Hari ini siang tadi,
untuk ke sekian kalinya, saya berada di Jalan Malioboro
Yogyakarta. Malioboro
mengingatkan tentang sebuah merek rokok buatan amrik, namun malioboro sering
juga diplesetkan menjadi “maraiboros” alias penyebab boros sebab di sepanjang
jalan tersebut memang dijajakan berbagai hal yang menjadi kekhasan Yogyakarta.
Maka tak heran pada saat libur lebaran seperti ini Yogyakarta dengan
Malioboronya selalu penuh sesak oleh pengunjung dari daerah Barat yang mudik ke
Timur terutama dari Jakarta, terlihat dari dominasi kendaraan berplat “B” atau
“F” atau “D”, atau sebaliknya mereka yang mudik dari Timur ke
Barat.
Jalan Malioboro
merupakan nama jalan menuju Kraton Yogyakarta yang
belum berubah, yang sudah berubah adalah jalan yang semula bernama Jalan Margo
Utomo juga Jalan Margo Mulyo dan Jalan Pangurahan.
Seluruh tata ruang
kawasan Keraton atau pun pengaturan bangunan Keraton itu sendiri tak ada yang tak bermakna,
semua mengandung nilai filosofis perjalan hidup manusia. Nah, nama jalan menuju Keraton Yogyakarta sampai masuk ke lingkungan Keraton pun melambangkan
perjalanan ruhani manusia dalam mencapai kemanunggalan dengan Gustinya.
Manunggaling kawulo lan Gusti, manunggal dalam
penyaksiannya bukan manunggal dalam wujudnya.
Salah satunya adalah
MALIOBORO. Malioboro ~ malio mboro. Wali itu kekasihnya Gusti Allah yang
tidak hanya cukup dengan yang telah diwajibkan, namun terus mendekat kepada
Gusti Allah dengan yang tidak diwajibkan hingga keyakinannya kepada Gusti Allah
benar-benar sampai dalam tahap Haqqul Yaqin, tidak hanya tahu, tidak hanya
merasakan, melainkan seakan-akan telah menjadi itu sendiri, manunggal. Maka MALIO bermakna jadilah wali atau sederhananya tirulah lakunya
para wali, mboro itu mengembara, sehingga lengkapnya tirulah lakunya para wali
dengan mengembara, memasuki wilayah-wilayah tanpa sekat atau batasan-batasan
yang diciptakan oleh manusia sendiri. Mengembara, menebar kebaikan dalam
kapasitas masing-masing, srawung atau
menyapa hati setiap makhluknya Gusti Allah, dengan berusaha memakrifati atau
mengenali dan menyerap hikmah dari beragam persoalan, beragam peristiwa dan
beragam fenomena hingga memperoleh kesimpulan bahwa di balik segala sesuatu
hanya Gusti Allah-lah yang ada dan tampak nyata.
Kira-kira
begitu.
Kebetulan saya shalat
di Masjid Malioboro, kompleks DPRD Yogyakarta. Tepat di hadapan saya, terlihat seseorang pedagang asongan rokok
yang juga sedang shalat. Asongannya diletakkan di
sampingnya. Dia memakai rompi yang di bagian belakang atasnya tertulis
nama salah satu perusahan rokok beserta merek rokok
produknya. Tertangkap oleh mata saya tagline merek rokok tersebut : YAKIN
SETIAP SAAT.
Wow… cucok
itu…
Hidup enak siapa yang
tak mau ? Kerja di gedung megah
ber-AC, dengan segala fasilitasnya, ke mana-mana kendaraan yang nyaman pun
tersedia. Bandingkan dengan beratnya menjadi pedagang
asongan. Sebuah pekerjaan yang berat, melelahkan dan
belum tentu hasilnya, tetapi tetap dijalani, karena baginya selalu ada rejekinya
Gusti Allah yang menjadi bagiannya. Dia tetap mempunyai
persangkaan baik kepada Gusti Allah, yakin setiap
saat.
Di sela-sela kerja
kerasnya, rupanya shalat tetap tak dilupakannya. Bandingkan dengan
mereka yang dalam kaca mata umum hidupnya lebih enak, apakah shalat masih tetap
dijaga ? Yang sedang nglencer atau berwisata yang tak ada
sedikitpun kesulitan, tetapkah menjaga shalat ? Atau
kemarin sewaktu Ramadhan, yang sedang beracara berbuka puasa di resto-resto atau
di mal-mal, tetapkah menjaga shalatnya ? Atau shalat
hanya mendapat sedikit bagian di ujung waktu dari sebagian besar waktu yang
habis untuk menuntaskan dendam karena sekian jam tak makan
?
Betapa sulit untuk
selalu berbaik sangka kepada Gusti Allah, yakin setiap saat kepadaNya, masih
banyak takutnya, belum bisa sumeleh. Saya sendiri masih takut tak bisa menyekolahkan anak, takut tak bisa
menyenangkan anak isteri, takut tak bisa hidup enak, takut tak bisa ini tak bisa
itu dan sebagainya. Pedagang asongan itu rupanya
menjadi cermin dari wajah kekerdilan jiwa saya. Dia tak merendah di hadapan makhluk hanya dengan menengadahkan tangan saja, melainkan tetap berdiri tegak dengan menggerakkan tangannya (ngobahke tangan) sebagai sarana untuk terus berupaya menghidupkan hidupnya.
Demikianlah.
Semoga saya dan Panjengan
semua DImampuKAN untuk YAKIN SETIAP SAAT pada Gusti ALLAH dan DIgerakKANNYA pula
untuk terus meyambungkan hati padaNYA.