Ya… namanya “bangjo” maksudnya lampu di perlintasan jalan raya yang warnanya abang, ijo dan kuning. Traffic light bahasa sananya.
Ada apa dengan bangjo ? Sebenarnya sih tidak ada apa-apa, dari dulu warnanya ya tetap seperti itu, hijau, merah dan kuning. Namun tiga warna tersebut bisa memberikan banyak arti, maksud dan tujuan bagi yang merasa memiliki simbol warna tersebut.
Dalam peta sosial kebudayaan, warna hijau merupakan simbol untuk mewakili kaum santri, merah bagi kaum abangan atau kuning yang berada di antara keduanya. atau kalau dalam peta politik, hijau berarti agamis, merah berarti nasionalis, kuning bisa berarti agamis yang nasionalis atau nasionalis yang agamis he… he… he… benar begitu ya ? Ya tak tahulah, tapi pada intinya adalah bahwa tidak ada dan tidak bisa suatu simbol apa pun itu diklaim oleh satu pihak saja sebagai kebenaran yang mutlak atas pemaknaannya terhadap simbol tersebut, sedangkan pihak lain tidak berhak memaknainya karena dianggap salah.
Seperti masalah bangjo itu, sebenarnya bangjo itu adalah bid’ah, tidak ada dalilnya kalau merah itu harus berhenti dan kalau hijau berarti boleh jalan he… he… he…
Tetapi sebenarnya bukan itu semua yang yang menjadi inti dari tulisan ini kali ini, namun intinya ada pada korelasi antara bangjo dengan kekoplakan saya. Lha memangnya ada hubungannya ? Ya jelas ada, kan saya yang menghubungkan.
Jadi begini saudara…
Saya itu inginnya kan dadi wong apik alias jadi orang baik, baik yang sebenar-benarnya baik, bukan kebaikan semu yang masih katanya, bukan kebaikan yang atas penilaian orang. Nah, berarti kebaikan itu harus dimulai dari dalam diri, dari level niat, rahsa, pikiran dan pada akhirnya terwujud dalam sikap, tindakan, ucapan dan perbuatan. sebab kebaikan itu adalah laku atauaction atau praktek bukan sekedar retorika belaka. Maka, menurut saya, kebaikan itu memerlukan komitmen, bersifat menyeluruh dan haruslah konsisten atau istiqomah atau ajêg, bila tidak demikian, berarti kebaikan itu ibarat gaman yang gowang.
Gaman bisa diartikan sebagai benda tajam. Ada benda tajam yang bersifat pragmatis, seperti pisau dapur pemotong sayur atau parang dan kapak pembelah kayu. Ada benda tajam yang bersifat fungsional seperti pedang untuk menegakkan dan membela martabat kemanusiaan. Ada juga yang bersifat spirit~menjiwai karena berupa nilai-nilai dasar yaitu pusaka. Dalam konteks kekinian, gaman bisa berupa aturan, hukum, perundang-undangan, tata niaga dan sebagainya. Gowang berarti sisi tajamnya ada yang cacat karena mungkin membentur benda yang lebih keras. Kalau gaman yang sisi tajamnya tidak sempurna namanya gowang, maka kalau manusia istilah Surabayanya adalah koplak.
Ndak usah ndakik-ndakik alias tidak usah tingi-tinggi, bagi saya, setiap kali melintasi bangjo, tiap kali pula menyadari kekoplakan saya.
Entah siapa yang merumuskan dan menyepakati, tetapi sudah menjadi kesepakatan bersama secara tidak langsung bahwa bila lampu menyala hijau berarti boleh melintas, kalau merah berarti harus berhenti sejenak dan kalau kuning berarti peringatan untuk berhenti. Ternyata penyikapan saya terhadap 3 jenis warna nyala lampu bangjo itu saat melintasinya tidak lepas dari aspek kesadaran spiritual yang seharusnya mendasari laku keseharian saya.
Kalau dari jauh bangjo sudah terlihat hijau, maka ada beberapa pilihan yang bisa saya ambil.
Pertama, berkesadaran untuk tetap sabar berkendara dengan kecepatan konstan seperti sebelumnya dengan memilih ridho meskipun nanti sebelum melintasi bangjo lampunya sudah menyala merah. Hijau ridho, merah pun juga ridho. Hal ini berarti tetap menjaga kesadaran untuk setia pada proses, berorientasi proses, bukan hasil.
Kedua, menambah kecepatan secara aman untuk berusaha bisa melintasi bangjo dengan niat mengurangi kecepatan saat lampu menyala kuning dan tetap berhenti saat merah. Ridho kalau hijau, terpaksa ridho kalau merah, belum setia pada proses dan masih berorientasi hasil.
Ketiga, pokoknya bagaimana caranya agar bisa tetap terus, menambah kecepatan kalau perlu potong kanan kiri, menambah kecepatan lagi saat kuning. Andai merah pun, terabas meski beresiko tinggi.
Pilihan saya tidaklah penting, karena yang penting adalah saya tahu pilihan Panjenengan. Panjenengan mesti memilih pilihan ketiga kan ? He… he… he… ini tidak hanya serius, namun dua rius, bukan guyon !
Maka di awal tadi saya katakan bahwa kebaikan itu memerlukan komitmen dan bersifat menyeluruh, dalam arti tidak memilih kondisi. Bila dalam kondisi tertentu berkesadaran baik, namun di kondisi tertentu yang lain kebaikan yang sama tidak dipakai, maka yang demikian itu gaman gowanglah namanya, koplaklah kemanusiaannya. Itu saya, sebab masih belajar untuk memilih pilihan pertama, baik di bangjo maupun di skala kehidupan yang lebih dalam dan luas.
Semoga gaman Panjenengan dan saya tidak gowang dan sedang berproses menjadi pusaka.