Batu itu meski hakikinya hidup
namun ia terkategorikan sebagai benda mati. Ia tidak mempunyai pilihan apa pun
atas dirinya sendiri. Ia bisa tetap di tempatnya, berpindah karena dipindahkan,
dipecah atau dipahat indah tanpa bisa memilih sekali pun.
Beda dengan tumbuhan.
Tumbuhan terdefinisi sebagai benda hidup, namun ia juga sama tidak mempunyai
pilihan apa pun atas hidupnya. Tumbuh atau tidak tumbuhnya, berbuah atau tidak
berbuahnya atau apa pun yang terjadi atasnya sesuai jenisnya adalah bukan
kemauannya.
Berbeda juga dengan
hewan. Hewan memiliki hasrat dan mempunyai pilihan hanya untuk bagaimana
memenuhi hasratnya dan itu pun tanpa batasan apa pun sebab hewan memang tak
memiliki akal yang berfungsi untuk memilah dan memilih apa yang baik dan tidak
untuk dirinya. Ia hanya memilih apa pun yang bisa memenuhi hasratnya. Seekor
ayam mungkin tak pernah menyadari kalau dirinya “ayam” sebagaimana yang
didefinisikan oleh manusia. Ia mungkin tak pernah pula menyadari ke”ada”an
dirinya. Kesadarannya hanya mengikuti hasratnya saja.
Yang sangat berbeda adalah
manusia. Manusia di samping memiliki hasrat sebagaimana hewan, ia juga memilki
akal agar otaknya mampu berpikir untuk memproduksi kebaikan-kebaikan dalam
hidupnya, namun juga tak cukup saja dengan itu, manusia juga memilki hati yang
semestinya membuatnya mengenal dirinya sendiri dan tentu juga mengenal siapa
penciptanya sehingga kebaikan-kebaikan yang dirumuskan oleh pikirannya dipagari
oleh nilai-nilai yang benar menurut GUSTInya bukan kebenaran menurut
persepsinya sendiri agar kebaikan itu juga benar dan tampak keindahannya.
SAAT
Berbeda dengan ayam
yang mungkin ia tak menyadari dirinya sebagai ayam atau tak menyadari bahwa ia
ada di alam ini, manusia tidak. Manusia dengan akal pikirannya akan menyadari
bahwa dirinya ada saat ia berinteraksi dengan yang lainnya. Seorang bayi dalam
tumbuh kembangnya, mungkin akan mulai menyadari ke”ada”annya saat ia mulai bisa
menjalin sebuah interaksi dengan orang lain. Saat ia mulai menyadari selalu ada
interaksi dengan orang-orang terdekatnya seperti interaksi dengan orang tuanya,
maka pada saat itulah kesadaran tentang eksistensi egonya mulai muncul dengan
meminta pemenuhan kebutuhan egonya kepada mereka yang paling sering
berinteraksi dengannya.
Bagi orang tuanya,
bayi-bayi yang lain atau anak-anak yang lain sebenarnya sama dengan bayi atau
anak mereka sendiri, namun di luar bayi atau anaknya sendiri semuanya akan
dianggap tak ada keber”ada”annya. Bayi atau anak bagi orang tuanya pasti akan
disadari keber”ada”annya karena para orang tua memiliki pamrih terhadap anaknya
dalam kata lain anak-anak mereka ada manfaatnya bagi diri mereka, minimal
sebagai simbol kebanggan atau simbol penerus kehidupan mereka.
Dalam lingkup yang
lebih luas pun demikian juga. Seseorang akan dianggap “ada” saat dia ada
gunanya, ada manfaat yang keluar dari dirinya bagi orang lain.
Coba saja diamati,
dari sekian ribu orang yang kita temui dalam satu hari, berapa orang yang “ada”
dalam diri kita dalam arti yang melekat dalam kesadaran kita ? Pasti tidak
banyak dan itu pasti hanya yang kita kenal, yang ada hubungan dengan keseharian
kita, yang ada manfaatnya bagi diri kita. Dalam beberapa kasus ada pula yang “ada”
karena kezhaliman yang keluar dari dirinya.
Yang “ada” bagi kita
adalah manusia yang manusia, dalam arti lengkap dan berfungsi perangkat kemanusiaannya yaitu selain memiliki hasrat
juga berakal dan berhati. Yang juga “ada” meski biasanya terpaksa meng”ada”
dalam kesadaran kita adalah manusia yang mungkin belum memanusia, karena
mungkin hasratnya saja yang begitu kuat atau hasrat dan pikirannya saja yang
berjalan tanpa kendali dari hatinya. Mungkin kesadaran manusia semacam itu (boleh jadi itu saya sendiri) adalah
kesadaran batu atau tumbuhan atau hewan.
Kalau batu itu
sendiri selain bisa dipecahkan berkeping-keping ia juga bisa dipahat indah dan
semua itu ada manfaatnya bagi manusia, namun kalau manusia yang membatu yang
tidak bisa diajak berpikir, tidak bisa menerima nasehat, tidak bisa diajak
musyawarah atau apa pun juga, apalagi kalau tidak dipecahkan saja ?
Tumbuhan pun, sebusuk-busuknya
malah bisa menyuburkan tanah, lha kalau manusia yang membusuk kemanusiaannya ?
Demikian pula hewan, masih ada manfaatnya buat manusia, lha kalau manusianya
menghewan ?
MANFAAT
Bila melihat dari hal
itu, maka sebenarnya nama kita tidaklah perlu, jabatan kita, profesi kita,
pekerjaan kita atau predikat apa pun yang melekat pada diri kita pun tidaklah
penting karena itu semua bukan menunjukkan adanya kita. Diri kita “ada” bagi
yang lain jika ada manfaat yang keluar dari diri kita bagi yang lain.
Itu semua berarti bahwa
dalam konteks interaksi antara sesama manusia atau yang lebih luas yaitu antara
sesama makhluknya Gusti Allah, yang perlu dipertanyakan adalah “manfaat saya
apa” bukan “siapa saya”. Bukankah demikian yang dituntunkan oleh Kanjeng Nabi,
bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat ? Bagi saya, jareku, bermanfaat itu paling minim
adalah tidak merugikan siapa pun atau apa pun juga dalam keseharian diri kita
masing-masing.
Manfaat saya apa ?
Itu yang saya rasa harus terus kita cari dan itu juga yang rasanya sampai saat
ini saya belum menemukan. Saya yakin masing-masing kita terlahir di dunia ini
dengan mengemban sebuah misi dari Gusti Allah untuk menyerap berkat dariNYA
untuk menjadi rahmat bagi semestaNYA, hamemayu
hayuning bawono, sesuai kadar, komposisi dan koordinat ruang waktu yang
kita tempati. Dalam proses pencarian itu, jareku,
mungkin ada dua hal yang bisa kita jadikan parameter ketepatan kita menemukan
misi hidup kita, yaitu kalau kita rasakan bahwa kita mendapat fasilitas dari
Gusti Allah berupa apa pun itu, bisa jadi fasilitas itu berupa keluasan ilmu,
kelapangan rejeki, pinjaman kekuasaan, daya juang dan seterusnya, maka di dalam
fasilitas itu berarti ada amanat dariNYA dan itulah perintahNYA untuk diri
kita. Sebaliknya, kalau kita diberi amanat olehNYA seperti misalnya dihadapkan
dengan berbagai hal yang harus kita bantu untuk mencari solusinya, maka kita
harus meyakinkan diri kita sendiri bahwa Gusti Allah akan memfasilitasinya.
SIAPA SAYA
Manusia yang
berfungsi hatinya, biasanya akan selalu terusik untuk terus menerus mencari
jati dirinya hingga akhirnya menemukan ke”tiada”an dirinya di dalam ke”ada”annya
di antara sesama makhluk. Meski seseorang telah menemukan misi hidupnya dan begitu
luar biasa kemanfaatannya bagi sesamanya, namun begitu dia menyadari hakikat
GUSTInya, maka dia akan menemukan “belum” meskipun telah lama “sudah”, karena “sudah”nya
semata-mata adalah fasilitas dari Gusti Allah.
Di hadapanNYA lebur
segala benda. Di dalam cintaNYA sirna segala macam rasa. Di kehendakNYA hilang
segala daya. Manusia bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa, maka agar mengerti
makna diturunkanlah agama olehNYA. Karena cintaNYA yang mendalam, diajarkan
olehNYA segala hal dari manusia harus bermuatan DIA, tak boleh ada yang lain
termasuk eksistensi diri manusia itu sendiri. Namun karena kasihNYA yang juga meluas,
maka dianugerahilah manusia dengan rahmatNYA atas peniadaan dirinya dan diperintahkanNYA
untuk menjadikan rahmat itu sebagai berkah bagi sesamanya.
Sederhananya, saya
shalat atau pun tidak sebenarnya bukanlah hal yang penting dan bukan masalah
bagi orang lain, sebab itu adalah urusan saya dengan Gusti Allah. Yang menjadi
penting bagi orang lain adalah apakah saya bisa memberi manfaat untuk mereka
ataukah malah menebar mudharat sehingga mereka tidak selamat dan aman dari
kejahatan saya.
LUPA LUPA INGAT
Bagi yang ingat,
kesadarannya selalu menyatakan ~ siapa sih saya ini, eksistensinya diletakkan
di belakang esensinya. Namu bagi yang lupa, ketaksadarannya selalu mengatakan ~
belum tahu ya siapa saya ini, esensinya diletakkan di belakang eksistensinya.
SEMOGA
Semoga Panjenengan
dan saya selalu digerakkan oleh Gusti Allah untuk selalu kembali memanusia yang
selalu memproduksi kebaikan, kebenaran dan keindahan agar rahmatNYA menjadi
berkah bagi seluruh semestaNYA.