Home » » PerSAMAan

PerSAMAan

Written By BAGUS herwindro on Oct 11, 2013 | October 11, 2013

“He.... he.... he... cucok bin pas”, itu kata hatiku saat itu, kala mendengarkan ucapan Beliaunya di beranda rumah. Ya... Lik Kliwon demikian aku mengenal dan memanggil namanya. Seseorang yang berkelimpahan dalam kesederhanaannya, dengan profesi yang mungkin tak dianggap oleh orang-orang yang mengaku moderen, padahal tanpa profesi ini niscaya keberlangsungan hidup manusia sudah lama berakhir. Profesi mulia itu adalah PETANI, penyangga danpenyedia kebutuhan dasar manusia, bahan pangan.

Sebuah profesi yang menuntut kerelaan lebih untuk tidak membatasi rahmatnya Gusti Allah dengan membatasi suburnya tanah hanya dalam pot kecil saja dan untuk dirinya sendiri, melainkan menebarkannya menjadi berkah bagi sesama. Sebuah profesi yang mensyaratkan kesetiaan dan kesediaan diri untuk melintasi waktu yang tak singkat, membajak tanah dan membenamkan benih di dalamnya, memproses dan berproses hingga yang satu bulir berlipat kali kemanfaatannya menjadi beratusribu bulir, mengubah rahmat menjadi berkah.

:: Orang hidup itu yang diminta kebanyakan sama meskipun caranya berbeda. Ada yang pakai cara agama ada juga yang dengan cara adat, biasanya yang namanya manusia itu mintanya sehat, selamat, syukur kalau mudah mencari rejeki, ada yang tani, ada yang jadi pegawai, ada yang dagang dan sebagainya. ::

Sebuah kalimat yang sederhana, namun justru dalam kesederhanaan kalimat itulah sebenarnya terletak awal dari kedamaian yang nantinya akan membuahkan kebahagiaan.

Kedamaian, sebab yang dilihat adalah persamaannya bukan perbedaan. Sejak lahir pun setiap manusia pasti berbeda dengan manusia lainnya, bahkan di seluruh semesta ciptaanNya selalu mempunyai ketakterhinggaan kemungkinan yang tidak mungkin disamakan. Menerima sebuah perbedaan dengan tetap mengapresiasi perbedaan itu sendiri merupakan sesuatu yang sudah mulai langka di jaman ini,  dimana banyak orang, banyak pihak dan banyak paham yang lebih mengedepankan eksistensinya masing-masing tanpa memperdulikan esensi yang diembannya. Berapa banyak manusia yang seolah telah menjadi tuhan bagi manusia lainnya dengan mengklaim sebagai pemilik kebenaran dan merasa berhak menentukan sanksi bagi mereka yang tidak sepaham, bahkan menerakakan manusia lain pun sangat gampang mereka lakukan dengan mengkapling surga menjadi miliknya sendiri. Menajiskan mereka yang tak sekeyakinan, tanpa mau melihat najis yang ada di hatinya sendiri. Mengkafirkan yang lain tanpa mau menengok kafir hatinya sendiri. Ah... sungguh ter... la... lu.... (jangan lupa dengan cengkok khasnya itu he... he... he...). Maka mereka yang tak mempermasalahkan dan memperuncing perbedaan adalah mereka yang memiliki kedamaian dalam dirinya dan itu membahagiakan sebab mereka rela menerima perbedaan sebagai anugerah keindahan dari Gusti Allah.

Kebahagian. Meminta pasti pada Yang Maha. Kalau berharap letaknya masih di dalam, tetapi kalau meminta pasti sudah di luar terekspresikan dalam sebuah ritual, doa namanya, baik doa secara lisan atau doa yang melalui berbagai simbol, baik yang melalui laku agama atau pun laku adat budaya. Nah kalau sudah ada kesadaran doa, maka berarti manusia menyadari kehambaannya, kelemahannya dan ketakberdayaannya tanpa kekuatan dariNya, serta ketaktahuannya tentang apa yang ada di hadapannya nanti. Maka doa merupakan pengejawantahan dari sikap tawakal, bahwa di depan sana masih merupakan samudera kemungkinan yang termungkinkannya sudah mulai kita rintis saat ini dengan berusaha menyempurnakan ikhtiar. Ikhtiarnya, merupakan urusan manusia yang menjadi kewajiban dari Gusti Allah. Doa pun menjadi urusannya manusia dan yang juga menjadi kewajiban dari Gusti Allah. Sedangkan hasil ikhtiar maupun ijabah doa merupakan urusannya Gusti Allah. Maka manusia yang menyadari kehambaannya di hadapan Gustinya, yang memahami di mana letak urusan manusia dan di mana letak urusan Gustinya, biasanya akan menjadi manusia yang bahagia pula sebab tidak terbebani oleh hasil panennya, yang diseriusi selalu dan selalu proses menanamnya.  Ngono yo ngono, ning ojo ngono. Sedih ya sedih tapi jangan sedih-sedih banget. Gembira ya gembira tetapi ala kadarnya saja, sakmadyo. Sadar dan menyadari bahwa kridaning ati ora biso mbedah kutaning pesti (menggebunya semnagat takkan mampu mengoyak benteng takdir) serta paham dan memahami bahwa ora ono kasekten kang biso ngalahke papesten (tak ada kesaktian/kreativitas/metode yang bisa mengalahkan kepastian takdir).

:: Cara agama atau pun cara adat itu sebenarnya kan turun temurun, memperhatikan dari yang terdahulu. Si anak sekarang begini karena melihat dulu laku orang tuanya begitu. Orang tuanya dulu juga karena mempelajari laku neneknya, begitu seterusnya. ::

Selalu ada mata rantai pendidikan, sebab transfer ilmu tidak mungkin kalau hanya secara tekstual, selalu ada penjabaran, penjelasan dan yang utama contoh laku nyatanya yang berdasar. Maka sangatlah mengherankan, pada jaman ini banyak yang dengan mudahnya membid’ahkan, mentahayulkan, mensyirikkan segala sesuatu yang mereka sebenarnya tak punya ilmunya tentang itu. Lebih parah lagi mengkafirkan. Ah... sungguh ter... la... lu....

:: Seperti misalnya kalau seorang anak berulah, katanya orang tua dulu itu karena diganggu saudaranya sendiri, maka itu harus dirituali dengan ubo rampe tertentu bagi yang memahaminya. ::

Kalimat yang itu saya setuju puollll.... Hebatnya orang Jawa ya seperti itu, mungkin karena manusia jawa dulu itu selalu menjaga dan terjaga kualitas ruhaninya hingga tidak saja ‘alim melainkan juga arif, hingga tidak saja mengilmui Gusti Allah tetapi juga memakrifatiNYA. Maka begitu memakrifati Gusti Allah, Gusti Allah pun memakrifatkan mereka kepada makhlukNya, sehingga manusia Jawa dulu itu begitu detail pengenalannya terhadap segala maklhuk ciptaan Allah. Tanpa hipotesa, tanpa teori, langsung ngelakoni.

Sebelum barat dengan psiko analisanya berteori tentang kepribadian manusia yang terdiri dari banyak bagian atau diistilahkan sebagai ego state, manusia jawa telah jauh memasuki dirinya sendiri melalui protokol sedulur papat limo pancer dan kakang kawah adi ari-ari yang bisa dilakukan langsung oleh yang bersangkutan atau melalui ubo rampe untuk melakukan koneksi terhadapnya, termasuk apa yang di ranah psiko analisa diistilahkan sebagai introject. Tentu saja semua itu memang harus diserahkan pada ahlinya, dalam arti mereka yang masih memegang pakem ritual.

Tak ada yang aneh untuk hal-hal semacam itu. Ubo rampe termasuk juga di dalamnya japa mantra itu sesungguhnya merupakan salah satu bentuk password untuk terkoneksi pada suatu sistem kealamsemestaan sesuai yang digariskan Gusti Allah dan sebagai sebuah password tentu saja harus tepat. Kalau “a” ya harus “a” tidak bisa diganti dengan “A”, begitu seterusnya. Itulah salah satu bagian dari kearifan lokal dan itu merupakan kreativitas super. Maka saya bangga menjadi orang Jawa dengan keluhuran adat istiadat serta ketinggian budayanya, saya bangga dengan cengkok suroboyoan saya dan contoh kecil adalah tetap dengan panggilan “aku, koen, sampeyan, peno, kowe, awakmu” yang wajar tanpa perlu nggaya nJakarta atau mBetawi dengan “loe-guenya” dan tak perlu juga kemarab dengan “ana, antum, akhi, ukhti” he... he... he... serta sekali tempo mengekspresikan kemesraan dengan para sahabat saya dengan pisuhan jangkrik, jancuk, matamu, dengkulmu anjlok” dan sebagainya ha...ha...ha...

Kira-kira begitu.


Catatan :
Karena ada yang membo-membo seakan saya, mohon maaf agak narsis [bukan] sedikit alias banyak, bahwa penulis blog ini bisa ditemui di akun FB : masden.bagus [Bagus Otre] dan denmas.bagus [Raden Bagus Herwindro].
Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

IG
@bagusherwindro

Facebook
https://web.facebook.com/masden.bagus

Fanspage
https://web.facebook.com/BAGUSherwindro

Telegram
@BAGUSherwindro

TelegramChannel
@denBAGUSotre

 
Support : den BAGUS | BAGUS Otre | BAGUS Waelah
Copyright © 2013. den Bagus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger