Kebenaran itu memang
pahit untuk disampaikan, tetapi terpaksa saya sampaikan kepada Panjenengan
semua, meski nanti akhirnya Panjenengan semua akan percaya atas apa yang saya
sampaikan. Ini tentang ketampanan saya.
Begini bro….
Dulu banyak kaum hawa
yang kalau dekat dengan saya biasanya langsung jatuh cinta, mereka juga bilang
bahwa bukan masalah wajah saya yang tampan, namun karena cinta merekalah yang membuat
wajah saya tampan. Wow…. Luar binasa bukan ? Tetapi itu bukan kenyataan
sebenarnya, sebab tanpa cinta mereka pun wajah saya memang tampan. Meskipun
tidak fotogenik namun setidaknya fotoklenik lah…
----------
Dari dulu, kebiasaan
berpikir mendalam sering saya lakukan saat berada di jalan. Saat inderawi saya
merespon semua informasi tentang kondisi lalu lintas yang harus saya hadapi,
saat itu juga bagian lain dari kesadaran saya biasanya berpikir mendalam
tentang suatu hal.
Demikian juga pagi
ini, saat saya mengantar si mBak, mbarep
saya, sekolah. Saat Surabaya mulai
menggeliat dari tidur lelapnya, saat mentari mulai mendharmakan sinarnya lagi,
saat kesegaran udara menelusup di setiap pori tubuh saya dan saat kebanyakan
orang bergegas bahkan terburu-buru memacu tunggangannya masing-masing ke tempat
yang dituju, saya jadi berpikir dan timbul pertanyaan dalam benak saya bahwa
sebenarnya semua peristiwa, segala kejadian dan seluruh fenomena itu terjadinya
di luar diri saya atau di dalam diri saya ya ?
Dalam ilmu fisika
kita belajar tentang cahaya, tentang range
frekuensi cahaya tampak maupun yang tak tampak oleh mata telanjang kita.
Seperti warna hijau pada suatu benda misalnya, sebenanrnya “hijau” tersebut
adalah kesepakatan nama untuk benda yang memancarkan gelombang pada frekuensi
tertentu yang kemudian direspon oleh sreseptor syaraf-syaraf penglihatan kita
sehingga kita melihatnya tampak “hijau”. Lalu bagaimana respon mereka yang buta
warna ? Tentunya warna hijau tersebut akan ditangkap sebagai warna abu-abu.
Mana yang benar ?
Kata orang saya hot, sebab saya penggemar pedas. Makan
cabai lima biji masih dalam kategori sedang kepedasannya menurut saya. Namun
bagi orang yang lain, mungkin baru menggigit ujung cabai saja sudah merasa
sangat pedas. Tentang rasa pedas itu, mana yang benar ?
Menurut saya, ganteng
itu saya, tetapi tidak menurut orang yang lain, misalnya bahwa ganteng itu
warna kulitnya harus begini, bentuk hidungnya begitu, tinggi dan berat badannya
harus segini dan seterusnya. Ketentuan siapa itu ?
Bahagia itu di sini,
saat ini dan dalam kondisi seperti ini titik. Tapi banyak yang mendefinisikan
kebahagiaan itu kalau begitu begini. Mana yang benar ?
Seperti kaum hawa
yang karena cintanya kepada saya menyaksikan bahwa saya tampan, saya kira
seperti itulah kenyataan yang selalu saya alami bahwa sebenarnya semua
peristiwa, segala kejadian dan seluruh fenomena itu terjadinya di dalam diri
saya, di dalam perasaan dan pikiran saya sebagai respon atas apa yang ada di
luar diri saya.
Semua peristiwa,
segala kejadian dan seluruh fenomena adalah netral adanya, sayalah yang bertanggung
jawab memutuskan tentang maknanya bagi diri saya. Maka buat apa sibuk dengan
kegaduhan yang ada di luar, kalau kegaduhan yang di dalam tak kunjung diredakan
?
Srueeettttttzzzz….. Jangkrik, batin saya. Tiba-tiba ada yang
mendahului saya dengan kecepatan tinggi. Suara knalpotnya meraung, jalannya
zigzag dan tak memakai helm pula, pengendaranya tampak masih belia, tegap,
memakai jas almamater sebuah perguruan tinggi dan telinganya tampak disumpal
dengan headset. Paling itu panitia ospek, yang sok-sokan, merasa sudah hebat di
hadapan mahasiswa baru. Ih… arogan banget seperti sudah menjadi lelananging jagad.
“Hahahahaha….”,
tiba-tiba pula bagian diri saya yang lain, yang pemakna tadi tertawa dengan
kerasnya dalam benak saya sambil mengacungkan telunjuknya tepat di ujung hidung
saya. “Katamu semua kejadian itu netral, katamu seluruh peristiwa itu terjadi
dalam dirimu dan engkaulah yang bertanggung jawab memutuskan maknanya. Ngapain
kamu sewot sampai misuh-misuh gitu ? Biarin aja to ?”
Duh
Gusti nyuwun ngapuro.
Baru saja saya menemukan makna, tetapi langsung Panjenengan coba
pengejawantahannya.
Saya akui bahwa unsur
api saya masih mendominasi sehingga sangat reaktif dalam menyikapi sesuatu, memburuksangkai,
merespon dengan makna negatif yang tentunya sangat menguras energi saya. Setiap
hal selalu saya tanggapi dan saya lawankan dengan ego serta kepentingan atau
pamrih pribadi saya. Sayamearsa lebih baik dari yang lain. Iblis, saat disuruh
Gusti Allah untuk sujud kepada Nabiyullah Adam, dia mengatakan, “Aku lebih baik
dari dia !”. Iblis saja mengatakan hal seperti itu, merasa sombong dan merasa
lebih baik, hanya sekali, ya saat itu saja. Sedangkan saya ? Bisa berkali-kali
dalam satu hari merasa bisa dan merasa lebih baik dari yang lain alias sombong.
Menyedihkan :(.
Semoga Panjenengan
tidak demikian. Semoga Panjenengan
dimampukan oleh Gusti Allah untuk bercahaya, tidak reaktif dan selalu tenang
dalam merespon segala keadaan dengan bersandar pada kehendakNya, bahwa pasti
ada Gusti Allah di balik segala peristiwa, semua kejadian dan seluruh fenomena,
sehingga Panjenengan tak mudah diombangambingkan oleh seluruh situasi yang ada
di luar diri. Alhamdulillah bila dimampukan demikian, berarti Panjenengan tak
perlu susah-susah mencari kebahagiaan di luar sana, namun cukup dengan menyelam
dasarnya hati Panjenengan sendiri. Saya nunut.