Tak jarang saya biasanya
memberikan wejangan secara khusyuk pada uang yang sedang menjadi “milik” saya
sebelum berpindah tangan, begini : “Pergi ya pergi, sejauh mana pun engkau
pergi, jangan lupa pulang ke rumah bawa teman yang
buaanyaaakkkkk.”
He… he… he… boleh
ditiru.
Maaf, bukan bermaksud
menyombongkan diri atau bukan karena sudah tuntas mengolah jiwa, dengan berat
hati saya paparkan fakta tentang diri saya bahwa dalam skala prioritas hidup
saya, uang itu bukan merupakan prioritas yang pertama namun bisalah kalau saya
katakan menempati skala prioritas ke-75 dan saya yakin Panjenenengan belum
banyak yang bisa menempatkan uang pada skala prioritas ke-75 sebagaimana saya.
Namun yang menjadi masalah bagi saya adalah bahwa skala prioritas ke-1 sampai
dengan ke-74 dalam kehidupan saya masih kosong alias belum terisi he… he…
he…
ITU MASALAHNYA dan
itu tentang saya.
Banyak orang tua yang
memesankan kepada anaknya agar sekolah yang pintar sehingga kelak mempunyai
pekerjaan yang mapan, hidup enak dan nyaman. Apalagi makin lama tatanan
kehidupan makin jauh dari kesalehan. Persaingan hidup begitu tingginya, semua
bidang kehidupan diindustrikan ditambah lagi pengelolaan negara yang amburadul
oleh pemerintah sehingga pada akhirnya saat ini tidak ada kejelasan mana Negara
mana pemerintah. Semua berlomba berkuasa dan menguasai, tak jelas lagi beda
antara pejabat dan penjahat, tak jelas juga beda antara aparat dan keparat.
Semua tak lepas dari pamrih yang berlebihan, hingga fakta menjadi fatamorgana,
hingga yang saleh malah kelihatan salah dan sebaliknya yang salah terlihat
saleh.
Wis
mbuh….
Setiap manusia
berusaha bertahan hidup dan kebutuhan utama dalam mempertahankan hidupnya adalah
makan, tetapi tentunya tidak hanya makan itu saja bukan ? Perlu tempat tinggal,
perlu air, perlu listrik, perlu transportasi, perlu pendidikan dan seterusnya
yang tentunya sangat beragam sekali tergantung pada level sosial ekonomi mana
seorang manusia itu berada. Semua itu transaksional dan kebutuhan utama untuk
itu adalah uang. Maka energy terbesar dipersiapkan dan dipergunakan untuk
mencari uang, bagaimana caranya mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan. Bagi
yang kebutuhannya sudah terpenuhi, bagaimana caranya memiliki uang untuk
memenuhi keinginan. Bagi yang keinginannya sudah terpenuhi, bagaimana caranya
memiliki uang untuk memenuhi keinginan yang lain lagi yang tentunya lebih
menyenangkan, lebih membanggakan, lebih nyaman, lebih menggairahkan dan
lebih-lebih yang lainnya menurut anggapannya. Akhirnya uang yang berkuasa,
kehormatan dinilai dari uang, dinilai dari kepemilikan harta benda. Saat uang
berkuasa, kebenaran dan keadilan tetap bernama kebenaran dan keadilan, namun
tidak bermakna hakiki sebagai sebenar-benarnya kebenaran dan
keadilan.
Kembali lagi ini
tentang saya….
Diam-diam uang sudah
menjadi tuhan dalam hati saya.
Salah satu diri saya
ingkar, “TIDAK, tuhan saya Gusti Allah !”
Namun di saat yang
sama, bagian diri saya yang lain mencibir sinis, “Preketek ! Tuhan itu yang memiliki porsi
terbesar dalam hidupmu, yang DIA engkau utamakan dan pertamakan, sudahkah
demikian ?”
“Tapi saya kan tidak
pernah sekali pun menganggap uang itu sebagai tuhan.”
“Ya, engkau memang tak pernah menganggapnya
sebagai tuhan, namun apa yang ada di balik perasaan dan pikiranmu itulah yang
menempatkan uang sebagai tuhan.”
“Apa buktinya
:”
“Selama ini uang engkau posisikan sebagai
sebab bukan sebagai akibat. Uang bagimu menjadi sebab sehingga dirimu bisa ini
dan itu, padahal sebenarnya uang itu hanya sebagai akibat dari rahmatNya Gusti
Allah kepadamu. Kalau pun toh engkau memposisikan uang itu sebagai akibat, maka
kesadaranmu mengatakan bahwa sebabnya adalah kepandaianmu, keahlianmu, ilmumu,
prestasimu dan mu-mu yang lainnya, padahal semua itu sebenarnya juga sebagai
akibat dari rahmatNya Gusti Allah kepadamu.”
“Tapi aku kan tetap
shalat, dzikir, puasa, zakat dan sedekah ?”
“Sahalatmu tak kunjung memuliakan aklaqmu,
dzikirmu tak juga menentramkan jiwamu, puasamu tak membaikkan taqwamu, zakatmu
terpaksa, sedekahmu kau jadikan ajang perdagangan untuk urusan duniamu Engkau
tak benar-benar menghadap, bahkan lebih sering membelakangi Gusti Allah saat
engkau shalat, dzikir, puasa, zakat dan sedekah.”
“Tapi bukankah
bekerjaku juga merupakan perintahnya, mencari rejekinya di seluruh permukaan
bumi ?”
“Kau tahu itu, tapi tanpa kau sadari.
Buktinya saat engkau berusaha dalam sarana penghidupanmu, hatimu sering dikuasai oleh ketamakan yaitu hasrat
dirimu untuk memperoleh uang dan kecenderungan hatimu kepadanya, karena engkau
tidak yakin akan jaminan bagianmu dari Gusti Allah.
Sering juga engkau
merasa penat dalam mencari uang, badanmu lelah hingga lalai menjalankan berbagai
perintah-Nya, risaunya hatimu tentang uang menenggelamkanmu di dalamnya tanpa
memperhatikan hal lain hingga memutuskan hubunganmu dengan Gusti Allah,
khususnya dan terutama hal itu melandamu saat engkau membutuhkan sesuatu dengan sangat untuk menjaga
kelangsungan hidupmu.
Tak jarang engkau pun
merendah kepada makhluk karena kurang yakinmu kepada Gusti Allah dan hatimu ikut
mengatur berbagai cara untuk mendapatkan uang dengan lintasan nafsu pikiranmu yang terus menerus
mengatakan tentang harus memiliki ini agar ini, harus dari sini dan begini dan seterusnya.”
… sesaat hang …
“Saat uang sudah di genggaman tanganmu pun
engkau sering dilingkupi sifat kikir. Kikir terhadap apa yang sudah engkau miliki
hingga enggan mengeluarkan yang sudah diwajibkan seperti zakat, sedekah yang
diwajibkan Gusti Allah yaitu menafkahi kedua orang tua, anak serta istri. Juga
kikir untuk selain yang sudah diwajibkan, termasuk kikir terhadap diri sendiri
dalam arti tidak mau berkorban untuk Gusti Allah.
Dan yang lebih
kentara engkau bertuhan uang adalah vibrasi perasanmu sesuai penguasaanmu atas
uang dan seluruh keturunannya dalam arti segala bentuk materi yang engkau dapat
atas transaksi uangmu. Engkau selalu berduka atas apa yang luput dan bergembira
terhadap apa yang engkau dapatkan. Semestinya, keyakinanmu terhadap Gusti Allah
tidak akan membuatmu bergeser dalam menyikapi keadaan yang engkau alami.
Tampaknya engkau cukup dengan Allah, nyatanya engkau merasa cukup dengan usahamu
semata. Kelihatannya engkau gembira bersama Allah, ternyata engkau hanya gembira
dengan keadanmu saja. Nyatanya, engkau tidak lagi merasa senang ketika keadaanmu
yang menyenangkan itu tiada. Seandainya engkau benar-benar senang bersama Allah,
tentu engaku akan senang pula selamanya bersama kebadian-Nya.”
… lebih hang lagi …
Namun satu bagian
diri saya yang raja ngeyel rupanya
masih ngeyel lagi, “Tapi uang kan
penting !”
“Jangan mengelabuhi hatimu sendiri, siapa
yang bilang uang tidak penting ? Meski uang bukan segalanya, namun tanpa uang
segalanya menjadi lebih sulit. Uang memang penting, tetapi yang lebih penting
lagi adalah apa yang dibalik uang itu, sikap hatimu, pola pikirmu dan vibrasi
perasaanmu tentang uang itu.
Bukankah engkau
sendiri yang mengatakan bahwa misi hidupmu untuk mengabdi padaNya dengan
mengabdi pada kehidupan ini dengan jalan menebarkan rahmatNya untuk semesta.
Uang merupakan salah satu bentuk rejeki dariNya dan itu rahmatNya. Tugasmulah
untuk mentransformasikan rahmat menjadi berkah, mentransformasikan bentuk materi
uang dan seluruh keturunannya menjadi cahaya, cahaya pengabdian kepadaNya. Buka
DIA, Gusti Allah yang malah engkau suruh mengabdi kepada kepentinganmu, hasrat
nafsumu yang takkan pernah ada habisnya. Maka banyak uang itu harus tetapi tanpa
melekat padanya sedikitpun.”
Penat rasanya terus
menerus berbicara dengan diri sendiri, ada keinginan untuk mengikuti yang benar,
baik dan indah, namun di saat yang sama pada sisi yang lain ada pula dorongan
untung mengingkari semua itu karena rasa malu pada diri sendiri mengakui wajah
diri yang masih belepotan noda dan dosa. Selama ini rupanya saya lebih sayang
pada uang dari pada TUHAN. Lebih menyesal kehilangan uang dan seluruh
keturunannya dalam bentuk materi dari pada kehilangan Gusti Allah. Benar-benar
kuoplakkkkk.
Saya jadi berpikir,
apakah saya saja yang demikian, ataukah Panjenengan semua sedikit banyak juga
mengalami hal yang sama ?
Uang menjadi tuhan
kecil dalam hati saya, sebab diri saya melekat terhadap uang dan itu termasuk
“klenik”, berarti perlu terapi untuk
melepaskan kemelekatan dengan uang tersebut.
KIra-kira begini yang
saya pikirkan :
Kalau uang saya
transaksikan kemudian saya mendapatkan sejumlah barang atau jasa sesuai nilai
uang tersebut, maka hal itu merupkan suatu kewajaran, biasa dan benar. Ada unsur
imbal-balik dan aksi-reaksi. Berarti belanja tidak bisa dijadikan terapi untuk
melepaskan kemelekatan terhadap uang tersebut.
Kalau uang itu saya
zakatkan sesuai ketentuan, saya rasakan juga biasa dan benar, karena itu memang
diwajibkan. Bahkan andai enggan berzakat pun, terpaksa akan saya lakukan karena
kewajiban. Melakukan karena memang wajib, rasanya masih belum bisa dijadikan
untuk melepaskan kemelekatan terhadap uang.
Berarti harus
setingkat di atas itu, tidak wajib dilakukan, bukan saja benar tetapi juga baik,
yaitu infaq atau sedekah. Tapi saat melakukan itu, masih saja tergambar tentang
fadhilah infaq atau pun sedekah yang saya lakukan, belum bisa ikhlas. Apalagi
kalau teringat metode sedekah ekstremnya salah satu ustadz selebritis negeri
ini, ngeri. Sedekah pemancing rejeki, tambah lebih banyak unsur imbal-balik,
untung-rugi dan jual-belinya. Salah menata niat malah akibatnya runyam, bukannya mengabdi kepada Gusti Allah, tetapi malah mengabdi pada diri sendiri demi kepentingan perut sendiri agar rejeki
lancar jaya. Infaq dan sedekahpun belum cukup ampuh sebagai terapi untuk melepaskan kemelekatan terhadap
uang.
Lalu apa
?
Jadi ingat tentang
bumi dan matahari. Bumi berputar pada porosnya dan berrevolusi terhadap matahari
adalah demi perputaran dan revolusi itu sendiri yang merupakan ketundukannya
sebagai hamba, demi mengabdi padaNya tanpa memperdulikan baik atau buruknya
manusia yang menginjak tanahnya. Begitu pun matahari, dia begitu setia menyinari
galaksinya tanpa pertimbangan siapa yang disinarinya, semata-mata demi
penyinaran itu sendiri sebagai sebuh ketundukan akan pengabdian di hadapanNya.
Itulah hakikat dharma makhluk di hadapan TUHANnya.
Itulah mungkin terapi
yang paling pas pada jaman ini untuk melepaskan kemelekatan diri saya terhadap uang, agar saya
tidak “nglenik” dengan menjadikan
uang sebagai tuhan kecil di dalam hati saya. Harus berlatih siap secara ajeg mengeluarkan uang dari saku atau
dari dompet atau dari rekening bank yang sementara menjadi "milik" saya untuk siapa pun walau dia atau mereka tidak
berkekurangan sekali pun, tanpa pernah berpikir atau mempertanyakan untuk apa
dan akan dibagaimanakan uang itu nantinya. Mengeluarkan ya mengeluarkan saja tanpa
pamrih apa pun dan tanpa pertanyaan apa pun, begitu saja titik. Itulah dharma, itulah pengabdian kepadaNya
dengan melayani mereka yang bisa menjadi “sebab” diterimaNya pengabdian
kepadaNya, Gusti Allah. Saya kira untuk yang terakhir ini bukan saja benar,
tetapi juga baik dan sekaligus indah.
Dharma itu bukan zakat, bukan infaq dan juga bukan sedekah. Dharma itu menyerap rahmatnya Gusti Allah dan mentransformasikan menjadi berkah untuk semesta bukan untuk diri sendiri dan berarti juga mentransformasikan materi menjadi cahaya, sehingga dharma itu melayani bukan dilayani, mengabdi dan bukan bukan diabdi. Inilah surga, yang akan mengawali tentramnya jiwa, bangkitnya taqwa dan mulianya akhlaq.
Dharma itu bukan zakat, bukan infaq dan juga bukan sedekah. Dharma itu menyerap rahmatnya Gusti Allah dan mentransformasikan menjadi berkah untuk semesta bukan untuk diri sendiri dan berarti juga mentransformasikan materi menjadi cahaya, sehingga dharma itu melayani bukan dilayani, mengabdi dan bukan bukan diabdi. Inilah surga, yang akan mengawali tentramnya jiwa, bangkitnya taqwa dan mulianya akhlaq.
Semoga ada
manfaatnya.