dengan segala potensi, yang mungkin saat
ini masih tersembunyi, untuk melampaui kondisi yang ada.
Alhamdulillah, besok
paginya masih sempat hadir saat jenazah suaminya dimandikan. Tak ada daya, tak
bisa memberikan apa-apa kecuali dukungan mental.
Meski keajaiban
seperti yang diinginkannya tidak terwujud, namun saya yakin bahwa keajaiban itu
sebenarnya ada dalam dirinya, ada dalam diri anak-anaknya termasuk yang masih
dalam kandungannya. Tak lama lagi keajaiban-kejaiban itu pasti akan muncul
dengan sendirinya, sebab saya yakin itulah cara terbaik dari-NYA untuk menempa
dan memoles jiwa-jiwa mereka menjadi jiwa yang mulia. Semoga demikian..
Untuk kesekian
kalinya, rasanya dipaparkan di hadapan mata saya, kalau manusia itu benar-benar
lemah. Tubuhnya sendiri pun, seseorang tidak mempunyai daya untuk menguasainya
apalagi jiwanya. Semua dalam genggaman Gusti Allah. Untuk kesekian kalinya
pula, rasanya malu dan menyesal hadir memenuhi dada bahwa selama ini masih
banyak menggerutu, masih banyak mengeluh dan diam-diam protes pada-NYA kalau
menghadapi sebuah situasi yang tidak cocok dengan keinginan diri. Padahal,
diberi kesehatan saja, itu sudah sangat luar biasa, sebab sehat itu mahal.
Mengapa masih saja mengeluh miskin, kalau sehat yang bersemayam dalam diri ini
tak ternilai harganya ?
Hal-hal mengharukan
seperti itu, di segala problematika kehidupan keseharian, sangat banyak yang
mampir di telinga saya, mata saya dan tentunya beranda hati saya. Hanya satu
kesimpulannya, yaitu alhamdulillah. Bagaimana pun tetap alhamdulillah.
Mungkin karena
kehidupan kita, kita buat sendiri menjadi tegang dan keras, maka dikirimkan
olehNYA berbagai keharuan agar kembali memanusia yang lembut dan lapang
hatinya, serta kuat dan lentur jiwanya.
Untuk Panjenengan dan
saya, semoga…
SeBERAT apa pun beban
kehidupan kita, seSEMPIT apa pun dada kita, seRUMIT apa pun masalah kita dan
seSULIT apa pun langkah kita, semoga DIkuatyakinKAN kembali berSANDAR pada
JAMINAN-NYA, hingga tak sampai merendahkan diri di hadapan manusia. Tidak untuk
diRINGANkan, namun SEMOGA DItambahKAN-NYA kemampuan kita meLEBIHi beban yang
ada hingga tiba-tiba saja RINGAN, LAPANG, SEDERHANA dan MUDAH. Aamiin.
------------------------------
Kunci jawaban:
* 15 Sepetember 2014,
10:27 WIB
** 15 Sepetember
2014, 15:34 WIB
*** 15 Sepetember
2014, 17:22 WIB