BELUM tentu

Written By BAGUS herwindro on Apr 14, 2015 | April 14, 2015

Meski tahu tak mungkin abadi, namun manusia diam-diam menginginkannya. Banyak manusia yang membangun ilusi tentang keabadiannya yang kemudian menjadi amunisi bagi ambisinya yang tiada henti.

Ambisi tentang surganya sendiri bukan surganya Tuhan. Kalau surganya Tuhan adalah pengabdian tanpa batas pada kehendakNya serta kerelaan tanpa syarat pada ketentuanNya yang berarti melayaniNya, maka kalau surganya sendiri adalah kebebasan tanpa batas, kenyamanan dan kemewahan dari segala derita dan duka lara, serta kemenangan dari apa dan siapa pun yang bukan dirinya yang berarti juga adalah melayani dirinya sendiri.

Ambisi itu sendiri sesungguhnya adalah topeng bagi ketakutannya tentang ketakabadiannya. Sesungguhnya ia tahu akan batas keberadaannya di tengah pusaran ruang dan waktu, namun tahunya itu dibenamkan dan disembunyikan dari kesadarannya. Dunia, andai bisa, hendak ditelannya semuanya. Kekuasaan menjadi landasan untuk mendulang kekayaan, tanpa peduli berapa banyak manusia lain yang disengsarakannya.

Tetapi apakah mereka yang seperti itu pasti celaka atau pasti neraka menurut persepsi kita ? Ya belum tentu, sebab hidup itu titik tersakralnya adalah di batas akhirnya. Bisa jadi mereka yang saat ini kelihatan jauh dari kesucian, malah menemui kesejatian di batas akhir kehidupannya. Begitu pun sebaliknya, bisa jadi mereka yang tampaknya telah menemui hakikat hidupnya malah terperosok ke jurang kepalsuan di penghujung akhir nafasnya.

Maka benarlah bahwa dunia ini hanyalah panggung sandiwara, ajang senda gurau dan permainan saja, meski tentu saja kita semua semestinya tetap harus bersungguh-sungguh dalam peran dan permainan kita masing-masing. Tetap harus berusaha seimbang dalam mengendalikan akal dan hati agar proporsional, tetap harus menapak dua wilayah, syariat dan hakikatnya sekaligus, serta tetap harus memilah dan memilih antara eksistensidan esensinya. Bila seperti itu, maka mungkin benarlah adanya.

BENAR

Dalam khasanah kearifan Jawa, ada suatu idiom “ora mung bênêr, nanging kudu pênêr” yang dalam bahasa bebas bisa diartikan bahwa tidak hanya benar melainkan harus juga pas atau pada tempatnya. Sebab benar bisa menjadi sesuatu yang kurang pas apabila benar itu tidak diletakkan pada koordinat ruang dan waktu yang sesuai. Andai selembar kertas putih yang masih kosong itu sebagai sesuatu yang benar, maka kertas putih itu akan menjadi tidak benar saat dilemparkan di lantai sebuah ruangan yang bersih, sebab kertas itu akan menjadi sampah di ruangan itu.

Selama ini, benar itu sangat sulit dirumuskan kemutlakannya, sebab selama ini pula manusia jarang yang berkesadaran mencari apa yang benar, melainkan lebih sering masih sebatas memperebutkan siapa yang benar dan itulah awal dari semua persengkataan bahkan atas nama tuhan sekali pun.. Kalau sudah merasa benar, maka yang lain pasti salah, kalau sudah pegang kekuasaan, maka pasti benar, kalau sudah menang maka yang kalah pasti salah dan demikian setrusnya.

TUHAN menyatakan kebenaran mutlak tentang DIA dalam arti mengenalkan DIRINYA dengan cara menciptakan makhlukNya dan itu tak terbantahkan. Maka tugas makhluk pun sesuai dengan hal itu, yaitu menyaksikan, merasakan dan mengalami TUHAN sebagai kebenaran yang mutlak. Karena hanya TUHANlah yang mutlak, maka tak satu pun makhluk ciptaanNya yang mempunyai kekuasaan mutlak untuk mengendalikan seluruh fenomena dan peristiwa kemakhlukannya sendiri, apalagi makhluk di luar dirinya. Maka apalah artinya kebenaran yang dianggap benar oleh manusia, tentunya sangat lemah sekali.

Sederhananya, misal saya mengajak sepuluh teman untuk mencoba mencari kebenaran tentang gambar gunung dengan mendatangi salah satu gunung tertentu. Semua sibuk dengan peralatan gambarnya. Semua sibuk menggambar gunung yang ada di hadapan mereka, sampai akhirnya gambar gunung pun selesai. Sembilan orang menggambar gunung dengan hasil yang berbeda, tergantung dari sudut pandang di mana mereka masing-masing melihat gunung. Pola pewarnaannya pun berbeda, juga detil setiap goresannya berbeda walau pun obyeknya sama. Lalu gambar siapa yang benar ?

Dari sepuluh teman, saya sebutkan hasil gambaran dari sembilan orang, sebab seorang teman dari awal sampai akhir sama sekali tidak menggambar gunung segores pun. Dia hanya mempersiapkan sebuah cermin dan cermin itu dihadapkannya pada gunung tersebut  saat teman yang lain mempertanyakan tentang hasil gambaran gunungnya. Dari hasil gambaran yang sembilan orang tadi dengan bayangan yang tercipta di cermin, mana yang benar ?

Saya kira, yang benar-benar benar adalah gunung itu sendiri, maka kalau mencari gambar gunung yang benar, jadilah gunung. Namun patut disadari, bahwa saat kita sudah menjadi gunung itu sendiri, kita pasti lupa akan keinginan kita mencari gambar gunung yang benar sebab keinginan itu pasti sudah sirna, sebab kita adalah gunung itu sendiri..

Kalau untuk mencari kebenaran mutlak dari satu makhluk saja tidak mungkin bisa, maka dari mana nalarnya kalau ada seseorang atau sekelompok orang memonopoli kebenaran menurut asumsinya dengan menisbikan yang lain ?

Mudah-mudahan Panjenengan dan juga saya terus menerus diperjalankan oleh TUHAN sekaligus dimudahkan untuk menemukan yang benar yang semakin meningkat kadar kebenarannya menurut TUHAN tanpa sekali pun merasa paling benar.

DISTORSI

Saya itu punya teman, kalau tertawa matanya hilang, mulutnya terbuka lebar hingga kelihatan gigi palsunya, bahunya terlihat naik turun, tapi perutnya tak bergerak.

Siapa pun yang membaca pernyataan saya di atas pasti mempunyai visualisasi yang berbeda-beda dari apa yang saya nyatakan, sebab tak ada kata yang bisa merangkai semua makna, maka saat saya menyampaikan peristiwa yang saya alami melalui tulisan tanpa Panjenengan bertemu langsung dengan saya sehingga saya bisa menuturkan sambil memperagakan apa yang saya nyatakan sebelumnya dalam bahasa tulis, maka persepsi dari setiap Panjenengan pasti berbeda.

Peristiwa yang saya alami adalah sebuah kebenaran, namun saat sampaikan melalui media yang berbeda maka kadar kebenarannya akan mengalami distorsi. Itu baru dari satu penutur, yaitu saya ke orang kedua yang mendengar cerita saya atau membaca tulisan saya, atau melihat foto yang saya kirimkan saat teman saya tertawa. Lha kalau orang kedua ini menyampaikan kepada orang ketiga, orang ketiga menyampaikan kepada orang keempat dan seterusnya, maka kebenaran itu pun akan semakin terdistorsi. Padahal ada suasana san nuansa saat terjadinya peristiwa teman saya tertawa, ada juga latar belakang kenapa teman saya tertawa dan ada detil dari yang saya lihat tentang teman saya yang sedang tertawa. Kesemuanya itu pasti tak bisa secara keseluruhan tersampaikan melalui bahasa tulis atau pun bahasa lisan tanpa melihatnya langsung.

Suasana saat itu ramai ada tujuh orang termasuk saya dalam nuansa nostalgia mengenang masa lalu sewaktu masih sekolah di tingkat es-em-pe. Ingat saat sedang ngrasani salah satu guru yang killer ternyata guru tersebut sedang lewat di belakang kami dan mendengar pembicaraan kami. Kebetulan teman yang saya ceritakan itu matanya lebih sipit dari mata saya, sehingga saat tertawa matanya kelihatan terpejam, gigi serinya yang atas yang nomor dua dari kiri tanggal sehingga saat ini di pakai gigi palsu. Saat tertawa mulutnya terbuka lebar sehingga saya bisa melihat gigi palsunya. Karena tertawa bahunya pun berguncang ritmis seperti naik turun, tetapi perutnya tidak bergerak. Sebenarnya perutnya pun bergerak karena tertawa, tetapi karena perwakannya kurus sedangkan dia memakai kemeja yang besar, maka pergerakan perutnya tidak terlihat, jadi seakan tidak bergerak. Begitu kira-kira kisah lengkapnya dari pernyataan saya di atas.

Namun bisa jadi mereka yang terlalu dangkal, hanya menangkap kata “matanya hilang” dan kata itulah yang diolah lagi mungkin dalam makna yang sebenarnya bukan lagi sebagai sebuah majas bahasa bahwa matanya benar-benar hilang, untuk dipublikasikan. Kalau hal itu yang terjadi, maka nilai kebenaran tersebut akan semakin terdistorsi.

MÄCÄ KAHANAN

Saya jadi berpikir kalau Kanjeng Nabi Muhammad itu sangat nJawani.

Pertama, karena Beliau menyikapi suasana masyarakat saat itu tidak dengan cara yang frontal, melainkan dengan lebih menyelami diri sendiri dulu, berusaha mengenali bagian terdalam dari dirinya yang tidak terpengaruh oleh apa pun termasuk oleh gerak akal, pikiran dan nafsunya sendiri, yaitu dengan bertapa kalau dalam idiomatik Jawa.

Kedua, saat Gusti Allah menginformasikan kebenaran dalam bahasa yang dipahami oleh Beliau yaitu dengan dekapan Malaikat Jibril yang kemudian memerintahkan membaca, iqra’, maka Beliau pun menjawab bahwa Beliau tidak mampu membaca. Sebuah sikap andhap asor atau rendah hati dari seorang manusia mulia yang ora rumängsä bisä atau merasa tidak mempunyai kemampuan untuk mäcä kahanan atau membaca membaca kenyataan atau keadaan atau fenomena atau peristiwa.

Setelah diperintahkan untuk membaca dengan nama Tuhan (iqra’ bi-ismi rabbika) yang berarti Tuhan memperkenalkan dirinya dengan nama ALLAH, barulah segalanya terbuka bagi Beliau untuk membacanya.

Pada titik itulah, menurut saya alias jareku, merupakan awal sekaligus akhir dari pencarian manusia akan hakikat hidupnya. Mencari dengan membaca, membaca  kenyataan atau keadaan atau fenomena atau peristiwa / mäcä kahanan haruslah diawali dengan namanya Gusti Allah, berarti tidak bisa tidak selain harus mencari dan memahami secara terus menerus apa sih maunya Gusti Allah di sesuatu yang sedang dibaca itu.

TITIK AWAL

Mengapa harus mencari dan memahami apa maunya Gusti Allah ? Agar DIA ridho. Berarti titik awalnya adalah membaca untuk mencari ridhonya Gusti Allah.

Ibarat sebuah lingkaran, membacanya pun harus melingkari obyek yang dibaca hingga nanti kembali ke titik yang sama. Maka kalau titik awalnya adalah ridhonya Gusti Allah, maka sepanjang lingkaran hingga nanti titk akhirnya kembali ke titik awal pun tetap dalam rangka mencari rdhonya Gusti Allah. Jadi tidak ada yang lain kesimpulannya kecuali Gusti Allah itu sendiri. Itu yang seharusnya disadari.

MEMBACA

Bacalah ! Membaca berarti ada obyek yang dibaca oleh subyek yaitu si pembaca. Lalu kenapa bukan : dengarlah ! Bukankah mendengar juga pasti ada obyek yang didengar ?

Menurut saya alias jareku, mendengar itu masih terdapat jarak antara subyek pendengar dan obyek yang didengar, maka hasilnya pun hanya sekedar tahu alias masih sebatas teori. Misalnya, ada informasi kalau api itu panas, sedangkan saya belum pernah melihat wujudnya api dan belum pernah juga merasakan panasnya api, maka api itu panas meskipun sudah menjadi ilmu dalam diri saya namun masih sebatas teori saja. Kebenaran yang saya dapatkan masih dangkal sebab kedalaman ilmu saya hanya sebatas tahu, yang kalau dalam idiom Jawa disebut sebagai ngêrti. Tahap inilah yang mungkin disebut sebagi ilmul yaqin dalam idiom agama.

Sedangkan membaca, tentu saja yang saya maksudkan adalah bukan membaca teks teori, antara subyek yang membaca dan obyek yang dibaca berada dalam satu peristiwa. Ada yang dilihat, ada yang didengar, ada yang dicium dan atau ada yang dirasakan. Pada contoh sebelumnya, berarti saya telah menyaksikan langsung wujud api dan telah pula merasakan panasnya api saat saya sentuhkan tangan saya ke dalam api. Pada tahap ini, tentunya saya mendapat kebenaran yang semakin dalam, sebab saya menyaksikan dan merasakan langsung. Dalam idiom Jawa, hal ini disebut sebagai ngêruhi, sebab saya seakan telah menjiwai kebenaran itu. Mungkin tahap inilah yang disebut sebagai ainul yaqin dalam idiom agama.

Bila misalnya saya dalam hal ini mencari lagi kebenaran yang lebih dalam tentang api dan panasnya, maka saya harus bisa bersentuhan, terlibat langsung dan merasakan sendiri apa dan bagaimana nuansa serta suasana yang melatarbelakanginya, misalnya dari mana asalnya, pemicunya apa, sifatnya bagaimana, cara mengendalikannya seperti apa, bisa dimanfaatkan untuk apa, apa ada hal yang merugikan darinya dan seterusnya. Tahap inilah yang mungkin disebut sebagai haqqul yaqin dalam idiom agama. Dalam idion Jawa, tahap ini disebut dengan wijang alias paham, jadi tidak saja ngêrti bukan pula ngêruhi namun wijang. Maka hanya mereka yang wijang saja yang mampu member wêjangan atau pencerahan, sebab yang mereka miliki tidak hanya ilmu / teori namun sudah mempraktekkannya atau sudah menjadi laku. Wêjangan itu bukan pidato, bukan khotbah dan bukan ceramah, karena wêjangan lebih dalam dari itu. Wêjangan menimbulkan bekas pada hati penerimanya, bagaikan digores sebuah pena, hati penerimanya akan merekam kuat meski saat itu belum paham, namun nanti pada saatnya dia memerlukannya, rekaman itu akan muncul dengan sendirinya dan menjadikan dia paham.

Tak semua ilmu menjadi laku, namun biasanya sebuah laku akan berbuah ilmu.

Kehidupan ini dalam arti seluruh semesta ciptaan Gusti Allah, memiliki variable yang tak terbatas, maka pencarian kebenaran tentangnya adalah perjalanan yang teramat panjang yang takkkan pernah tuntas. Apalagi bila itu tentang Gusti Allah sendiri, ya tentunya takkkan terjangkau dan tersentuh oleh keterbatasan akal manusia. Hati pun yang meski dapat merasakan dan melihatNya, tak pernah benar-benar tuntas memahaminya. Ada seribu lapis cahaya yang harus dilalui satu persatu untuk lebih mengenalnya, ada selaksa tirai yang harus dikuak untuk mengeja kehendakNya.

Maka apakah mereka yang telah wijang atau telah menemukan hakikat kebenaran dalam akal dan hatinya telah mencapai puncaknya kebenaran ?

Ya belum tentu…

Ibarat gunung, kebenaran memang harus didaki dari lembah menuju puncak, namun saat sampai puncak, selalu saja puncak itu mejadi lembah bagi puncak yang berikutnya. Demikianlah seterusnya. Maka manakala siapa pun yang sampai ke puncak dan menganggapnya adalah puncak dari segala puncak, sesungguhnya dia sedang menggelincirkan dirinya sendiri ke kedalaman lembah yang paling dalam.

Semoga Panjenengan dan juga saya dan seluruh keluarga serta anak keturunan kita selalu diberi limpahan hati yang terang, iman yang tetap dan dunia akhirat yang selamat.

Semoga.
Share this article :
Comments
2 Comments

2 komentar:

  1. Assalammualaikum... Terima kasih, salam kenal... dalem dari surabaya - tenggilis. Tau blog jenengan rekomendasi dari teman. Wassalamualaikum...

    ReplyDelete

IG
@bagusherwindro

Facebook
https://web.facebook.com/masden.bagus

Fanspage
https://web.facebook.com/BAGUSherwindro

Telegram
@BAGUSherwindro

TelegramChannel
@denBAGUSotre

 
Support : den BAGUS | BAGUS Otre | BAGUS Waelah
Copyright © 2013. den Bagus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger