Sekian tahun yang
lalu saat pena takdir masih memposisikan diri saya terdampar di sebuah
padepokan, ada satu kalimat wasiat dari ajengan yang menjadi pegangan yaitu
: Sesungguhnya di atas SUJUDlah puncak dari segala ilmu Allah SWT, yaitu :
SHOLAT.”
Waktu itu
pengertiannya bagi saya adalah bahwa Sholat itu mengandung hikmah yang luar
biasa bagi keilmuan dalam hal ini adalah berbagai ilmu hikmah yang sedang saya
serap dan lakoni. Salah satunya adalah bahwa ilmu hikmah tersebut dapat
berjalan dengan prasyarat bahkwa pelakunya harus menjalankan sholat lima waktu.
Salah duanya ;P adalah bahwa gerakan sholat itu mengandung rahasia penyerapan
dan penyaluran energi metafisik yang luar biasa. Pokoknya begiculah.
Itu dulu.
Nah sekian bulan yang
lalu baru saya menemukan pemaknaan baru setelah sekian tahun lepas dari ingatan
tentang hal-hal tersebut. Baru kali ini sempat saya tuliskan. Menurut saya
ternyata benar bahwa SUJUD itu luar biasa, merupakan puncak dari segala ilmu
tentang ALLAH.
Bagaimana
pengertiannya ?
Kira-kira begini.
Kalau saya
rasa-rasakan, ternyata saya hidup itu di dalam hati saya, melalui waktu,
melampaui ruang dan melintasi berbagai jalan yang penuh rasa. Jalan cinta,
bahagia, gembira, sedih, kecewa, marah, sabar, syukur, rela, takut, harap,
cemas dan juga berbagai rasa yang ada. Semua rasa tersebut silih berganti
berusaha mendominasi hati. Saya belum pernah menemukan bahwa rasa bahagia terus
menerus mendominasi hati saya. Saya juga belum pernah menemui rasa sedih yang
terus menerus bersemayam dalam hati saya. Yang saya temui terlama bertahta
dalam hati saya adalah rasa cinta, yaitu saat yang katanya orang sedang jatuh
cinta atau jatuh hati sehingga menimbulkan rasa kangen yang luar biasa atau
rasa rindu setengah mati. Namun itu pun juga tidak berarti abadi. Coba saja
Panjenengan amati, dalam sehari semalam rasa apa saja yang silih berganti unjuk
gigi di hati Panjenengan.
Maka, bukankah
perjalanan hidup itu adalah menyusuri waktu dari satu rasa ke rasa yang lain
secara terus menerus. Manusia merasakan perasaannya secara terus menerus, bukan
pikirannya.
Saya kira manusia
selalu mencari bahagianya meski tak selalu ia dapatkan dalam dirinya, sebab
manusia itu sendiri termasuk saya tak juga memahami tentang bahagia itu
sendiri, bahwa bahagia itu apa ? Bahagia menjadi sebuah fatamorgana saat
bahagia itu didefinisikan sebagai ini itu dan mencapainya harus begini begitu.
Kalau bahagia itu
merupakan sebuah pencapaian, maka pertanyaan berikutnya adalah bahwa setelah
itu tercapai lantas bagaimana ? Tetap bahagiakah namanya atau kebahagiaan itu
kemudian surut intensitasnya sehingga harus melakukan pencapaian baru untuk
bahagia.
Kalau bahagia itu
didefiniskan sebagai ini atau itu, maka pertanyaan berikutnya adalah apakah
setiap orang juga memiliki definisi yang sama ?
BAHAGIA
Ternyata saya juga
amat sangat penasaran pakai bingitz
tentang apa sih bahagia itu, maka
saya pun mulai menelusuri dalam diri saya.
Pertama, saya cari bahagia itu di badan
ragawi saya. Blassss gak ada yang
namanya bahagia itu.
Kedua, saya cari bahagia itu di pikiran.
Ternyata tak ada, pikiran malah menawarkan berbagai definisi tentang bahagia itu sekaligus berbagai cara untuk mencapai definisi itu
sendiri. Pikiran dengan dualitas semunya juga malah memberikan perbandingan
tentang bahagia bahwa kalau seperti ini itu bahagia, kalau seperti itu itu
tidak bahagia. Aturan dari mana itu ?
Ketiga, saya cari bahagia itu di rasa,
ternyata ada banyak rasa yang serupa namun mempunyai intensitasnya berbeda-beda
sehingga harus saya telusuri lagi jauh lebih ke dalam. Saya temui ada gembira
di sana, ada juga tenang, tenteram, syukur dan tentu saja bahagia itu sendiri.
Keempat, saya cari bahagia dengan
meng-off-kan pertama, kedua dan ketiga tadi, namun nanti saja saya uraikan di
bagian akhir. Sekarang kembali dulu ke yang ketiga.
Pernah suatu saat
mengalami situasi di mana perasaan saya sangat tidak nyaman, bisa jadi karena
khawatir atau marah atau sedih, pokoknya sumpek.
Saya pun mencoba mengalihkannya dengan mencari hiburan di luar sana dalam
bentuk apa saja, seperti misalnya nongkrong
sama teman di luar sana ngobrol ngalor
ngidul ke mana-mana. Sumpeknya jadi hilang karena teralihkan, namu apa saya
menemui kebahagiaan ? Ternyata tidak, yang saya dapatkan hanya sebatas
bergembira, intensitasnya masih rendah. Berulang-ulang saya alami, sehingga
saya simpulkan, jareku, bahwa kalau
mencarinya di luar diri saya itu bukan bahagia namanya namun sekedar gembira
dan gembira tidak ada hubungannya dengan makna atau nilai-nilai yang mendasar
dalam kehidupan kita. Dengan dugem
pun saya bisa menjumpai kegembiraan itu, sekedar gembira namun bukan
kebahagiaan, sebab habis dugem ya sumpek
lagi.
Kebetulan saya belum
jadi orang yang merdeka, maksudnya adalah saya masih kerja ikut orang jadi ada
jadual gajian yang tetap, maka kalau habis gajian senang rasanya dan hati
terasa tenang. Apakah itu yang namanya bahagia ? Saya kira bukan, karena
senangnya ya saat terima gaji itu saja
dan tenangnya karena masih pegang cukup uang. Kalau uang mulai menipis, apakah
iya saya masih bisa senang dan tenang ?
Pernah ada suatau
tugas apa pun itu, saat saya telah bisa dengan tuntas merampungkannya,
tenteramlah hati saya. Sama seperti saat hutang sudah terlunaskan, hatipun
terasa tenteram.
Di semua momen yang
saya sebutkan di atas sebagai contoh, saya kira juga ada bahagianya yang
mungkin dalam intensitas rasa yang ala kadarnya dan itupun hanya sesaat saja.
Tetapi ya entahlah,
masing-masing kita saya kira mempunyai pemaknaan yang berlainan tentang bahagia
itu sendiri. Bagi saya, melihat wajah damai anak-anak saya saat mereka tidur,
itu sudah merupakan sebuah kebahagian bagi saya meskipun berikutnya juga
menimbuilkan sebuah keharuan saat saya mengingat bahwa saya belum bisa
membahagiakan mereka.
Saat tak pegang uang,
namun tiba-tiba ada order tak terduga, itu juga menimbulkan sebuah kebahagian
karena dipicu rasa syukur bahwa Gusti Allah kok ya pas saat memberikan jalan
keluar. Namun ini pun bagi saya juga masih saya cari ujungnya, bahwa bersyukur
karena berbahagia ataukah bahagia karena bisa bersyukur ? Bagaimana menurut
Panjenengan ?
Lau apa hubungannya
antara sujud yang menjadi judul dari tulisan ini dengan bahagia
? Setahu saya sih hubungannya selama ini ya baik-baik saja he… he… he…
Begini say… (syaiton
maksudnya he… he… he… sesama)
Pernahkan Panjenengan
tiba-tiba saja merasa bahagia meski hanya beberapa saat saja ? Kalau memang
pernah, lalu apa yang Panjenengan lakukan ? Menerima kebahagian itu atau malah
mempertanyakannya ?
Kalau menerima
berarti ya sudah, Alhamdulillah begitu saja, namun kalau mempertanyakan,
biasanya pasti mencari sebabnya, kenapa ya kok tiba-tiba saja berbahagia ?
Badan itu apa katanya
pikiran, saat pikiran merespon sesuatu dengan memerintahkan tangan bergerak ke
kanan, maka tangan pun bergerak ke kanan. Perasaan pun biasanya dipengaruhi
oleh pikiran. Saat pikiran menilai sesuatu, maka perasaan pun bergerak ke arah
penilaian itu dengan hadirnya suatu emosi tertentu. Misalnya saat pikiran
menilai seseorang itu baik dan mungkin orang tersebut adalah customer yang bawa rejeki, maka perasaan
pun menjadi senang.Jadi perassan yang muncul ada sebabnya yaitu dari hasil
penilaian pikiran.
Nah… maka saat saya
tiba-tiba saja merasa bahagia, kalau saya telusuri, berarti saat itu pikiran
saya off alias gak sedang mikir apa-apa alias gak sedang menilai apa-apa juga.
Berarti saat itu perasaan saya juga off alias gak ada suatu emosi yang
mendominasi sebab gak ada input dari pikiran. Tubuh pun gak ada sesuatu yang
istimewa, biasa saja sebab pikiran tidak sedang dalam keadaan merespon suatu
situasi. Kondisi inilah yang merupakan hal keempat yang saya sampaikan pada
paragraf di atas tadi.
Belum melihat
hubungannya ya … antara sujud yang menjadi judul dari
tulisan ini dengan bahagia ? Belum memang …
Kita semua tahu dan
sadar kalau kita setiap saat bernafas, tapi jarang yang menyadari nafasnya,
dalam arti hadir dan merasakan saat bernafas, menyadari keluar masuknya nafas
melalui hidung.
Saya yakin
Panjenengan pasti pernah bahkan sering bersujud, namun pernahkah Panjenengan
menyadari, merasakan dan menikmati sujud Panjenengan ? Kalau belum pernah
menyadari, merasakan dan menikmati sujud Panjenengan, maka saat ini juga
silahkan Panjenengan sujud dan sadari sujud itu, rasakan serta nikmati sujud
itu ! Saya tunggu…
Stop !!! Jangan
membaca dulu, sujud saja dulu !
Eeitzz…. kok ndablek ya…
Ya sudahlah… lanjut.
Secara fisik, sujud
memposisikan kepala pada posisi sejajar dengan kaki, dahi menempel pada bumi.
Kepala yang merupakan simbol ketinggian diposisikan di kerendahan, sejajar
dengan jemari kaki yang merapat ke bumi. Saat saya sujud dengan durasi waktu
yang agak lama, saya merasakan begitu derasnya darah mengalir ke daerah kepala
karena posisi jantung pemompa darah lebih tinggi dari kepala. Saat aliran darah
begitu terasa di daerah kepala itulah saya mengalami jeda, pikiran tidak lari ke mana-mana dan tidak menilai apa-apa,
tidak ada dualitas pikiran, hening,
sebab pikiran dengan sendirinya terarahkan untuk memperhatikan daerah kepala.
Badan pun menjadi diam, mênêng, perasaan pun
seakan tenang tidak ada yang mendominasi sebab sedang merasakan sensasi sujud, nggliyêng ~ sliyat-sliyut ~ nge-fly. Biasanya kalau seperti itu kok ya rasanya beda, meski
hanya beberapa detik saja, lebih merasakan hadir di hadapanNya atau biasanya
juga baru nyadar – lho tadi itu saya sedang berdzikir ternyata, Alhamdulillah
bahagia rasanya. Bahagianya itu ya pada saat merasa kalau Allah itu ada dalam
diri saya, meski lagi banyak masalah, masih punya hutang, sedang gak pegang
uang, bahagia saja. Mungkin karena berjeda, mengambil jarak dari segala persoalan
yang memenuhi pikiran, mengaduk perasaan hingga menyedot energi yang banyak.
Setelah itu plong dan seakan semua bergerak dengan sendirinya, pintu-pintu yang
tadinya masih tertutup menjadi terbuka, benang ruwet yang tak jelas ujung
pangkalnya menjadi terurai, gelap yang menyelimuti dengan sendirinya tersibak
oleh cahaya dan demikianlah seterusnya. Bagaimana tidak bersyukur kalau seperti
itu ? Bagaimana tak bahagia bila demikian adanya ? Wis pokoknya Gusti Allah itu
tuop, otre tenan.
Ternyata tubuh juga perlu waktu khusus untuk didiamkan. Nyatanya
pikiran sangat perlu diheningkan agar tak liar, tidak mundur ke saat yang lalu
atau pun yang nanti, agar pula tak selalu menghakimi dan mempertentangkan
segala hal menjadi dua kutub yang berlawanan. Kenyataan yang ada menunjukkan
bahwa lebih enak mempunyai perasaan yang tenang, tidak tergesa-gesa, tidak
ekstrem dan teralalu ngarep. Diam,
diam dan diam.
Pada sujud saya disadarkan akan kerendahan dan kehambaan saya di
hadapan ketinggiaan Allah sebagai Gusti saya. Pada sujud saya disuruh diam di
waktu sekarang bukan yang tadi atau nanti, menikmati detik demi detik di tiap
waktu sekarang. Pada sujud saya digerakkan agar hadir di hadapanNya untuk
mengenalNya. Pada sujud saya disuruh menemukan makna keberserahan, pasrah dan
ikhlas, serta mewakilkan segala urusan di luar jangkauan kemampuan saya pada
Gusti Allah. Pada sujud saya disuruh mundur di belakangNya ~ Allahumma embuh, terserah Engkau Gusti… dan DIA
akan mengambil alih semuanya.
Lalu adakah derajad yang lebih tinggi melebihi derajad seorang abdi di hadapan Gustinya, apalagi bila
diperbandingkan dengan derajad “hamba yang menuhankan dirinya” di hadapan
Tuhannya ? Adakah yang lebih melegakan selain menyerahkan segala persoalan
kepadaNya ? Adakah yang lebih menentramkan selain merelakan segala dosa pada
keadilanNya ? Adakah juga yang lebih membahagiakan selain mengenalNya,
merasakan pengaturanNya yang sempurna dan menerima pemberianNya ? Adakah yang
lebih kuat selaian menyadari ketakberdayaan diri di hadapanNya ? Adakah ilmu
yang bisa mengatasi, melawan atau membatalkan kehendakNya yang sedang mewujud
nyata ?
Semua itu ilmunya ada di sujud. Sujudnya hati dan atau sujudnya raga adalah hal luar biasa, terlebih dalam
sholat.
Dalam sujud saya belajar berbahagia. Bahagia yang tanpa sebab. Belajar
tak menilai apa pun, belajar saiki ~
sekarang, belajar sakmadya ~
sekedarnya, ngono yo ngono ning ojo ngono,
belajar mênêng ~ diam, belajar hêning ~ sunyi, belajar mênêp ~ tenang, belajar rumongso ~ merasa dan ngrumangsani ~ merasakan.
Sujud adalah kebahagiaan. Yang dimampukan bersujud biasanya
dibahagiakan juga dengan kebersujudannya, di atas kerendahan hamparan bumi di
hadapan ketinggian Gusti.
Yang juga selalu saya ingat adalah wejangannya Ki Ageng Suryomentaram
tentang ilmu bahagia, yaitu saiki, kéné,
ngéné, aku gêlêm. Artinya adalah bahwa kita akan bahagia saat bisa menerima
saat ini, di sini dan dalam kondisi seperti ini. Tak ada penyangkalan, tak ada
gugatan, tak ada penolakan, tak ada penilaian, tak ada pertanyaan dan
sebagainya, pokoknya menerima itu saja segala hal yang dihadapi saat ini (bukan
saat tadi atau pun nanti) dan di sini (bukan di sana atau di situ). Saat sujud
adalah sebuah kesadaran, maka pada sujud itu ada saiki, kéné, ngéné, aku gêlêm.
Bagaimana menurut Panjenengan ?