Home » » Kalau Tidak Ada “Kebinatangan”, Ya Tidak Ada Politik

Kalau Tidak Ada “Kebinatangan”, Ya Tidak Ada Politik

Written By BAGUS herwindro on Feb 18, 2009 | February 18, 2009

Dikutip dari : www.gusmus.net

Lukman Hakim MA: “Kalau Tidak Ada “Kebinatangan”, Ya Tidak Ada Politik”

18 Februari 2009 10:39:56

Orangnya kalem, lembut nan sederhana. Tapi, kalau sudah bicara akan menyemburkan banyak mutiara hikmah kesufian. Ya, begitulah sosok Muhammad Lukman Hakim yang kesohor sebagai sufiolog (ahli tentang tasawuf), dosen dan juga penulis banyak buku. Alumnus Pesantren Tebuireng, Jombang ini selama ini memang banyak menggeluti dunia tasawuf serta mengisi pengajian-pengajian tasawuf di berbagai kalangan. Bagi pria kelahiran Kediri ini ada kegetiran saat memandang yang namanya perjuangan sering disalahpahami hanya pada wilayah politik. “Berpolitik pun sering dipahami dengan aktif di partai. Lha, kalau sudah tidak di partai, lalu dianggap tidak berjuang. Ini salah besar,”ungkapnya saat diwawancarai MataAir seputar hubungan tasawuf dan politik. Berikut wawancara selengkapnya.

Apa ada hubungan yang dekat antara tasawuf dengan politik?
Tidak ada

Bukankah dulu, sufi Hasan al-Basri beroposisi pada pemerintahan Muawiyah?
Itu efek saja. Karena dunia politik itu kotor, bagaimanapun menimbulkan sebuah perlawanan yang dinilai sebagai perlawanan politik oleh penguasa. Itu saja. Jadi, tidak ada gerakan tasawuf berdimensi dimensi politik. Para sufi itu adalah pejuang dan memposisikan sebagai teladan bagaimana berjuang yang benar. Bukan karena tasawuf didorong mesti berpolitik.

Bisa dicontohkan sufi yang berpolitik?
Ya banyak, tetapi dia bukan karena tasawufnya lalu berpolitik. Ini bisa karena kebetulan dia seorang pejuang dan sekaligus juga seorang sufi atau dia seorang politisi sekaligus juga seorang sufi. Sekali lagi, ini bukan berarti dunia sufi bergayut erat dengan gerakan politik. Khulafaurrasyidin itu para sufi semua, tapi mereka menjadi khalifah bukan karena sufinya. Sufisme itu kan bagaimana menjalankan Islam secara utuh yang secara lahiriah menjalankan syariah, termasuk berorientasi kepada kemaslahatan rakyat. Lalu, di situ ada struktur yang disebut bernegara. Secara batin, sufi selalu online dengan Allah, dengan segala aturan-aturan ilahiah. Umar bin Abdul Aziz misalnya, beliau juga khalifah sekaligus juga seorang sufi. Kekhalifahan hanya dipandang sebagai amanah syar’i. Sedang, dalam konteks amanah hakiki, bagaimana dia menjadi khalifah ruhaniyah di dalam dirinya.

Seperti di Sudan, ada gerakan tarekat yang mempelopori perlawanan terhadap penjajah, apa itu bukan merupakan gerakan politik?

Itu tidak karena dorongan tarekatnya, tetapi itu karena sebuah organisasi tarekat yang dimanfaatkan untuk gerakan politik. Ini harus dibedakan. Jika ada praktik-praktik tasawuf atau praktik tarekat, kemudian menimbulkan sebuah perlawanan, itu adalah efek saja dari adanya jamaaah yang terorganisir. Sebab, dunia tasawuf itu tidak separatis dan juga tidak eksklusif. Dia ada di mana-mana. Karena, yang dibangun dunia sufi adalah manusia siapapun, partai politik yang dibangun adalah manusia para hamba Allah dan dia benar-benar selamat. Syukur-syukur, dia bisa berefek meneladani kerahmatan Rasulullah, rahmatan lil alamin. Jadi, dia menjadi rahmat bagi lingkungan gerakannya

Apakah nilai-nilai tasawuf bisa diwujudkan dalam politik ?
Ajaran tasawuf bisa menjadi etika politik yang akan memantulkan satu titik pandang yang membedakan antara politisi dan pejuang. Kalau politisi kan menganggap bahwa dunia politik sebagai karir berhubungan dengan pelembagaan. Ketika dia berfikir bahwa berpolitik itu sebagai karir, pada saat yang sama dia pasti bukan pejuang. Sebab, kalau pejuang, apapun yang dia lakukan apakah di lembaga politik atau kemasyarakatan lainnya, maka dia akan tetap berjuang. Bahwa dalam berjuang ada strategi dan cara berpolitik, itu lain soal.

Jadi, harus dibedakan orang berdakwah menjadi da’i sebagai karir. Kalau begitu, kan tidak mendapat pahala sama sekali di akhirat. Rasulullah SAW disebutkan dalam Hadits bersabda,“Siapa yang mencari dunia dengan amaliah akhirat, maka di akhirat dia tidak dapat apa-apa”. Makanya, saya tidak setuju dengan adanya Pildacil (Pemilihan Da’i Kecil), kecuali memang itu betul-betul semacam pendidikan orang pidato. Tapi, bahwa dia membangun, lalu di sana ada frame buat cita-cita menjadi pendakwah, sementara dipahami yang disebut dakwah itu adalah panggung untuk berorasi, nah itu satu kesalahan besar di dalam pendidikan dakwah. Begitu juga, dalam berjuang. Lalu, dikatakan bahwa yang ikut berjuang adalah berpolitik dan berpolitik berarti berpartai, nah itu juga salah besar

Sufi kerap dipandang individual, tidak membumi dan tidak peduli pada masyarakat ?
Itu sebuah kesalahan besar. Eksklusifitas itu misalnya dalam soal ritual khalwat (menyendiri). Nabi Muhammad saja khalwat di gua Hira. Kan itu tidak disebut eksklusif. Itu dalam rangka melakukan riyadhah tazkiyah, yakni pembersihan jiwa. Begitu jiwanya bersih, baru keluar ke masyarakat. Kalau masih kotor terus keluar di publik, nanti malah jadi koruptor, jadi maling, jadi menindas rakyat. Makanya, jiwanya dibersihkan dulu, baru kemudian dia keluar ke publik. Jadi, dia bisa membawa cahaya dan rahmat.

Dalam ajaran Islam, tidak ada yang lebih mampu membangun satu cara pandang hidup dunia ini secara lebih merdeka dan lebih luas selain dunia para sufi. Sebab, dunia para sufi itu tidak mempunyai batasan-batasan. Manusia tidak bisa membangun masyarakat, kalau dia tidak hablum minallah. Nah, kalau politik itu sebagai karir, betapa banyak orang yang sudah tidak terjun ke dunia politik, lalu dianggap dia tidak berjuang lagi.

Kalau di negeri kita, apa ada politikus sekaligus sufi ?
Ya, mungkin hanya bisa dihitung dengan jari. Saya contohkan, misalnya Gus Dur. Beliau seorang pejuang, politisi sekaligus juga seorang sufi. Apakah misalnya seorang sufi ketika berpolitik harus lembut-lembut, itu pandangan yang salah. Ketika dia berpolitik, keaktoran politisinya juga harus tampil dengan logika-logika politik, tapi hatinya tidak ikut berpolitik. Umar bin Khaththab adalah sufi besar, tapi beliau bersikap keras, siapa saja dibentak kalau salah. Tantangan terbesar seorang pemimpin itu adalah nafsu kepemimpinannya, tantangan seorang ketua partai, ya nafsu sebagai ketua partai, tantangan seorang kyai, ya nafsu kekyaiannya, tantangan seorang ustadz, ya nafsu keustadzannya, tantangan seorang kepala desa, ya nafsu sebagai lurah. Kalau dia kebetulan seorang sufi, dia akan bertempur dulu di dalam jiwanya. Kalau gak, ya hanya ada dua alternatif, dia jadi politisi saja atau tidak sama sekali. Yang penting, dia mengelola dirinya dulu, dan setelah selesai baru terjun ke publik Seperti Rasulullah sewaktu dimikrajkan. Beliau tinggalkan semuanya untuk ketemu Allah. Setelah itu, baru turun ke dunia. Istilahnya, hablum minallah dulu, baru hablum minannas. Biar apa? Biar proses interaksi sosial dengan manusia benar-benar interaksi yang disertai nuansa cahaya. Kalau hanya demi kepentingan terbatas, seperti politisi yang minta dukungan sana-sini, selesai ya selesai. Ini ibaratnya seperti orang yang kebelet buang air besar, trus dia cari WC. Pertama kali yang dia temui adalah penjaga WC. Setelah selesai, ya pergi saja. Dia tidak pernah berfikir bagaimana peran si penjaga WC.

Jelang pemilu, banyak janji-janji dan lobi-lobi politik para politisi. Kalau dilihat dari perspektif sufi bagaimana?
Ya, saya kira jauhlah. Nawaitu-nya sudah beda. Ibarat orang melancarkan strategi ngalor (utara), dia malah melemparkan sesuatu ke ngidul (selatan). Bagi sufi, dunia politik tidak boleh masuk ke dalam hatinya, karena ini rumah Allah.

Kalau dihubungkan dengan “hablum minnas” dan “hablum minallah” dalam konteks politik?
Begini, ini pandangan sufi, ya. Beda dengan pandangan syariat. Kalau pandangan syariat harus minta maaf kepada publik kan. Publik harus memaafkan, baru Allah mengampuni. Tapi, kalau dalam dunia sufi berbeda. Kalau Allah mengampuni dosa seorang pemimpin, maka publik pasti akan memaafkan. Jadi, Allah itu dalam dunia sufi tidak pernah menjadi akibat. Anda berdoa, pasti Allah mengabulkan. Ini kan berarti Allah Anda jadikan akibat.

Lalu, makna perjuangan kita di dunia ini seperti apa?
Perjuangan bagi sufi lebih utama daripada menangnya perjuangan. Yang dinilai oleh Allah adalah konsistensi perjuangan, bagaimana dia memegang teguh perintah Allah. Rasulullah juga pernah kalah dalam berjuang. Jadi, orang ibadah itu lebih utama daripada pahalanya di surga dan seisinya. Istiqomah itu lebih utama daripada karomah. Wilayah-wilayah dunia kalau dalam perspektif sufi dipandang sebagai dunia limbah. Dunia politik bagi sufi dipandang seperti mengelola binatang-binatang, ya kayak menggembala kambing. Yang digembala dalam dunia politik itu adalah kebinatangan manusia itu sendiri. Kalau manusia sudah tidak ada kebinatangannya, ya gak ada politik. Ini kan mengelola aspirasi yang sebenarnya juga ambisi mengelola banyak nafsu. Nah, kalau dia sendiri belum bersih, bagaimana dia bisa mengelola “kebinatangan” yang lain.

Jadi, kayaknya susah banget untuk jadi sufi politik. Karena berangkatnya dari diri sendiri dan malah harus “menghilangkan diri sendiri”.
Dalam dunia sufi ada kalimat “orang itu tidak boleh i’timad (berpegang) pada amal atau prestasi, tetapi i’timad pada ibadahnya, i’timad pada keberkahan”. Masuk surga itu bukan karena amal, melainkan karena rahmat Allah. Kalau manusia diberi fadhilah dan rahmat Allah, maka orang itu ditakdirkan taat pada Allah. Menurut syariat, orang beribadah supaya dapat anugerah. Sedang menurut sufi, anugerah Allah itu mendahului taatnya seseorang.

Berarti kita ini kayak wayang?
Lha iya. Yang menjadi masalah, wayang-wayang ini pada kepingin menjadi dalang juga kan. Ini yang bikin masalah. Dalam wayang, Petruk gak pernah pingin jadi Gatutkoco. Sekarang, banyak sekali Petruk-Petruk yang pingin jadi gubernur, pingin jadi Gatutkoco dan lain-lain. Kalau perlu, bikin skenario. Ada banyak manusia mengaku Tuhan, mengaku jelmaan Tuhan dan macam-macam.

Kita ini bergerak karena digerakkan. Manusia diberi akal oleh Allah. Berarti, dengan anugerah akal, ada kebebasan, tapi kebebasan yang terbatas. Kebebasan kan untuk memilih ini baik, ini buruk.

Apakah ada konsep politik yang sufistik?
Ada. Ibnu Arabi menulis kitab mengenai ketatanegaraan dalam perspektif sufi. Tapi, itu hanya untuk memberikan perlambang bahwa diri manusia ini adalah miniatur dari jagat semesta. Artinya, manusia sebagai mikro kosmos yang harus mengelola dirinya. Ada pertarungan dalam diri manusia, misalnya pertarungan antara ruh dan nafsu koruptor, maling dengan malaikat dan setan. Ini kan lambang dari kehidupan. Kalau membangun tata negara, ya filsafatnya adalah manusia itu sendiri.

Bagaimana pandangan Anda tentang para politisi kita?
Pemimpin itu manutun bi al-mashalih (harus berpijak pada kebaikan, red). Prinsip ini harus benar-benar masuk dalam jiwa. Kepentingan pribadi harus dihapus. Sepanjang dia masih ada ambisi pribadi, maka itu adalah dosa politik yang kelak akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah. Seorang pemimpin desa saja harus tahu berapa banyak warganya yang miskin, yatim piatunya, janda-janda, orang jompo. Dan mereka itu harus dianggap seperti keluarga.

Dalam perspektif sufi, seorang pemimpin harus memiliki jiwa besar. Kalau tidak punya jiwa besar, dia akan gagal. Bangsa yang hebat harus begitu. Pemimpinnya tidak mementingkan kepentingannya sendiri.
Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

IG
@bagusherwindro

Facebook
https://web.facebook.com/masden.bagus

Fanspage
https://web.facebook.com/BAGUSherwindro

Telegram
@BAGUSherwindro

TelegramChannel
@denBAGUSotre

 
Support : den BAGUS | BAGUS Otre | BAGUS Waelah
Copyright © 2013. den Bagus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger