
::: Niat ingsun sowan ning punjer lan tlatah nglumpuke para Auliya’ Allah kang tansah njangkung lan njampangi, tansah nggladi diri sejati supaya bisaha dadi ABDI kang HAKIKI ing ngarsane GUSTI, lillahi ta’ala. :::
Ya… kemarin tepatnya hari Ahad tanggal 12 Desember 2010 M / 6 Muharram 1431 H di Pondok Pesulukan Thoriqot Agung (PETA) Tulungagung dilaksanakan peringatan haul ke-41 Hadhratus Syaikh Mustaqim bin Husein, haul ke-23 Nyai Hj. Sa’diyah binti H. Rois dan haul ke-6 Hadhratus Syaikh Abdul Jalil Mustaqim. Kebetulan perhitungan penanggalan Hijriyah untuk haul pada tahun Masehi 2010 ini berlangsung dua kali, di awal tahun yang lalu dan di akhir tahun ini.
Sebagaimana peringatan haul yang lalu, pada peringatan kali ini saya memutuskan berangkat dengan naik kereta api. Berangkat dari rumah pukul 6.30 pagi langsung menuju stasiun Wonokromo. Sepeda motor kuparkir di sebelah selatan, kukunci untuk menyempurnakan ikhtiar keamanan dan kubilang pada si bapak penjaga parkir kalau sepedaku parkir menginap.
Setelah merasa pas dengan urusan parkir, segera kulangkahkan kaki ini memasuki stasiun dan mengantri di depan loket penjualan karcis. Kubeli untuk dua orang karcis kereta Rapi-Doho dengan tujuan akhir Tulungagung. Rp. 11.000,- untuk dua orang, semestinya berangkat bertiga, namun yang seorang naik dari stasiun Gubeng. Masuk peron, menunggu, sebab jadual keberangkatan kereta api baru pukul 08.00. Sambil ngobrol ngalor-ngidul, masa menunggu terhibur oleh lantunan lagu-lagu yang didendangkan oleh biduan stasiun. Karena mereka telah berbuat baik menghibur para penumpang yang sedang menunggu, maka sebagai penumpang janganlah mau kalah untuk juga berbuat baik dengan menyisihkan sebagian uang saku untuk mereka, sebab dengan jalan itulah mereka menggerakkan tangan dan kakinya, berikhtiar menjemput rejekinya gusti Allah.
Saat menunggu bersama teman sempat terbersit kekhawatirannya bila tidak mendapatkan tempat duduk, namun kukatakan saja padanya untuk tenang saja dan memproyeksikan bahwa nanti pasti dapat tempat duduk. Eh…. ternyata benar juga, saat kereta datang sudah dalam keadaan penuh, bahkan seorang teman yang naik dari stasiun Gubeng pun terlihat berdiri di dekat pintu.
Maka segeralah kami berdua masuk di gerbong kedua dari belakang. Posisi kereta sudah dalam keadaan penuh sesak, bahkan untuk berjalan pun cukup sulit. Tidak boleh jadi masalah, sebab perjuangan dalam perjalanan merupakan bagian dari lelaku, yo wis diterima saja, sabar saja, berdiri.
Para pedagang asongan pun mulai hilir mudik menjajakan dagangannya, seolah tak mau kalah, petugas restorasi KA pun juga lalu lalang menawarkan makanan dan minuman olahannya. Rupanya jalur kereta api sanggup menghidupkan perekonomian masyarakat di daerah yang dilaluinya. Masyarakat bisa memberikan nilai tambah dari barang-barang, makanan dan minuman yang dijajakan, entah itu tahu goreng, sate bekicot, minuman dingin, minuman panas, buku primbon, pernak-pernik dan sebagainya. Entah sudah pernah dilakukan penelitian atau belum tentang itu, berapa perputaran uang setiap harinya di daerah jalur kereta api. Seribu dua ribu tapi berkali-kali, tentunya jumlah yang sangat besar. Yang jelas dari para pedagang asongan itu tergambar kegigihan perjuangan hidup mereka, ketekunan dan semangat pantang menyerah walau pun mungkin ada juga sedikit keterpaksaan. SALUT.
Sambil ‘ndremimil’ memanfaatkan waktu tak terasa perjalanan sudah sampai di Sumobito Jombang, dan kebetulan seorang ibu yang duduk di samping posisi berdiriku turun, maka Alhamdulillah bisa duduklah aku melepas sedikit penat karena berdiri.
Aku jadi berpikir, kereta api itu jalannya sambil tidur saja sudah demikian cepat, apalagi kalau berdiri ya ?
Ah… sudahlah, singkat cerita, sekitar jam setengan dua belas sampailah di Kota Tulungagung, sebuah kota yang dulu pun tak terbayang untuk pernah menyinggahinya, namun nyatanya sampai saat ini, bagiku Tulungagung menyimpan banyak cerita.
Menuju ke pondok dengan berjalan kaki, tampak panitia sudah tersebar di berbagai sudut dan lamat-lamat terdengar khataman Qur’an yang sudah berlangsung sejak sehabis subuh. Melewati alun-alun kota Tulungagung, kami langsung mengarah ke dapur umum di sebelah Utara pondok untuk bersuci dan mengisi perut dengan hidangan yang sudah disediakan. Selalau ditekankan dan diharuskan bahwa makanan serta minuman yang diambil tidak boleh bersisa, harus habis. Sebab, mempersiapkan hidangan untuk menjamu para tamu yang sedemikian banyaknya itu merupakan suatu perjuangan, baik waktu, tenaga, biaya dan yang tak pernah tak lepas adalah adanya riyadhoh, sehingga insya Allah dari semua hidangan yang disediakan pasti ada barakahnya. Maka jika ada jamaah mengambil makanan dan atau minuman sampai bersisa, sia-sialah namanya.
Dari dapur umum, terlihat gelombang jamaah terus berdatangan, mengalir tiada henti, begitu juga hidangan yang terasaji juga seakan tiada henti, tanpa perlu khawatir kehabisan untuk menjamu jamaah yang sedemikian banyak lebih dari angka sepuluh ribu. Panitianya saja sekitar dua ribu lima ratus orang, bagaimana ya mempersiapkan itu semua ?
Selesai makan dan minum secukupnya, kami pun bergegas masuk Pondok melalui pintu utama, mumpung masih bisa masuk. Namun rupanya acara di dalam pondok belum selesai, terutama penuh terisi jamaah ibu-ibu, maka kami menuju ke lantai 4 melewati dapur Pondok, tampak tumpukan piring sudah ditata setinggi dada siap diedarkan, sekali lagi luar biasa, hidangan untuk para tamu tidak pernah berhenti, mengalir, mengalir dan mengalir terus.
Begitu sampai di lantai 4, mumpung belum begitu ramai, hal pertama yang kulakukan adalah segera mandi. Setelah shalat dhuhur, sambil ‘leyeh-leyeh’ mengistirahatkan badan, kembali ngobrol bersama jamaah sambil sesekali menengok status-status di FB jamaah yang berkaitan dengan Haul kali ini. Tak begitu lama kemudian, ada panitia yang mempersilahkan kami semua untuk turun menikmati hidangan yang telah dipersiapkan, tetapi karena saat datang tadi sudah makan di dapur umum dan perut pun masih terasa kenyang maka aku pun tetap bertahan di lantai 4 tidak ikut makan.
Haul agung akhir tahun 2010 ini mengambil tema : ISLAM SELALU BERPANDANGAN POSITIF. Sebuah tema yang sangat aktual dan relevan untuk kondisi saat ini, baik untuk diri pribadi maupun lebih luas lagi dalam skala bangsa dan negara.
Selepas Ashar, terlihat mendung pekat menggantung di angkasa.
[12.12.2010 : 16.10] ::: Beberapa saat kemudian, mendung yang tadi begitu pekat menyelimuti angkasa, entah ke mana, diam-diam telah beringsut pergi diiringi desis sang angin. :::
Panitia pun mulai mempersiapkan monitor-monitor di berbagai sudut ruang dan jalan sekitar pondok untuk menyajikan secara audio visual kegiatan puncak haul.
Petugas jaga pun semakin ketat menjaga akses masuk pondok, sebab memang kapasitas pondok terbatas bila semua jamaah berkehendak masuk.
Mulai pukul 17.00 kesibukan panitia semakin bertambah dengan mensterilkan Jl. Wahid Hasyim dari kendaraan yang masih parkir di jalan itu, juga dengan mengatur akses masuk untuk para ketua kelompok dan imam khususiyah. Menjelang Maghrib mendung mulai datang lagi menggantung dan membasahi bumi Tulungagung.
[12.12.2010 : 17.23] ::: Pendar cahaya suci begitu kuat terpancar, entah kenapa ingin kutarik saja selimut kepompong tebalku tuk tutupi rasa maluku karena berhasrat disapa pendar cahya itu, sebab kutahu pasti ketaksucianku. :::
Tepat sehabis shalat Maghrib, puncak acara haul pun dimulai. Diawali dengan diba’ oleh jama’ah Al Muhibbin dan kemudian dilanjutkan dengan tahlil yang dipimpin oleh K.H. Mudhofir Sukhaimi. Hujan mengguyur bumi Tulungagung, tetapi jamaah yang berada di luar yang kehujanan, tak sedikitpun bergeming, tetap diam di tempatnya masing-masing sampai pembacaan tahlil selesai. Setalah itu barulah mencari tempat berteduh.
Setelah itu, sebagaimana biasa acara dipandu oleh KH. Imron Jamil yang sedikit mengupas tentang tema Haul kali ini. Dilanjutkan dengan sambutan dari panitia sekaligus mewakili keluarga nDalem Pondok PETA yang disampaikan oleh Bapak Moh. Athiyah S.H., yang kebetulan juga menjabat sebagai Wakil Bupati Tuluangagung.
Sebagaiman biasa pula, setelah sambutan dari wakil keluarga Pondok, acara dilanjutkan dengan pemaparan MANAQIB Asy Syekh al Imam al Quthub al Ghouts Sayyidinasy Syarif Abil Hasan Ali asy Syadzily al Hasani yang disampaiakan oleh Syaikh KH. DR. Luqman Hakim, MA.
Dikisahkan secara singkat perjalanan Syaikh Abil Hasan dalam mencari Guru Pembimbing seorang wali Quthub sampai akhirnya benar-benar bertemu dengan sang wali Quthub yang dicarinya, Sayyidisy Syekh ash Sholih al Quthub al Ghouts asy Syarif Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy al Hasani, yang saat pertemuan pertama langsung mengenal Syaikh Abil Hasan dengan menyebutkan nasabnya secara lengkap sampai dengan Rasulullah Muhammad.
Setelah cukup dalam bimbingan Sang Quthub inilah kemudia Syaikh Abil HAsan diperintahkan hijrah ke daerah yang kemudian dinisbahkan ke namanya dan thoriqoh yang diajarkannya, yaitu Syadziliy. Nama ini pula yang kemudian dipertanyakan oleh Syaikh Abil Hasan kepada Allah dan dijawab melalui ilham tentang kekhususan Syadziliyyah yang tidak ada di thoriqoh lainnya. Hingga, menurut Syaikh Luqman, satu hal yang patut sangat kita syukuri adalah bahwa kita ditakdirkan untuk menjadi murid Thoriqoh Syadziliyah, hal yang sangat luar biasa.
Suatu ketika Syaikh Abil Hasan ditanya kenapa tidak menyusun kitab dan kemudian dijawab oleh Beliau bahwa kitabnya adalah murid-muridnya dan memang setelah mendapat bimbingan dari Syaikh Abdus Salam bin Masyisy, Syaikh Abil Hasan didawuhi bahwa Beliau nanti akan medidik 40 wali. Kenyataannya memang begitu, semua murid Syaikh Abil Hasan benar-benar luar biasa dan menjadi pemuka di bidangnya masing-masing. Syaikh Abil Hasan pun pernah mengatakan bahwa sepeninggal Beliau, sampai akhir jaman kelak yang diangkat Allah sebagai Wali Quthub mayoritas dari murid Thoriqoh Syadzaliyah.
Thoriqoh Syadziliyah banyak menyebar di penjuru dunia terutama di Mesir, dikenal juga dengan nama Thoriqoh Syadzaliyah dan di Palestina dikenal dengan nama Syadzuliyah.
Berikutnya, MANAQIB Syaikh Abdul Jalil Mustaqim disampaikan oleh salah satu teman mondok Beliau sewaktu di ondonya Kyai Zainudin, yaitu KH. Muhammad Qadar. Dikisahkan, bahwa amaliyah Syaikh Abdul Jalil yang diketahui sendiri oleh Kyai Qadar semasa mondok itu benar-benar luar biasa. Menjaga wudhu, shalat malam yang dilakukan selepas Isya’ sampai beratus-ratus rakaat dan itu dilakukan setiap hari. Setelah shalat malam, Beliau lansung menuju maqom Kyai Zainudin sampai masuk waktu Subuh.
Syaikh Abdul Jalil dawuh kepada Kyai Qadar bahwa kalau ziarah ke maqom itu wiridnya harus sama dengan wirid yang diziarahi semasa hidupnya. Beliau pernah mengatakan lagi bahwa Kyai Qadar disuruh memperhatikan nantai pada tahun 2010 akan ada apa, tetapi Beliau juga mengatakan bahwa pada tahun 2010 itu Beliau sudah tidak ada. Dawuh inilah yang samapai sekarang belum dipahami oleh Kyai Qadar.
Maka dari itu Kyai Qadar mengajak kita semua untuk menaklidi, menaati dengan istiqomah ilmu-ilmu yang sudah disampaikan kepada kita, agar insya Allah kita semua akan selamat dunia akhirat. Ilmu Syadziliyah yang kita dapatkan dari Pondok PETA,hendaknya diamalkan dengan sungguh-sungguh, baik itu Hizb Hujubnya, Asyfa’nya atau Syadziliyahnya. Hanya saja semua itu tidak boleh ada pamrih, semua hanya lillahi ta’ala begitu saja.
MANAQIB Syaikh Mustaqim bin Husain disampaikan oleh KH. Mudhofir Suhaimi. Syaikh Mustaqim bin Husain dilahirkan pada tahun 1901 di Kedungwaru Tulungagung, merupakan keturunan ke-18 dari mBah Panjalu. Sedangkan nasab dari Rasulullah, Beliau merupakan keturunan yang ke-32. Beliau menerima Thoriqoh Syadziliyah dari Syaikh Abdur Rozaq Pondok Termas Pacitan. Sedangkan untuk Thoriqoh Qodiriyah wa Naqshobandiyah diterima dari Syaikh Chudoei bin Hasan, Malangbong – Garut.
Thoriqoh yang diajarkan kepada para murid yaitu thoriqoh Syadziliyah, juga Qodiriyah wan Naqshobandiyah, meskipun Pondok PETA itu terkenalnya Syadziliyah. Sedangkankan yang diamalkan sendiri lebih dari itu yaitu ada 6 thoriqoh.
Saat itu ketika dalam penyebaran thoriqoh Syadziliyah, juga Qodiriyah wan Naqshobandiyah, Syaikh Mustaqim mendapat perintah ngéré [mengemis], kaifiyahnya adalah keluar rumah meninggalkan anak istri tidak boleh membawa pakaian lebih dari satu pasang. Hanya boleh bawa pakaian sepasang untuk ibadah saja, tidak boleh bawa bekal, makan pun dari pemberian orang.
Hikmahnya ngéré adalah bahwa apa yang merasa dimiliki haruslah dilepas, jangan pernah merasa memiliki, agar sifat Ujub itu bisa hilang, ujub itu masih tersimpan di hati, wujudnya merasa baik. Sifat ujub itu kalau diekspresikan dari hati bisa berbentuk riya’ bisa juga takabur. Kemudian atas dawuh sirri, perintah ngéré itu diganti dengan dzikir syahadat 7x. Kemudian murid-murid diberi pilihan 7x atau 21x atau 41x atau 100x, tapi kenyataannya paling banyak adalah yang memilih 7x. Dawuh itu kalau semua itu dilakukan dengan sungguh-sungguh, insya Allah bisa melunturkan sifat ujub itu tadi.
Syaikh Mustaqim bin Husain semasa menyebarkan agama Islam termasuk juga menyebarkan Thoriqoh Syadziliyah, juga memasuki dunia persilatan. Bahwa memang dari nasab, leluhur Syaikh Mustaqim itu banyak yang pendekar sebagaimana mBah Panjalu [Sayyid Ali bin Muhammad bin Abdillah] atau Mas Ageng Sumaranten yang mempunyai kemampuan bersilat di atas air laut. Syaikh Mustaqim memasuki dunia persilatan disebabkan karena waktu itu banyak pendekar-pendekar silat yang menggunakan ilmu yang BATAL. Syaikh Mustaqim ingin mematahkan ilmu-ilmu batal tersebut, sebab jaman itu orang yang sakti itu paling ditakuti paling ditaati, padahal pemilik kesaktian yang semacam itu pasti mengajak kea rah yang negatif. Maka oleh Syaikh Mustaqim, ilmu-ilmu Haq dimasukkan ke dalam dunia persilatan agar ilmu-ilmu batal tersebut bisa dikalahkan. Dan terbukti memang mereka yang kalah kemudian banyak yang berbnaiat thoriqoh.
Ahad Kliwon Malam Senin Legi, 9 Maret 1970 / 1 Muharram 1390 H, pukul 10:05, Syaikh Mustaqim bin Husain dipanggil menghadap Allah.
[Saat Manaqib Syaikh Abdul Jalil Mustaqim, kami dipersilahkan turun ke lantai 1 untuk menikmati hidangan yang telah disediakan, Alhamdulillah perut lapar ada solusinya, hidangan prasmanan lengkap mulai hidangan pembuka, hidangan utama hingga hidangan penutup pencuci mulut lengkap tersaji tiada henti.]
Setelah cukup menikmati hidangan yang ada, kami pun kembali ke posisi semula di lantai 4, melihat dan mendengarkan mauizhoh hasanah yang disampaikan oleh K.H. Haidar Muhaiminan dari pondok pesantren Bambu Runcing, Parakan – Temanggung – Jawa Tengah.
Dingin, angin kencang terasa banget di lantai 4, perut jadi kembung, untung tadi sewaktu berangkat sudah siap dua sachet tolak angin, beres deh jadiya.
[12.12.2010 : 21.30] ::: Pak Muhammad Irfan Al-Hakim dudukpun dengan rasa cinta, pengetahuan dimurnikan, dinginpun hamparan anugrah, tak semuanya dimampukan menikmatinya.]
K.H. Haidar Muhaiminan menyampaikan tentang godaan iblis yang luar biasa kepada manusia, sebab sejak dahulu, iblis sudah bersumpah untuk menyesatkan manusia sepanjang hidupnya agar tidak taat kepada Allah. Dari arah kiri, kanan, depan dan belakang. Hanya satu arah yang iblis tidak bias menggoda yaitu dari arah atas. Maka kita semua bias selamat dari godaan iblis bila bias melalui arah atas. Arah atas ini yang dimaksud adalah mujahadah ikut baiat thoriqoh, yang salah satu tujuannya adalah membuka rahmatnya Allah.
Orang thoriqoh itu harus banyak ikhlasnya. Beliau mengatakan contoh sederhananya orang ikhlas itu seperti orang mengantuk, sebagai contoh meski sejak awal ada sambutan, pemcaan manaqib dan seterusnya, orang yang mengantuk tetaplah mengantuk ‘teklak-tekluk’ sendiri. Maka sholatlah seperti orang mengantuk [bukan sholat sambil mengantuk], dalam arti kalau sholat itu benar-benar menghadap Allah, tidak memperdulikan yang lain, sebagaimana orang yang mengantuk yang tidak pernah tengak-tengok kiri kanan.
Gangguan iblis dari arah depan berwujud keraguan di hati kita terhadapa Allah, ada rasa su’udzhon kepada Allah. Ganguan dari arah belakang berwujud tarikan yang berat untuk melangkah ke depan ke arah kebaikan yang selaras dengan kehendak Allah. Dari arah kanan iblis membuat keraguan dalam masalah agama semisal dalam masalah hukum, maka iblis akan menggoda manusia memberikan pilihan sesuai kecenderungan nafsunya, umpama pilihannya adalah boleh dan tidak, maka yang boleh akan dicarikan dalilnya yang tidak pun akan dicarikan dalilnya. Godaan iblis dari arah kiri adalah dengan mengajak manusia berkecenderungan maksiat.
Dalam masa yang terlampaui pasti ada yang berkurang, sederhananya kecantikan seseorang akan semakin berkurang sesuai terlampauinya waktu dan ini jangan sampai terjadi pada iman kita. Sebab iman kita ini ada kemungkinan akan dicabut oleh Allah sebelum kita meninggal, bila tidak kita rawat dan perhatikan. Alhamdulillah, insya Allah kita semua murid-murid Thoriqoh Syadziliyah tidak akan seperti itu.
Orang yang paling berbahagia adalah orang yang bisa menjaga imannya kepada Allah. Cara menjaga iman kita salah satunya adalah dengan mensyukuri nikmat iman itu sendiri. Salah satu wujud syukur atas nikmat iman itu adalah MENGHADIRI HAUL para Mursyid yang telah memberikan bimbingan iman kepada kita semua.
Cara yang lain dalam rangka mensyukuri nikmat iman adalah dengan mempersiapkan bekal untuk menghadapi kematian. Beliau mengajak kita semua merenung tentang penggunaan waktu. Sholat misalnya, berapa menit setiap shalat ? Katakan 5 menit setiap satu waktu, berarti 25 menit sehari untuk ibadah shalat. Umpama kita diberi usia 60 tahun, maka berarti yang kita gunakan untuk shalat cuma 1 tahun saja. Yang lain ke mana ? Intronspeksi kepada diri sendiri tentang waktu kita, berapa tahun untuk melamun, berapa tahun untuk tidur, berapa tahun untuk ngobrol dan yang lain-lain ?
He… he… silahkan diterjemahkan sendiri. Semoga ada manfaatnya dan semoga pada Haul yang akan dating, sedulur-sedulur bisa menghadirinya teruitama bagi yang belum pernah. Yang penting benar-benar ada niat, insya Allah bisa berangkat, halangan apa pun sebenarnya bisa disiasati, kalau perlu dipersiapkan mulai sekarang. Sebab menurut saya pribadi, menghadiri Haul mursyid adalah wajib hukumnya, sebagai tanda cinta kita, agar insya Allah kelak kita bisa dikumpulkan juga dengan Beliau-Beliau itu walau pun hanya sekedar ‘nunut’ menempel di jubahnya.
Belum pernah datang atau belum pernah tahu bukanlah alasan, yang penting bisa hadir walau pun cuma sekedar duduk di bawah pohon selama acara berlangsung, sebagaimana dulu saya pertama kali datang haul juga seperti itu. Berangkat sore sehabis Ashar, sampai di Tulungagung Maghrib, langsung ke masjid jami’, shalat terus keluar duduk di alun-alun di bawah pohon sekalian berteduh karena hujan. Acara selesai ya langsung pulang naik bis lagi. He…he… jangan cuma tanya terus jadual haul tanggal berapa, acaranya mulai jam berapa, di sana ngapain saja. Bolak-balik tanya tapi gak berangkat-berangkat…. he… he… mohon maaf.