Di beberapa kesempatan,
pernah ditayangkan di berbagai stasiun televisi tentang kisah nyata perjuangan
seorang anak manusia mencari untuk menemukan salah satu atau pun kedua orang
tuanya yang karena keadaan menyebabkan mereka terpisah sekian puluh tahun,
bahkan ada yang terpisah oleh benua.
Saya kira, dorongan
seperti itu akan dirasakan oleh setiap manusia, manakala dia tidak mengenal asal
usul kehidupannya dan saya kira pula, hal itu merupakan bagian dari naluri
bertuhan. Manusia akan senantiasa mencari dan mempertanyakan dari mana dia
berasal. Hanya saja tidak semua manusia dimampukan untuk terus memahami bahwa
pada awalnya semua berasal dari Gusti Allah dan nantinya pasti akan berpulang
kembali kepadaNya.
Dorongan menelisik
asal usul kehidupan itulah yang mengkin kemudian menjadi salah satu faktor
pendorong adanya tradisi nyadran atau
nyekar ke makam orang tua atau pun
leluhur yang sudah sumare di alam
antara sana.
Satu hal yang pasti,
hidup ini begitu singkat, sesingkat tanda “-“ (strip) yang memisahkan tanggal
kelahiran dan tanggal kematian, yang biasanya tertulis di nisan
makam.
Dunia memang hanya sekedar sendau gurau belaka, demikianlah Gusti Allah memisalkan, namun di balik itu, Gusti Allah juga menuntut kesungguhan dalam melakoni kehidupan ini. Maka, tentunya apa yang
berada dalam tanda “-“ (strip) itu, secara akal, sepenuhnya adalah pilihan diri kita
masing-masing dengan segala konsekuensinya. Bukankah demikian ?