Home » » Termasuk yang mana ?

Termasuk yang mana ?

Written By BAGUS herwindro on Mar 22, 2009 | March 22, 2009

Aku baru tahu lho, ternyata ada sebuah kitab (textbook suatu jama'ah) yang berisi tentang hadits-hadits nabi dan juga ayat Qur’an yang melulu membahas tentang fadhilah amal sampai ada hitung-hitungan tentang pahala segala dan juga tak lepas dari ancaman serta siksa. Wuihh, cocok sekali kalau belajar kitab itu sambil bawa kalkulator untuk mengkalkulasi pahala yang kita kumpulkan apabila mengerjakan amaliyah ibadah juga seberapa banyak dosa yang telah kita lakukan, terus dihitung saldonya ada di sisi pahala atau dosa ? Memang perlu juga sih, kita mengetahuinya, tetapi rasanya benar banget apa yang dinasihatkan Syaikh Atho’illah bahwa semestinya yang kita seriusi itu adalah yang dituntut oleh Allah kepada kita yaitu amaliyah yang dituntunkan oleh Rasulullah seperti dalam kitab itu dan bukan fadhilahnya karena fadhilah adalah sesuatu yang sudah dijamin oleh Allah dan pasti diberikan walaupun tanpa kita hitung, walaupun tanpa kita harapkan.

Aku jadi berfikir, ibadah itu – dalam arti menghadap pada-Nya seharusnya pakai akal atau pakai hati ya ? Mestinya pakai hati ya, bukankah Allah itu tidak perlu dianalisa pakai akal karena pasti akal kita tidak akan nutut alias tidak akan sampai menjangkau. Kalau pakai akal, apa terus tidak akal-akalan istilah suroboyonya ? Lha ibadah kalau sudah akal-akalan, hitung-hitungan, apa tidak berdagang namanya ? Berdagang dengan Allah ? Padahal berdagang dengan Allah itu pasti untung, gak pernah rugi, nah semestinya karena pasti untung kan gak perlu lagi dihitung-hitung lagi, pokoknya ibadah aja. Tak iye ?

Kalau masuk ranah tasawuf, ajaran sufi, pahala/fadhilah/manfaat itu malah nomor kesekian, yang nomor satu ya hanya Allah. Bukankah surga dan neraka juga makhluk, lalu apakah jika Allah tidak menciptakan surga dan neraka kemudian kita diperintah beribadah kita tidak akan mau melaksanakan, padahal kita hamba-Nya ? Kalau kita ibadah hanya demi pahala, apa bukan hamba pahala namanya ? Atau jika kita ibadah hanya karena takut siksa kok rasanya Allah itu serem banget ya ? Bukankah Allah lebih layak dan memang selayaknya dicintai dari pada ditakuti, karena Allah menciptakan kita makhluknya juga karena cinta-Nya ?

Dalam hadits Qudsi disebutkan : “Kuntu kanzan makhfiyya, fa aradtu an u’raf fa khalaqtu al-khalq” - “Aku adalah khazanah yang tersembunyi, Aku ingin untuk diketahui maka Kuciptakan makhluq”

Q.S. Adz Dzaariyaat [51:56] : “Wa maa khalaqtu al-jinna wa l-insa illa liya’buduuni” - “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku”.

Tugas kita mengenalnya melalui ibadah sebagaimana yang telah disyariatkan oleh Allah. Mengenal tidak akan bisa mendalam bila tanpa ada cinta di dalamnya. Ibarat kita mulai mencintai seseorang, pasti kita mulai cari tahu, siapa sih namanya, di mana dia tinggal, bagaimana keluarganya, seperti apa akhlaqnya dan seterusnya. Dengan cinta menggapai makrifat.

Mengharap pahala/manfaat/fadhilah/ganjaran ? Boleh saja, tetapi ternyata itu merupakan suatu proses pertumbuhan spiritual, pertumbuhan kesadaran dalam berketuhanan. Ibarat seorang bocah yang belum mempunyai kesadaran, maka dalam menapaki kehidupan biasanya oarang tua si bocah selalu memberikan ancaman dan mungkin hukuman pada si bocah jika akan atau telah melakukan sesuatu yag membahayakan atau pun merugikan diri si bocah itu. Sebaliknya jika si bocah itu melakukan kebaikan/prestasi maka orang tua pun takkan segan memberinya hadiah. Reward and punishment.

Kira-kira kita masuk yang mana ya ? (sedikit oleh-oleh dari pengajian kemarin)

Mengharapkan perniagaan yang tidak merugi (yarjuuna tijaaratan lan tabuur)

Yang dimaksud adalah melaksanakan amal kebaikan dengan harapan tidak rugi terhadap apa yang telah dilakukan karena ada imbalan pahala yang wujudnya bermacam-macam sebagaimana disebutkan Allah di berbagai ayat di Qur’an juga terbebas dari siksaan karena amal kebaikan yang dilakukan.

Q.S. Faathir [35:29] : “innalladziina yatluuna kitaaballaahi wa-aqaamuu shshalaata wa-anfaquu mimmaa razaqnaahum sirran wa'alaaniyatan yarjuuna tijaaratan lan tabuur” (Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi)

Mengaharapkan rahmat tuhan (yarjuu rahmata rabbihi)

Tuhan merupakan jabatannya Allah, yaitu sebagai pemilik, penguasa dan pengatur alam semesta ini. Tuhan yang berwenang memasukkan seseorang ke dalam surga sebagai perwujudan pahala dan neraka sebagai perwujudan dosa. Seseorang dalam kesadaran ini tidak menghiraukan terhadap pahala yang didapat melainkan lebih memikirkan azab yang mungkin diterimanya sehinga ia mengharapkan rahmat tuhan yaitu Allah sebagai pemilik, penguasa dan pengatur alam semesta. Sebab adakah yang namanya azab bila dihadapkan dengan rahmat dari pemilik azab itu sendiri ?

Q.S. Az Zumar [39:9] : “amman huwa qaanitun aanaa-allayli saajidan waqaa-iman yahtsaru l-aakhirata wa yarjuu rahmata rabbihi qul hal yastawiilladziina ya'lamuuna walladziina laa ya'lamuuna innamaa yatadzakkaru uluu l-albaab” [(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya ? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.]

Mengaharapkan rahmat Allah (yarjuuna rahmatallaahi)

Dalam tahap ini seseorang dengan keimanannya tidak lagi terpaku pada pahala dan azab yang diberikan Allah tetapi lebih memandang bahwa pahala yang diperoleh ataupun terbebasnya dari azab tersebut hakikatnya merupakan bagian dari luasnya rahmat Allah untuknya, sehingga yang diharapkan pun adalah rahmat Allah itu sendiri yang meliputi segalanya.

Q.S. Al Baqarah [2:218] : “innalladziina aamanuu walladziina haajaruu wajaahaduu fii sabiilillaahi ulaa-ika yarjuuna rahmatallaahi walaahu ghafuurun rahiim “ (Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang)

Mengaharapkan Allah (yarjuullaaha)

Dalam tahap ini ada kesadaran bahwa dibalik pahala dan azab, di balik rahmat Allah dan dibalik segala sesuatu, sebenarnya ada Allah itu sendiri. Sehingga seseorang sudah mulai menyadari, mulai merasakan dan mulai menggantungkan harapannya pada Allah saja bukan yang lainnya dengan cara meneladani Rasulullah secara keseluruhan baik lahirnya maupun batinnya, syariatnya maupun hakikatnya, eksoteris maupun esoterisnya.

Q.S. Al Ahzab [33:21] : “laqad kaana lakum fii rasuulillaahi uswatun hasanatun liman kaana yarjuullaaha walyawma l-aakhira wadzakarallaaha katsiiraa” (Sesungguhnya telah ada pada Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap Allah dan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah)

Mengaharapkan perjumpaan dengan tuhan (yarjuu liqaa-a rabbihi)

Sesudah mulai merasakan Allah, lalu timbul kerinduan baru bahwa Allah itu kan tuhanku, pemilik, penguasa dan pengatur semesta alam ini. Ah... rasanya aku ingin banget ketemu sama Tuhanku, sang pemilik alam semesta.

Q.S. Al Kahfi [18:110] :qul innamaa anaa basyarun mitslukum yuuhaa ilayya annamaa ilaahukum ilaahun waahidun faman kaana yarjuu liqaa-a rabbihi falya'mal 'amalan shaalihan walaa yusyrik bi'ibaadati rabbihi ahadaa” (Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya")

Mengaharapkan perjumpaan dengan tuhan (yarjuu liqaa-allaahi)

Yang terakhir ini seseorang yang harapannya hanya bertemu Allah saja, dzatnya Allah tanpa embel-embel jabatan Allah sebagai Tuhan penguasa alam semesta. Rindu banget ketemu Allah dan Allah pun menjanjikan bahwa waktunya pasti tiba.

Q.S. Al Ankabut[29:5] : “man kaana yarjuu liqaa-allaahi fa-inna ajalallaahi laaatin wahuwa ssamii'u l'aliim” (Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu, pasti datang. Dan Dialah Yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui)


Wallahu’alam.

Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

IG
@bagusherwindro

Facebook
https://web.facebook.com/masden.bagus

Fanspage
https://web.facebook.com/BAGUSherwindro

Telegram
@BAGUSherwindro

TelegramChannel
@denBAGUSotre

 
Support : den BAGUS | BAGUS Otre | BAGUS Waelah
Copyright © 2013. den Bagus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger