Menjalani keseharian
dengan bergulat dengan berbagai macam tantangan, hambatan dan ujian, ibarat
sedang terlibat dalam sebuah permainan catur. Setiap langkah harus
diperhitungkan dengan kesungguhan yang ada agar tetap dapat bertahan melampaui
setiap serangan yang menjegal setiap langkah. Begitulah kehidupan, kalah
sekalipun kena skak, papan catur tetap bisa digelar lagi dan bidak-bidaknya
tetap bisa ditata lagi. Tak ada kata berakhir untuk sebuah permainan. Main lagi,
main lagi dan main lagi.
Tapi kali ini saya
tidak sedang menghitung langkah dalam sebuah permainan catur, namun benar-benar
menghitung langkah kaki saya.
Karena ada rutinitas
harian yang mengharuskan saya melakukan transfer di salah satu bank di setiap
pagi, maka sudah beberapa minggu ini saya menjalaninya, pergi dan pulang dengan
berjalan kaki. Ada kurang lebih 1.625 (seribu enam ratus dua puluh lima) langkah
pergi pulang, nek gak percoyo itungen
dewe. Itu pun cara berjalan saya masih lurus, coba kalau zig-zag atau bahkan
melingkar-lingkar pasti lebih banyak lagi.
Untuk apa berjalan
kaki ? Ya untuk berjalan kaki itu sendiri, bukan untuk alasan-alasan
lain. Kalau saya bilang biar sehat, itu cuman sekedar alasan saja, bukan yang
sesungguhnya.
Alhamdulillah, sangat
menggembirakan, hati menjadi riang. Saya bisa berbagi senyum dengan orang-orang
yang saya temui. Ya mereka yang setiap hari melihat saya walau tak pernah kenal
secara langsung akhirnya hafal dan kemudian saling menyapa meski cuma sekedar
menganggukkan kepala atau dengan isyarat lambaian tangan dari jarak jauh. Lebih
bisa melihat denyut kegiatan orang-orang di sepanjang jalan yang saya lalui,
Alhamdulillah ikut senang melihat mereka masih sehat sehingga bisa bekerja untuk
menafkahi keluarga berapa pun hasil yang diperoleh, karena pada saat yang sama
masih banyak di luar sana orang-orang yang bahkan belum punya bayangan akankah
bisa sarapan di pagi ini ?
Alhamdulillah pula
lebih bisa merasakan, menghayati dan memberi intensitas perhatian pada gerak
dari seluruh tubuh saat berjalan, keluar masuknya napas, detak jantung yang
lebih giat bekerja, bulir-bulir keringat yang keluar dari pori-pori, usapan
lembut angin yang membelai tubuh, juga gigitan kecil matahari pagi yang
merangsang dan mengalirkan kehangatan.
Ternyata kaki itu
luar biasa hebatnya, dia punya fleksibilitas yang tinggi dalam menghadapi
berbagai kondisi kontur jalan, sehingga tubuh bisa tetap tegak berdiri tanpa
tumbang mencium bumi.
Gorong-gorong tepi
jalan terlihat penuh oleh sampah padahal sebentar lagi kemungkinan akan
menginjak musim penghujan, memprihatinkan mereka yang membuang sampah seenaknya
mungkin tidak pernah mempertimbangkan haknya air untuk melewati saluran yang
dipersiapkan untuknya. Namun hal ini tentunya juga menjadi cermin bagi kesadaran
diri sendiri sudahkah bersikap adil dengan meletakkan segala seuatu sebagaimana
mestinya.
Lalu lalang kendaraan
masih menunjukkan keangkuhannya, semua ingin cepat, semua ingin lebih dahulu
tanpa bertenggang rasa, termasuk dengan
tak memberi ruang bagi penyeberang jalan yang kurang
berdaya.
Ibu tua dengan tabung
LPG 3 kg di boncengan belakang dari sepeda yang ia tuntun lama berdiri di tepi
jalan karena tak ada yang memberikan kesempatan ia lewat dan kelihatannya ibu
itu pun tidak berani untuk memutuskan segera menyeberang. Alhamdulillah, ketemu
Gusti Allah yang mau menyeberang.
Hal-hal semacam itu
sering sekali bisa dijumpai di jalanan. Ibu-ibu yang membawa 2 karung beras di
motornya dan karung beras itu jatuh namun dia tidak kuat mengangkatnya
sendirian, atau seserorang yang pedal sepeda onthelnya lepas dan tidak mempunyai
cukup uang untuk mereparasinya, atau anak sekolahan yang rantai sepedanya
terlepas dari gir tanpa bisa membetulkannya atau seorang lelaki tua yang
berjalan kaki dengan membawa lemper di nampan yang disangganya untuk ditawarkan
di setiap orang yang ditemuinya, seseorang yang menanyakan suatu alamat dan
masih banyak lagi. Kecil memang, bahkan mungkin tidak berarti, namun
alhamdulillah sangat berarti buat saya.
Gusti Allah selalu
menyapa manusia dengan idiom-idiom yang dimengerti oleh manusia itu sendiri, hanya sayang
kebanyakan manusia tak menyadarinya, termasuk saya. Itulah bahasa cinta-NYA
kepada kita, kesempatan yang DIA berikan kepada kita manusia untuk bercinta
dengan-NYA melalui dia yang sedang sakit, melalui dia yang sedang lapar, melalui
dia yang sedang kesusahan dan seterusnya.
Semoga Panjenengan
dan saya selalu disapa oleh-NYA dan dimampukan menyadari serta membalasa
sapaan-NYA.