Baru saja di pagi
ini nyruput kopi sambil ngemil pang-pang,
tak sengaja menerawang jauh teringat mbarepku, Tara, yang saat ini sudah kelas
enam dengan kegiatan yang semakin bertambah. Di samping di luar mengikuti
bimbingan belajar, di sekolah pun selepas jam pelajaran usai ada tambahan
bimbingan belajar yang diasuh oleh guru kelas masing-masing untuk menghadapi ujian nasional yang akan datang.
Tiap hari
selalau dibawakan bekal sama
mamanya, nasi lengkap denga lauknya.
Dia sering bercerita kalau teman-temannya banyak yang ingin sebab tidak pernah
dibawakan bekal ke sekolah. Ingat itu aku jadi
nelangsa, teman-temannya juga ada yang berlatar
belakang orang tua yang sangat pas-pasan kalau tidak
bisa disebut kurang mampu. Lha untuk membiayai bimbingan belajat tambahan di sekolah
saja kesulitan. Apakah mereka juga
membawa bekal makanan atau apakah
mereka juga diberi uang saku
oleh orang tuanya untuk jajan ? Padahal
usia segitu
apalagi otak harus bekerja kerasa
melahap materi-materi pelajaran yang disampaikan oleh gurunya, biasanya
perut tidak mau diajak kompromi,
pasti demo. Jadi teringat juga kalau teman-teman anak-anakku beberpa juga sudah kehilangan
ayahnya yang menjadi tulang punggung keluarga karena telah dipanggil menghadapNya.
Kalau teringat itu semua miris hati
ini. Makanya beberapa waktu yang lampau saaat mbarepku itu
baru menapak kelas enam dan
baru memulai mengikuti bimbingan belajar di luar
sekolah untuk persiapan ujian nasional dan ujian
masuk ke jenjang sekolah berikutnya, pernah kupesan agar jangan sampai kalau di
sekolah dia bercerita tentang hal apa
pun mengenai bimbingan belajranya kepada teman-temannya. Kasihan kalau didengar oleh yang lain yang kebetulan sangat berharap untuk bisa mengikutinya pula namun orang tuanya
belum memungkinkan untuk memenuhinya. Kasihan dan saya sangat
bisa merasakan perasaan yang seperti itu.
Kalau saja
mungkin begitu, tentu sudah kusuruh
saja mabrepku itu makan
di rumah saja sehingga ke
sekolah cukuplah membawa bekal minum
saja agar tidak kelihatan makan dan jajan di
depan teman-temannya yang tidak
bisa seperti itu, tetapi ya….
Tentu saja tidak mungkin.
Situasi yang sama
pun pernah dulu kualami saat teman-teman
sekitarku untuk makan tiga kali sehari saja harus
berpikir dua kali sehiungga harus menyiasatinya dengan pengaturan jam makan agar sehari cukuplah dua kali makan. Maka bukan karena tak
mampu untuk membeli makanan, tetapi lebih karena
tidak kolu kalau saya
enak-enak makan padahal mereka menahan lapar. Jadinya, andai untuk membeli
makan cukup dengan tujuh atau
delapan ribu rupiah, maka dengan menambah
sedikit menjadi sepuluh ribu cukup
untuk bisa membeli gorengan agar bisa dimakan ramai-ramai
untuk sekedar mengganjal perut.
Miris rasanya
kalau pagi-pagi nganter anakku sekolah, di tepi jalan
masih banyak penarik becak yang duduk terpekur menunggu penumpang, sudahkan mereka sarapan ?
Di sudut jalan lain juga ada
beberapa orang berbekal cangkul dan linggis menunggu
ada orang yang dating menjemput dan memakai
tenaga mereka. Bahkan hari minggu kemarin
dari pagi sampai menjelang ashar mereka belum
ada yang menjemput.
Di sisi lain banyak juga mereka yang berlebih sehingga mampu berwisata kuliner dan menjadikannya
sebagai sebuah gaya hidup,
sah-sah saja. Itulah sebuah paradox kehidupan.
Dan akhirnya
kembali lagi ke diri saya
sendiri, yang masih saja dan selalu
saja sibuk memikirkan urusan diri sendiri dan
keluarga sendiri, itupun penuh dengan
keluhan. Maka memang benarlah
betapa mulianya Kanjeng Nabi yang hingga meninggalnya pun yang dipikirkan adalah nasib keseluruhan ummatnya sampai akhir jaman. Maka mestinya saya
malu, seberapa pun berat kehidupan yang mungkin saya sangga
sebenarnya tidaklah ada artinya bila
dihadapkan kepada Beliau, Kanjeng Nabi Muhammad, sebab saya hanya menanggung
beban saya sendiri, sedangkan Beliau, Kanjeng Nabi Muhammad, sangat welas asih
hatinya sehingga terasa oleh Beliau
segala beban dan penderitaan ummatnya dan sangat
menginginkan keselamatan ummatnya. Beliau sangat bisa untuk hidup dalam
keberlimpahan tetapi lebih memilih jalan
tirakat sepanjang hidupnya. Beliau sangat pantas untuk
dilayani, namun lebih memilih melayani
sepanjang hidupnya.
Apa yang lebih utama selaian
menempa jiwa dalam menghadapi samudera kehidupan ini ? Maka saya kira
sekecil apapun – menurut persepsi kita – yang diterimakan kepada kita oleh
Gusti Allah haruslah diikat dengan rasa syukur yang mendalam agar tak sempat mengeluh
saat melihat keadaan diri, tak
sempat angkuh saat melihat ke
bawah dan tak sempat pula untuk silau saat
melihat ke atas.
Semoga Panjenangan semua dan juga saya
selalu diselimuti kebarokahan di segala apa
pun yang telah, sedang dan akan dikaruniakan
olehNya.