Saya itu sering kali
diserang rasa lapar dan beberapa kali di antaranya saya merasakan kondisi tubuh
yang seakan demikian lemasnya tak bertenaga, sehingga saat itu satu yang ada di
pikiran saya adalah bahwa saya harus segera makan tentu saja sama minumnya.
Pernah seperti itu ?
Kalau pernah berarti
sama.
Beberapa kali
mengalami itu dan beberapa kali itu sebagaimana biasa menjadi obyek pengamatan
saya dengan ilmu titên saya. Begitu
ceritanya.
--------------------
Namun sebelum itu,
karena ada hubungannya dengan makanan, Panjenengan saya beri satu tips ngerjain
syetan. Begini, mohon maaf kalau apa yang saya sampaikan benar he… he… he…
Katanya kalau kita makan sama minum gak baca basmalah, maka syetannya ikut makan
sehingga makanannya jadi gak berkah. Jadi kata kuncinya adalah basamalah. Maka
cara ngerjain syetan adalah Panjenengan cari saja makanan yang ada lalapan
lomboknya, misalnya ote-ote atau tahu isi dengan lalapan Lombok yang level
pedasnya 7. Saat mau makan gak usah baca basmalah, jadi makan aja itu ote-ote
atau tahu isi sama lomboknya yang super pededas itu. Karena gak baca basmalah,
syetannya kan ikut makan tuh. Nah ini… saat Panjenengan sudah kepedasan, ambil
minum tapi jangan lupa baca basmalah dulu, jadi syetannya kan gak bisa ikut
minum, biar kapok sudah terlanjur pedas tapi dia gak bisa minum. Bagaimana
tipsnya… otre kan ?
--------------------
Kembali ke
awal….
Saat badan terasa
demikian lemasnya tak bertenaga dan kemudian saya langsung makan, maka tak perlu
menunggu selesai makan, badan saya langsung terasa menguat lagi menjadi
bertenaga. Beberapa kali mengalami hal itu, beberapa kali pula saya merasa
tertipu oleh badan dan pikiran saya sendiri.
Mana mungkin makanan
bisa terproses demikian cepatnya menjadi energi yang menguatkan tubuh, sedangkan
makanan itu sendiri pun belum selesai terkunyah ?
Tertipu.
Saat merasa lapar dan
tidak saya penuhi dengan langsung makan, pikiran merespon dengan mengkondisikan
tubuh terasa lemah. Sesaat setelah saya memasukkan makanan ke dalam mulut,
mengunyah dan menelannya, meskipun belum terproses sempurna, pikiran meresponnya
dengan tubuh yang terasa menguat kembali. Lha ini kan penipuan dan saya tertipu
oleh pikiran saya sendiri dan oleh bagian diri saya sendiri yang memerlukan
pemuasan.
Jadi meskipun saya
tidak makan pun mestinya tubuh saya tidak boleh lemas, kecuali kalau memang
sudah berhari-hari tidak makan. Berarti ada sesuatu yang salah dalam pikiran
saya.
Saya jadi ingat kalau
Kanjeng Nabi Muhammad itu lebih menyukai berlapar-lapar ria daripada kenyang,
hingga dalam keseharian pun Beliau mengikatkan kain melingkari perut Beliau
dengan mengisinya dengan kerikil-kerikil untuk membantunya menahan lapar. Beliau
sangat menikmatinya dan tak pernah mengatakannya pada para sahabat Beliau karena
Beliau tidak mau menjadi pemimpin yang membebani ummatnya. Beliau menikmati
laparnya sebagai hadiah dari Gusti Allah dengan harapan agar ummatnya jangan
sampai ada yang kelaparan baik di dunia maupun di akhirat kelak. Beliau
menikmati lapar setiap hari, bahkan tak pernah ada makanan tersisa di rumahnya,
selalu habis dibagikan kepada siapa pun. Bahkan sering Beliau berpuasa karena
memang tidak ada makanan di rumahnya. Dalam keaadaan lapar, apakah Beliau
berhenti beraktivitas ? Tentunya tidak. Aktivitas Beliau tetap padat seharian
baik secara vertical maupun horizontal.
Heemmmm….
Masya Allah… saya
atau Panjenengan bagaimana ?
Apalagi saat ini,
saat kuliner sudah digayahidupkan, saat makan tak hanya dalam kadar cukup namun
juga harus berasa enak, penyajiannya harus menarik, pelayanannya harus prima,
suasananya harus nyaman, tempatnya harus bergengsi dan tak lupa harus kuat
sinyal wifinya. Sekali duduk tak cukup hanya dengan tujuh atau lima belas ribu
rupiah saja, namun sudah mencapai lima puluh atau dua ratus ribu lebih. Itu
sekali, padahal kadang sehari lebih dari sekali. Berapa rupiah kalau sebulan
? Saya sendiri pun kalau meeting urusan kantor selalu dari cafe ke cafe. Begitu pun kalau teman-teman lama ngajak ketemuan.
Di sisi lain, di
sudut-sudut kota yang kumuh, di pelosok-pelosok pedesaan dan di pojok-pojok
terdalam dari sejarah negeri ini, masih banyak yang bahkan untuk makan nasi 3
kali sehari saja sudah merupakan kemewahan yang luar biasa. Di sanalah Kanjeng
Nabi, Rasul Agung, Muhammad SAW, menemani mereka semua dan sangat merasakan
beban yang mereka sangga.
Lalu nikmat Tuhan
yang mana lagi yang saya dustakan saat saya tak harus kesulitan masalah makan
?
Beliau mengajarkan
makan ketika lapar, berhenti makan saat belum kenyang. Berarti ya hanya sekedar
mengganjal perut, asal tak lapar saja. Berarti juga Beliau mengajarkan bahwa
makan itu memenuhi kebutuhan perut bukan memenuhi keinginan mulut. Dengan
berlapar-lapar ria saja Beliau tetap padat beraktivitas, dengan sebutir kurma
saja energinya tak pernah pupus dan bahkan dalam keadaan berpuasa pun Beliau
sanggup berada di garis depan medan pertempuran yang panas dan
ganas.
Kalau saya
rasa-rasakan, jareku, kata kuncinya
adalah pada kesadaran kehambaan dan berkahnya anugerah yang terletak pada
kualitasnya dan bukan pada kuantitasnya. Kalau saya meski makan satu piring,
sehari 3 kali, masih saja ngantukan, masih saja lekas lelah dan sering kehabisan
energy, bisa jadi karena lemahnya kesadaran saya dan juga minimnya keberkahan
pada makanan yang saya makan.
Mungkin begini…
mungkin lho ya belum tentu salah, he… he… he…
Selalu kembali lagi
pada proses karena yang dituntut olehNya adalah prosesnya dan melaksanakan yang
dituntut olehNya adalah hakikat kehambaan kita di hadapanNya. Menjaga amanah
badan atau tubuh sebagai kendaraan kita hidup di dunia adalah yang dituntut
olehNya, salah satunya ya makan itu tadi sebagai sarana memberikan asupan
unsur-unsur yang dibutuhkan tubuh.
Pertama, berarti proses
makannya diniati melaksanakan perintahNya karena kita hambaNya untuk mencukupi
kebutuhan tubuh dan bukan untuk memenuhi keinginan
nafsu. Kalau ini dapat disadari, berarti kita terhubung denganNya dan
selalu dengan BISMILLAH.
Kedua, makanannya adalah
anugerahNya, rejekiNya atau nikmatNya yang berarti haruslah dijaga halal dan thoyib. Selain itu juga harus disyukuri,
bukan pada wujud nikmatnya tetapi syukurnya adalah pada yang member nikmat
tersebut yaitu Gusti Allah. Sebab syukur itu adalah sarana memperbesar wadah
nikmat itu sendiri, baik dari segi kuantitas yang bertambah maupun dari segi
kualitasnya yaitu benar-benar optimal keluar manfaat yang bisa kita rasakan
pada nikmat itu.
Saya kira dua hal itu
yang harus saya perhatikan lagi. Ini masih dalam hal makan saja, namun saya kira
prinsip itu pun berlaku juga pada semua aspek dan skala kehidupan. Nyatanya
masih banyak yang masih harus saya perbaiki dalam diri ini, termasuk di antara
adalah pola didik dan pola bahasa yang saya sampaikan ke anak-anak saya agar
saya tidak mengulang pola yang kurang tepat dari oaring tua saya dalam mendidik
saya dahulu.
Contohnya adalah
:
- Ayo makan yang banyak biar kuat. (Sugestinya adalah kalau gak makan banyak jadinya lemes)
- Makan yang teratur biar sehat. (Sugestinya adalah kalau makan gak teratur jadi sakit)
- Sarapan dulu biar gak masuk angin. (Sugestinya adalah kalau gak sarapan akan masuk angin)
- Dan sebagainya.
Tidakkah lebih baik
:
Ayo makan secukupnya,
dirasakan sendiri perutnya.
Dan saat dimampukan
menikmati beragam kuliner yang mengasyikkan, #semoga Gusti Allah tak melalaikan
hati saya padaNya dan memampukan saya untuk lebih meledakkan rasa syukur
kepadaNya, pada DIA yang member nikmat dan bukan pada wujud
nikmatnya#.
Bagaimana menurut
Panjenengan ?