Selalu saja di bulan ini,
Desember, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya selalau gaduh terutama di media-media
sosial. Propaganda dan debat yang tak pernah usai. Bagiku… mbok yo uwis. Bukan menyetujui atau menerima salah satunya, tapi
semua kan harus dikembalikan pada diri sendiri. Seumpama saya sebagai seorang
disainer grafis kemudian mendapat order disain untuk apa pun itu yang
bertemakan sebuah momen dari sebuah keyakinan di luar keyakinan saya, lalu
apakah dengan itu berarti hati dan pikiran saya telah beringsut, beranjak,
bergeser, bergerak atau bahkan masuk ke wilayah keyakinan lain itu ? Rasanya
terlalu naïf kalau jawabannya adalah iya. Bahkan berpelukan erat pun dengan seseorang byang berkeyakinan lain, seberapa
persenkah persentuhan saya dengan orang lain ? Saya kira tak ada sehitamnya
kuku di jari saya bila dibandingkan dengan keseluruhan dimensi yang ada di
dalam diri saya.
Tetapi ya sudahlah… tak
perlulah bagi saya untuk ikut-ikutan memperdebatkan, karena saya rasa, dalam
hal apapun, debat itu hanya diperlukan bagi mereka yang membutuhkan pengakuan
akan apa yang diyakininya, bukan bagi yang telah yakin.
Kitab Suci, Qur’an,
ada yang bersifat instruksi yang harus dilaksanakan dengan petunjuk pelaksanaan
sebagaimana yang dituntunkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad, ada juga yang bersifat
informasi tentang masa lalu atau pun yang akan datang, serta ada pula yang
bersifat diskusi dalam arti informasi yang disampaikan belum titik dan terbuka
kemungkinan yang luas untuk mendiskusikan dan mengkajinya lebih lanjut.
Saya pribadi tidaklah
pandai mengaji, membaca terjemahannya pun hanya dari terjemahan Departemen
Agama Republik Indonesia, jadi mohon dimaafkan kalau banyak ngawurnya. Namun
momen saat ini, Desember, mengingatkan akan kekaguman saya terhadap gaya bahasa diplomatis
yang disampaikan oleh Kanjeng Nabi Isa kepada Gusti Allah yang memohonkan
ampunan untuk ummatnya, sebagaimana yang diinformasikan Gusti Allah dalam Surat
Al Maa-idah berrangkai mulai ayat 116 sampai dengan ayat 118.
Monggo Panjenengan buka sendiri mulai ayat 116. Ayat tersebut
mengisahkan tentang dialog Gusti Allah dengan Kanjeng Nabi Isa, saya kira
Panjenengan lebih paham dari pada saya. Ada gaya bahasa diplomasi pada ayat 118
: “Jika
Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hambaMu, dan jika
Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”
Seakan kalau dalam
bahasa bebas versi saya, Kanjeng Nabi Isa itu mengatakan : “Gusti… kalau dengan
KemahaperkasaanMu Panjenengan siksa mereka, toh mereka itu hambaMu juga Gusti,
masak Panjenengan tega. Namun kalau Panjenengan ampuni, maka memang demikianlah
KemahabijaksanaanMu.”
Kalau misalnya Gusti Allah benar-benar mau mengampuni mereka yang selama di dunia ini kita sesat-sesatkan, kita kafir-kafirkan, misalnya, terus kita mau apa ? Wong yang jadi TUHAN itu Gusti Allah, bukan kita ?
Kalau misalnya Gusti Allah benar-benar mau mengampuni mereka yang selama di dunia ini kita sesat-sesatkan, kita kafir-kafirkan, misalnya, terus kita mau apa ? Wong yang jadi TUHAN itu Gusti Allah, bukan kita ?
Bukan masalah salah
atau benar, setuju atau tidak setuju, namun yang menjadi fokus perhatian saya
adalah agar bagaimana kemanusiaan saya adalah tetap manusia dan jangan sampai
berhasrat jadi TUHAN dengan menghakimi apa pun dan siapa pun terlebih kalau
sampai dilatarbelakangi oleh hawa nafsu saya. Bukankah kita semua, se’alim dan
se’arif apa pun misalnya, tetaplah hanya wayang-wayangNya yang dimainkanNya di hamparan
pakeliran-Nya ?
Kira-kira begitu
menurut saya.
Semoga Panjenengan dan saya
dimampukannya untuk merangkai ilmu dan mengenali DIA di balik segala peristiwa
dan semesta ciptaanNya.