Meski tahu tak
mungkin abadi, namun manusia diam-diam menginginkannya. Banyak manusia yang
membangun ilusi tentang keabadiannya yang kemudian menjadi amunisi bagi
ambisinya yang tiada henti.
Ambisi tentang
surganya sendiri bukan surganya Tuhan. Kalau surganya Tuhan adalah pengabdian
tanpa batas pada kehendakNya serta kerelaan tanpa syarat pada ketentuanNya yang
berarti melayaniNya, maka kalau surganya sendiri adalah kebebasan tanpa batas,
kenyamanan dan kemewahan dari segala derita dan duka lara, serta kemenangan
dari apa dan siapa pun yang bukan dirinya yang berarti juga adalah melayani
dirinya sendiri.
Ambisi itu sendiri sesungguhnya
adalah topeng bagi ketakutannya tentang ketakabadiannya. Sesungguhnya ia tahu
akan batas keberadaannya di tengah pusaran ruang dan waktu, namun tahunya itu
dibenamkan dan disembunyikan dari kesadarannya. Dunia, andai bisa, hendak
ditelannya semuanya. Kekuasaan menjadi landasan untuk mendulang kekayaan, tanpa
peduli berapa banyak manusia lain yang disengsarakannya.
Tetapi apakah mereka yang
seperti itu pasti celaka atau pasti neraka menurut persepsi kita ? Ya belum
tentu, sebab hidup itu titik tersakralnya adalah di batas akhirnya. Bisa jadi
mereka yang saat ini kelihatan jauh dari kesucian, malah menemui kesejatian di
batas akhir kehidupannya. Begitu pun sebaliknya, bisa jadi mereka yang
tampaknya telah menemui hakikat hidupnya malah terperosok ke jurang kepalsuan
di penghujung akhir nafasnya.
Maka benarlah bahwa
dunia ini hanyalah panggung sandiwara, ajang senda gurau dan permainan saja,
meski tentu saja kita semua semestinya tetap harus bersungguh-sungguh dalam
peran dan permainan kita masing-masing. Tetap harus berusaha seimbang dalam
mengendalikan akal dan hati agar proporsional, tetap harus menapak dua wilayah,
syariat dan hakikatnya sekaligus, serta tetap harus memilah dan memilih antara eksistensidan esensinya. Bila seperti itu, maka mungkin benarlah adanya.
BENAR
Dalam
khasanah kearifan Jawa, ada suatu idiom “ora
mung bênêr, nanging kudu pênêr” yang dalam bahasa bebas bisa diartikan
bahwa tidak hanya benar melainkan harus juga pas atau pada tempatnya. Sebab
benar bisa menjadi sesuatu yang kurang pas apabila benar itu tidak diletakkan
pada koordinat ruang dan waktu yang sesuai. Andai selembar kertas putih yang
masih kosong itu sebagai sesuatu yang benar, maka kertas putih itu akan menjadi
tidak benar saat dilemparkan di lantai sebuah ruangan yang bersih, sebab kertas
itu akan menjadi sampah di ruangan itu.
Selama ini, benar itu
sangat sulit dirumuskan kemutlakannya, sebab selama ini pula manusia jarang
yang berkesadaran mencari apa yang benar, melainkan lebih sering masih sebatas
memperebutkan siapa yang benar dan itulah awal dari semua persengkataan bahkan
atas nama tuhan sekali pun.. Kalau sudah merasa benar, maka yang lain pasti
salah, kalau sudah pegang kekuasaan, maka pasti benar, kalau sudah menang maka
yang kalah pasti salah dan demikian setrusnya.
TUHAN menyatakan
kebenaran mutlak tentang DIA dalam arti mengenalkan DIRINYA dengan cara menciptakan
makhlukNya dan itu tak terbantahkan. Maka tugas makhluk pun sesuai dengan hal
itu, yaitu menyaksikan, merasakan dan mengalami TUHAN sebagai kebenaran yang
mutlak. Karena hanya TUHANlah yang mutlak, maka tak satu pun makhluk ciptaanNya
yang mempunyai kekuasaan mutlak untuk mengendalikan seluruh fenomena dan peristiwa
kemakhlukannya sendiri, apalagi makhluk di luar dirinya. Maka apalah artinya
kebenaran yang dianggap benar oleh manusia, tentunya sangat lemah sekali.
Sederhananya, misal
saya mengajak sepuluh teman untuk mencoba mencari kebenaran tentang gambar gunung
dengan mendatangi salah satu gunung tertentu. Semua sibuk dengan peralatan
gambarnya. Semua sibuk menggambar gunung yang ada di hadapan mereka, sampai
akhirnya gambar gunung pun selesai. Sembilan orang menggambar gunung dengan
hasil yang berbeda, tergantung dari sudut pandang di mana mereka masing-masing
melihat gunung. Pola pewarnaannya pun berbeda, juga detil setiap goresannya
berbeda walau pun obyeknya sama. Lalu
gambar siapa yang benar ?
Dari sepuluh teman,
saya sebutkan hasil gambaran dari sembilan orang, sebab seorang teman dari awal
sampai akhir sama sekali tidak menggambar gunung segores pun. Dia hanya
mempersiapkan sebuah cermin dan cermin itu dihadapkannya pada gunung tersebut saat teman yang lain mempertanyakan tentang
hasil gambaran gunungnya. Dari hasil gambaran yang sembilan orang tadi dengan
bayangan yang tercipta di cermin, mana
yang benar ?
Saya kira, yang
benar-benar benar adalah gunung itu sendiri, maka kalau mencari gambar gunung
yang benar, jadilah gunung. Namun patut disadari, bahwa saat kita sudah menjadi
gunung itu sendiri, kita pasti lupa akan keinginan kita mencari gambar gunung
yang benar sebab keinginan itu pasti sudah sirna, sebab kita adalah gunung itu
sendiri..
Kalau untuk mencari
kebenaran mutlak dari satu makhluk saja tidak mungkin bisa, maka dari mana
nalarnya kalau ada seseorang atau sekelompok orang memonopoli kebenaran menurut
asumsinya dengan menisbikan yang lain ?
Mudah-mudahan
Panjenengan dan juga saya terus menerus diperjalankan oleh TUHAN sekaligus
dimudahkan untuk menemukan yang benar yang semakin meningkat kadar kebenarannya
menurut TUHAN tanpa sekali pun merasa paling benar.
DISTORSI
Saya itu punya teman,
kalau tertawa matanya hilang, mulutnya
terbuka lebar hingga kelihatan gigi palsunya, bahunya terlihat naik turun, tapi
perutnya tak bergerak.
Siapa pun yang
membaca pernyataan saya di atas pasti mempunyai visualisasi yang berbeda-beda
dari apa yang saya nyatakan, sebab tak ada kata yang bisa merangkai semua
makna, maka saat saya menyampaikan peristiwa yang saya alami melalui tulisan
tanpa Panjenengan bertemu langsung dengan saya sehingga saya bisa menuturkan
sambil memperagakan apa yang saya nyatakan sebelumnya dalam bahasa tulis, maka
persepsi dari setiap Panjenengan pasti berbeda.
Peristiwa yang saya alami
adalah sebuah kebenaran, namun saat sampaikan melalui media yang berbeda maka
kadar kebenarannya akan mengalami distorsi. Itu baru dari satu penutur, yaitu
saya ke orang kedua yang mendengar cerita saya atau membaca tulisan saya, atau
melihat foto yang saya kirimkan saat teman saya tertawa. Lha kalau orang kedua
ini menyampaikan kepada orang ketiga, orang ketiga menyampaikan kepada orang
keempat dan seterusnya, maka kebenaran itu pun akan semakin terdistorsi.
Padahal ada suasana san nuansa saat terjadinya peristiwa teman saya tertawa,
ada juga latar belakang kenapa teman saya tertawa dan ada detil dari yang saya
lihat tentang teman saya yang sedang tertawa. Kesemuanya itu pasti tak bisa
secara keseluruhan tersampaikan melalui bahasa tulis atau pun bahasa lisan
tanpa melihatnya langsung.
Suasana saat itu
ramai ada tujuh orang termasuk saya dalam nuansa nostalgia mengenang masa lalu
sewaktu masih sekolah di tingkat es-em-pe. Ingat saat sedang ngrasani salah satu guru yang killer ternyata guru tersebut sedang
lewat di belakang kami dan mendengar pembicaraan kami. Kebetulan teman yang
saya ceritakan itu matanya lebih sipit dari mata saya, sehingga saat tertawa
matanya kelihatan terpejam, gigi serinya yang atas yang nomor dua dari kiri
tanggal sehingga saat ini di pakai gigi palsu. Saat tertawa mulutnya terbuka
lebar sehingga saya bisa melihat gigi palsunya. Karena tertawa bahunya pun
berguncang ritmis seperti naik turun, tetapi perutnya tidak bergerak.
Sebenarnya perutnya pun bergerak karena tertawa, tetapi karena perwakannya
kurus sedangkan dia memakai kemeja yang besar, maka pergerakan perutnya tidak
terlihat, jadi seakan tidak bergerak. Begitu kira-kira kisah lengkapnya dari
pernyataan saya di atas.
Namun bisa jadi
mereka yang terlalu dangkal, hanya menangkap kata “matanya hilang” dan kata itulah yang diolah lagi mungkin dalam
makna yang sebenarnya bukan lagi sebagai sebuah majas bahasa bahwa matanya
benar-benar hilang, untuk dipublikasikan. Kalau hal itu yang terjadi, maka nilai
kebenaran tersebut akan semakin terdistorsi.
MÄCÄ KAHANAN
Saya jadi berpikir
kalau Kanjeng Nabi Muhammad itu sangat nJawani.
Pertama, karena
Beliau menyikapi suasana masyarakat saat itu tidak dengan cara yang frontal,
melainkan dengan lebih menyelami diri sendiri dulu, berusaha mengenali bagian
terdalam dari dirinya yang tidak terpengaruh oleh apa pun termasuk oleh gerak
akal, pikiran dan nafsunya sendiri, yaitu dengan bertapa kalau dalam idiomatik
Jawa.
Kedua, saat Gusti
Allah menginformasikan kebenaran dalam bahasa yang dipahami oleh Beliau yaitu
dengan dekapan Malaikat Jibril yang kemudian memerintahkan membaca, iqra’, maka Beliau pun menjawab bahwa
Beliau tidak mampu membaca. Sebuah sikap andhap
asor atau rendah hati dari seorang manusia mulia yang ora rumängsä bisä atau merasa tidak mempunyai kemampuan untuk mäcä kahanan atau membaca membaca kenyataan
atau keadaan atau fenomena atau peristiwa.
Setelah diperintahkan
untuk membaca dengan nama Tuhan (iqra’
bi-ismi rabbika) yang berarti Tuhan memperkenalkan dirinya dengan nama ALLAH,
barulah segalanya terbuka bagi Beliau untuk membacanya.
Pada titik itulah,
menurut saya alias jareku, merupakan
awal sekaligus akhir dari pencarian manusia akan hakikat hidupnya. Mencari
dengan membaca, membaca kenyataan atau
keadaan atau fenomena atau peristiwa / mäcä
kahanan haruslah diawali dengan namanya Gusti Allah, berarti tidak bisa
tidak selain harus mencari dan memahami secara terus menerus apa sih maunya
Gusti Allah di sesuatu yang sedang dibaca itu.
TITIK AWAL
Mengapa harus mencari
dan memahami apa maunya Gusti Allah ? Agar DIA ridho. Berarti titik awalnya
adalah membaca untuk mencari ridhonya Gusti Allah.
Ibarat sebuah
lingkaran, membacanya pun harus melingkari obyek yang dibaca hingga nanti
kembali ke titik yang sama. Maka kalau titik awalnya adalah ridhonya Gusti
Allah, maka sepanjang lingkaran hingga nanti titk akhirnya kembali ke titik
awal pun tetap dalam rangka mencari rdhonya Gusti Allah. Jadi tidak ada yang
lain kesimpulannya kecuali Gusti Allah itu sendiri. Itu yang seharusnya
disadari.
MEMBACA
Bacalah ! Membaca
berarti ada obyek yang dibaca oleh subyek yaitu si pembaca. Lalu kenapa bukan :
dengarlah ! Bukankah mendengar juga pasti ada obyek yang didengar ?
Menurut
saya alias jareku, mendengar itu
masih terdapat jarak antara subyek pendengar dan obyek yang didengar, maka
hasilnya pun hanya sekedar tahu alias masih sebatas teori. Misalnya, ada
informasi kalau api itu panas, sedangkan
saya belum pernah melihat wujudnya api dan belum pernah juga merasakan panasnya
api, maka api itu panas meskipun
sudah menjadi ilmu dalam diri saya namun masih sebatas teori saja. Kebenaran
yang saya dapatkan masih dangkal sebab kedalaman ilmu saya hanya sebatas tahu, yang kalau dalam idiom Jawa
disebut sebagai ngêrti. Tahap inilah
yang mungkin disebut sebagi ilmul yaqin
dalam idiom agama.
Sedangkan membaca,
tentu saja yang saya maksudkan adalah bukan membaca teks teori, antara subyek
yang membaca dan obyek yang dibaca berada dalam satu peristiwa. Ada yang
dilihat, ada yang didengar, ada yang dicium dan atau ada yang dirasakan. Pada
contoh sebelumnya, berarti saya telah menyaksikan langsung wujud api dan telah
pula merasakan panasnya api saat saya sentuhkan tangan saya ke dalam api. Pada
tahap ini, tentunya saya mendapat kebenaran yang semakin dalam, sebab saya
menyaksikan dan merasakan langsung. Dalam idiom Jawa, hal ini disebut sebagai ngêruhi, sebab saya seakan telah
menjiwai kebenaran itu. Mungkin tahap inilah yang disebut sebagai ainul yaqin dalam idiom agama.
Bila misalnya saya
dalam hal ini mencari lagi kebenaran yang lebih dalam tentang api dan panasnya,
maka saya harus bisa bersentuhan, terlibat langsung dan merasakan sendiri apa
dan bagaimana nuansa serta suasana yang melatarbelakanginya, misalnya dari mana
asalnya, pemicunya apa, sifatnya bagaimana, cara mengendalikannya seperti apa,
bisa dimanfaatkan untuk apa, apa ada hal yang merugikan darinya dan seterusnya.
Tahap inilah yang mungkin disebut sebagai haqqul
yaqin dalam idiom agama. Dalam idion Jawa, tahap ini disebut dengan wijang alias paham, jadi tidak saja ngêrti bukan pula ngêruhi namun wijang.
Maka hanya mereka yang wijang saja
yang mampu member wêjangan atau
pencerahan, sebab yang mereka miliki tidak hanya ilmu / teori namun sudah
mempraktekkannya atau sudah menjadi laku.
Wêjangan itu bukan pidato, bukan
khotbah dan bukan ceramah, karena wêjangan
lebih dalam dari itu. Wêjangan
menimbulkan bekas pada hati penerimanya, bagaikan digores sebuah pena, hati
penerimanya akan merekam kuat meski saat itu belum paham, namun nanti pada
saatnya dia memerlukannya, rekaman itu akan muncul dengan sendirinya dan
menjadikan dia paham.
Tak semua ilmu
menjadi laku, namun biasanya sebuah laku akan berbuah ilmu.
Kehidupan ini dalam
arti seluruh semesta ciptaan Gusti Allah, memiliki variable yang tak terbatas,
maka pencarian kebenaran tentangnya adalah perjalanan yang teramat panjang yang
takkkan pernah tuntas. Apalagi bila itu tentang Gusti Allah sendiri, ya
tentunya takkkan terjangkau dan tersentuh oleh keterbatasan akal manusia. Hati
pun yang meski dapat merasakan dan melihatNya, tak pernah benar-benar tuntas memahaminya.
Ada seribu lapis cahaya yang harus dilalui satu persatu untuk lebih
mengenalnya, ada selaksa tirai yang harus dikuak untuk mengeja kehendakNya.
Maka apakah mereka
yang telah wijang atau telah
menemukan hakikat kebenaran dalam akal dan hatinya telah mencapai puncaknya
kebenaran ?
Ya belum tentu…
Ibarat gunung,
kebenaran memang harus didaki dari lembah menuju puncak, namun saat sampai
puncak, selalu saja puncak itu mejadi lembah bagi puncak yang berikutnya. Demikianlah
seterusnya. Maka manakala siapa pun yang sampai ke puncak dan menganggapnya adalah
puncak dari segala puncak, sesungguhnya dia sedang menggelincirkan dirinya
sendiri ke kedalaman lembah yang paling dalam.
Semoga Panjenengan
dan juga saya dan seluruh keluarga serta anak keturunan kita selalu diberi
limpahan hati yang terang, iman yang tetap dan dunia akhirat yang selamat.
Assalammualaikum... Terima kasih, salam kenal... dalem dari surabaya - tenggilis. Tau blog jenengan rekomendasi dari teman. Wassalamualaikum...
ReplyDeleteWa'alaikum salam, semoga ada manfaatnnya.
Delete